AIR MATA SAHABAT

Oleh Sardono Syarief

air mata sahabatM. Jan bingung. Dua hari lagi hasil ujian akan diumumkan. Hatinya gundah. Bertanya-tanya sendiri antara lulus atau tidak? Jika saja lulus, mau apa dia? Sedang harapan untuk bisa melanjutkan, amat tidak mungkin. Ini semua oleh keadaan dirinya. Karena ternyata ibu dan bapaknya lima tahun silam telah tiada. Mereka telah dipanggil Tuhan bersama sunami yang menimpa daerahnya.

“Akh….! Beginikah nasib hidup tanpa ada kedua orang tua?”keluh hati kecil M. Jan merenungi derita hidupnya. “Mungkin! Mungkin seperti ini,”sambungnya. “Tapi….,”masih dalam hati kecil M. Jan. “Siapa pula teman yang hidup menderita sepertiku di dunia ini? Apakah hanya aku seorang diri? Akh……..!”desah M. Jan seraya menggeser letak duduknya di sejengkal batu kali yang teronggok di bawah pohon mangga dekat lapangan sepak bola.

“Orang tua telah tiada. Kakak-adik tak punya. Anak tunggalkah aku? Anak malangkah aku? Akh………!”ketika merenungi nasibnya seperti itu, mengalirlah titik-titik air mata M. Jan lewat kedua belah pipi kusutnya dengan deras.

“Sekolah? Memang seperti teman-teman, aku sekolah. Pandai? Aku pun cukup pandai untuk ukuran di kelas enamku. Namun, bahagiakah hidupku? Akh….!”lagi-lagi nafas M. Jan mendesah panjang.

“Seandainya besok aku lulus,”kata hati M. Jan ragu-ragu. “Sudikah Pak Edi melanjutkan sekolahku? Sementara tanggungan sekolah anaknya masih ada tiga. Satu di SMA, satu di SMP, dan satunya lagi masih di kelas 4 SD? “

“Adapun aku………? Ya. Siapakah aku? Oleh Pak Edi dan keluarga, aku cuma diakuinya sebagai anak asuh. Ya, hanya sebatas anak asuh sajalah kedudukanku. Anak yang sehari-hari bila sepulang sekolah tak luput dari kegiatan begini. Siang merumputkan kambing, sekaligus menggembalakannya di tengah lapang. Sore menyapu halaman dan mengisi bak mandi. Itu saja belum cukup! Masih ada kerja lainnya lagi. Misal; menyemir sepatu dan mengelap sepeda motor Pak Edi setiap pagi tiba. Ah….! Sebuah pengabdiankah ini namanya…?”

Hati M. Jan terus berkecamuk. Kedua matanya terlihat kuyu. Tenaganya terasa lunglai. Semangat hidupnya jadi lemah. Untuk menahan kekuatan tubuhnya, M. Jan menyandarkan badannya pada sebatang pohon mangga yang berdaun rindang. Satu-satunya pohon besar yang tumbuh tegar di gundukan tanah tepi lapang. Lurus-lurus kedua kakinya diselonjorkan ke depan. M. Jan menikmati sepoi angin bertiup di tengah suasana panas kemarau. Irama desah dedaunan mangga tempatnya berteduh, sempat sedikit menghibur kegundahan hatinya.

“Embeeek….! Embeeeekkkk…! Embeeeeeeeeekkkkk…..!” salah seekor dari kelima kambing yang digembalanya mengembik-embik.
“Ah! Kenapa itu kambingku?” perhatian M. Jan seketika beralih dari lamunannya yang tak jelas arah.

“Di manakah kambing-kambingku berada?” pandangan anak itu mencari-cari di mana keberadaan sekelompok kambingnya.

“Ah, rupanya jauh sudah kambing-kambingku berada,”kata hati anak itu. Tahu hal tersebut, M. Jan segera bangkit. Kemudian cepat-cepat dia mengejar kambing-kambing itu untuk dibawanya kembali ke tengah lapang.

“Hai..! Kalian semua tak lapar, bukan? Mengapa harus mengembik-embik? Ha…..? Mengapa, kambing-kambingku yang manis?”tanya M. Jan kepada kelima ekor kambingnya seperti layaknya bertanya kepada Tarso, teman bermainnya saja. Lucu anak itu memang. Sudah tahu kalau dirinya tak bakal mendapatkan jawaban dari kelima kambingnya, namun pertanyaan semacam itu biasa nerocos setiap hari dari mulutnya yang bergigi ompong satu di bagian depan.

Setelah dituntunnya kembali kelima kambingnya ke tengah lapang, M. Jan segera meninggalkan mereka di sana. Selagi anak itu menuju ke tempat duduknya yang semula, tiba-tiba datang dari arah timur Sutarso, teman sepenggembalaan sekaligus kawan sekelas yang cukup akrab.

“Hallo, Jan! Apa kabar, Kau?”seru Tarso sembari menggiring keenam ekor kambingnya mendekat M. Jan.

Belum sempat M. Jan menjawab, Sutar bertanya lagi,“Sudah lamakah kau berada di sini?”

“Sudah. Sudah sekitar dua jam yang lalu aku tiba di sini, Tar,”sahut M. Jan agak panjang. “Kabarku baik-baik saja. Bagaimana pula dengan kabarmu?”balik M. Jan seraya lurus-lurus matanya memandangi temannya yang bertubuh langsing itu.

“Alhamdulillah. Kabarku baik-baik juga, Jan,”jawab Sutarso seraya tersenyum.

Setelah dibiarkan keenam kambingnya mencari rumput di tengah lapang, Sutarso segera menggandeng lengan M. Jan.

“Ayo, kita berteduh di sana!”M. Jan diajaknya duduk-duduk di atas gundukan batu di bawah pohon mangga rindang tempat keduanya biasa berteduh.

“Maaf, Jan!”Tarso mulai membuka perbincangan.

“Ya?”pandangan M. Jan lurus-lurus ke arah Sutarso.

“Kalau besok sekolahmu lulus, ke mana kau akan meneruskan, Jan?”Tarso meneruskan pertanyaan.

“Ah….!”M. Jan menarik nafas panjang. Dipalingkan mukanya ke arah kelima kambingnya berada. Kembali pikiran anak itu gundah. Tak tahu ia harus menjawab apa pada Sutarso, teman akrabnya.

“Kenapa kau tampak gelisah begitu, Jan?” desak Sutar ingin tahu.
M. Jan bingung. Ia tak segera dapat menjawab pertanyaan temannya yang satu ini. Ditatapnya mata Sutarso dengan tajam. Terbaca dari sinar matanya, kalau anak itu sangat mengharap pengertian Sutarso.

M. Jan sesaat terlihat menelan ludah lewat lehernya yang tampak kurus. Lalu dengan wajah menunduk, anak lelaki itu berkata,”Aku tidak tahu apa-apa, Tarso,” M. Jan tampak sedih. “Kurasa pada setiap anak yang normal, pasti ada keinginan untuk meneruskan sekolah. Punya satu cita-cita untuk masa depan seperti aku juga. Namun…..”

“Namun, apa, Jan?”sahut Tarso ingin segera mengerti.

“Seperti yang kau tahu, siapa sebenarnya aku ini?”jawab M. Jan dengan nada tak semangat. “Tak lebih, aku hanyalah anak asuh Pak Edi. Segalanya serba tergantung pada keputusan keluarganya. Mau sekolahku diteruskan atau tidak, itu tergantung dari pertimbangan keluarga Pak Edi, bukan?”

Sekejap M. Jan diam. Sutarso pun menunduk seakan ikut hanyut dalam kesedihan temannya. Keduanya saling membisu.
Sejauh itu, di atas tengah lapang tampak beterbangan ratusan capung kian kemari dengan gembira. Terbangnya seperti mengajak bercanda dengan banyak kambing milik M. Jan maupun Sutar yang tengah larut pada kering rumput.

“Sutar!”ucap M. Jan kemudian dengan suara lirih.

“Iya?”Sutarso mengangkat muka.

“Yang jelas, andaikata orangtuaku masih hidup seperti orangtuamu,”sambung M. Jan memecah keheningan. “Tentu aku punya cita-cita tinggi dan pantang menyerah untuk terus sekolah.”

“Apa yang sebenarnya engkau cita-citakan, Sobatku?”tanya Sutarso dengan perasaan iba.

“Sesungguhnya aku ingin menjadi seorang guru, Teman.”

“Guru?!”sahut Sutarso dengan suara agak serak.

“Ya. Kenapa?”sahut M. Jan dengan tatapan kosong.

“Itu cita-cita yang amat mulia, Temanku! Cita-cita yang sangat luhur. Aku sendiri kelak setelah tamat SMA, ingin kuliah di perguruan tinggi jurusan keguruan, Sobat.”

“Agar jadi Pak Guru, begitu?”

Sutarso mengangguk. Tersipu agaknya. Karena cita-cita tersebut harus ditempuhnya masih cukup lama. Bukankah untuk kuliah di perguruan tinggi terlebih dulu harus tamat SD, SMP, kemudian SMA?

“Meski masih diperlukan waktu yang cukup panjang, aku ikut berdoa untukmu, Tarso,”ujar M. Jan dengan hati tulus. “Mudah-mudahan cita-citamu untuk menjadi guru akan dapat tercapai dengan cepat, Sobatku,” lanjut M. Jan. “Inilah doaku, teman sepenggembalaan yang hidupnya tak jelas arah. Tak jelas pegangan. Tak jelas cita-cita……!”sambil berkata demikian, tak terasa air mata M. Jan mulai menetes satu demi satu di atas gundukan batu. Basah kedua pipi lusuhnya.

Melihat itu, Sutarso ikut merasa iba. Sekali-sekali air mata M. Jan diseka oleh anak itu dengan ujung kaos oblongnya pelan-pelan. Lama akhirnya mereka berangkulan.***

-------------------------------------
Sardono Syarief

Penulis cerita anak, tinggal di Pekalongan.
d/a Jl. Raya Domiyang No.116, Paninggaran, Pekalongan, Jateng 51164
(Baca lanjutannya ....)

Jateng Juara Festival Seni Nasional

Sejumlah 104 duta Jawa Tengah yang maju ke Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) di Surabaya 14-19 Juni lalu, sukses meraih Juara Umum. Keberhasilan itu merupakan kali kedua, setelah yang pertama pada 2008 silam di Bandung.

Mereka membawa pulang 14 emas, tiga perak, satu perunggu, dua kategori harapan I, dua kategori harapan III, dan satu kategori tujuh terbaik. Tim Jateng juga berhak memboyong piala bergilir dari Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, Drs Kunto Nugroho HP MSi bersyukur atas prestasi yang didapat tersebut. "Ini merupakan anugerah Tuhan, mengingat perjuangan yang dilakukan peserta tidak mudah dan kompetisi sangat ketat."

Hasil kejuaraan tersebut antara lain, medali emas tingkat TK diraih Sinta (TK Pembina Salatiga) kategori Melukis. Jenjang SD-Dhani Dwi (SDN 1 Pucung Wonogiri) kategori Kerajinan Tangan, Zalimi (SDN 2 Pegulon Demak) kategori Mengarang Bahasa Indonesia *), dan Alviani (SDN Karanganyar 1 Demak) kategori Pidato Bahasa Indonesia.

Tingkat SLB, yakni Yuliani (SLB A YYAT Klaten) kategori Mengarang dan Bercerita, tingkat SMP Astrid Wirastri Prabandani (SMP 2 Purwokerto) kategori Menyanyi Tunggal, serta Tim diraih SMP 2 Rembang kategori Musik Tradisional. Jenjang SMA Danang Adi W (SMA 1 Salatiga) kategori Poster dan Tim diraih SMA 1 Kebumen kategori Band.

Tingkat SMK, Dewi Nur H (SMK 8 Surakarta) kategori Seni Tari Putri, Kristianto (SMK 8 Surakarta) kategori Seni Tari Putra, Peter Ardiansyah (SMK 8 Surakarta) kategori Seni Musik Nonklasik (Gitaris), Tulus Raharjo (SMK 8 Surakarta) kategori Seni Pedalangan (Garap Lakon), serta Ravik Dwi P(SMK 8 Surakarta) kategori Seni Teater (Sutradara). ***

Catatan:
*) Kemungkinan ada kesalahan nama untuk juara kategori Mengarang Bahasa Indonesia tingkat SD, sebab yang mewakili Jawa Tengah ke tingkat Nasional adalah peserta dari Kendal (Zaima Hilmi SDN 2 Pegulon, Kab. Kendal).

Sumber: Suara Merdeka
(Baca lanjutannya ....)

Korelasi antara Pendidikan dan Kemiskinan

rakerMenteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengadakan rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, di Gedung Nusantara I DPR RI, Kamis (17/6) malam. Rapat ini membahas rancangan awal dari rencana strategis pembangunan pendidikan nasional.

Menurut Nuh, harus dibedakan Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional dengan Pembangunan Pendidikan Nasional. Pembangunan Pendidikan nasional melibatkan tidak hanya Kemdiknas, tetapi juga kementrian dan lembaga terkait yang mendapatkan tugas menunaikan fungsi-fungsi pendidikan, seperti Kementerian Agama, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dan lainnya.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005 - 2025 telah ditetapkan misi pendidikan adalah sebagai berikut:
- Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila;

- Mewujudkan bangsa yang berdaya saing

- Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum;
- Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu;
- Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan;
- Mewujudkan Indonesia asri dan lestari;
- Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional;
- Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.

Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 disebutkan tugas dari kementerian-kementerian yang terkait dengan dunia pendidikan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi. "Sebagai gambaran awal, ada kaitan sangat erat antara pendidikan dengan kesehatan dan penanggulangan kemiskinan. Dari data 2008, kesimpulannya jelas bahwa penduduk kabupaten kota dengan rata-rata lama sekolah yang tinggi cenderung memiliki angka harapan hidup yang tinggi," tutur Mendiknas.

Demikian juga hubungan antara melek aksara dengan tingkat kemiskinan pun sangat erat. Semakin tinggi derajat melek huruf, semakin menurun kecenderungan kemiskinan. "Kesimpulannya urusan pendidikan dan kemiskinan itu ada korelasi positif," kata Mendknas. ***

Sumber: Kemdiknas
(Baca lanjutannya ....)

Pembukaan Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) 2010

Kementerian Pendidikan Nasional akan menyelenggarakan Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), pada 14-19 Juni 2010 di Surabaya, Jawa Timur. Festival dan lomba ini akan diikuti siswa siswi tingkat TK, SD, SMP, SMA, SMK dan SLB seluruh Indonesia.

Pembukaan akan dilangsungkan Selasa (15/06) di Gedung Jawa Timur Expo, Surabaya. Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan dan Menengah Suyanto akan membuka acara ini.

Kegiatan ini bertujuan untuk membina dan meningkatkan kreativitas siswa dalam bidang seni dan sastra. Tujuan lainnya adalah untuk menanamkan dan membina apresiasi seni dan sastra, khususnya terhadap nilai-nilai tradisi yang berakar pada budaya bangsa, di samping sebagai sarana promosi potensi siswa kepada dunia industri pariwisata.

Festival menyediakan wahana kompetensi putra-putri terbaik Indonesia dalam mengembangkan minat dan talenta yang dimiliki khususnya di bidang seni. Kegiatan ini juga mengasah kepekaan siswa dalam menghargai seni dan karya orang lain.

Secara keseluruhan jumlah peserta dan tenaga pendukung yang mengikuti Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) 2010 di Surabaya sebanyak 3.353 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.139 siswa adalah siswa SMP, SMA, dan SMK berprestasi dari sekolah negeri maupun swasta yang menjadi peserta festival. Dan 1.056 lainnya merupakan peserta lomba dari SLB, TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. ***

Sumber: Kemdiknas
(Baca lanjutannya ....)

Konsep dan Manajemen INS Kayutanam

Konsep Pendidikan di beberapa negara maju seperti Singapura, Jepang, dan Tiongkok ternyata sangat mirip dengan konsep yang ditawarkan oleh Ki. Hajar Dewantara dan Engku Moehammad Syafei. Konsep-konsep pendidikan di tiga negara tersebut sudah ada di negara kita sejak lebih kurang 80 tahun lalu. Sejarah sudah mencatat tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia, perjuangan mereka tidaklah mudah.

Kondisi di negara kita saat ini, sekolah yang baik dan benar masih dapat dihitung dalam hitungan jari. Hal-hal yang sudah ada tersebut menjadi terlupakan bahkan hilang. Yang terjadi saat ini, kita sebagai bangsa Indonesia malah senang berorientasi dengan apa yang berbau ”Barat”, dengan kata lain luar negeri. Bisa jadi, kekaguman kita pada hal-hal yang berbau luar negeri karena budaya kita tidak pernah menghargai hasil karya bangsanya sendiri. Bisa jadi pula, karena kita tidak terlalu peduli sejarah. Kita tidak terlalu dikenalkan dengan ”sejarah” yang sebenarnya.

Bagaimanapun, kita memiliki banyak tokoh pendidikan yang hebat dalam konsep pendidikan dalam membangun bangsa Indonesia. Sebagai contoh, Engku Moehammad Syafei yang hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda, ia mendirikan INS Kayu Tanam. Tokoh pendidikan ini berkeyakinan konsep yang ada di INS Kayu Tanam akan mendidik siswa berwatak mandiri, berkemauan, dan bekerja keras. Oleh karena itu konsep ini perlu terus dilestarikan dalam penyelenggaraan pendidikan di negara kita saat ini.

A. Dasar dan Nilai Filosofis INS Kayu tanam

· NASIONALISME, jati diri bangsa-jati diri masing-masing individu (karakter bangsa dan karakter diri)- membangun kembali

· PATRIOTISME

· IDEALISME

· WIRAUSAHA-ENTERPRENEUR-MANDIRI

· MASYARAKAT-KOMUNAL

· 3H (HEAD -CIPTA, HEART -RASA, HAND -KARSA) - MANUSIA SEUTUHNYA. Tiga komponen tersebut merupakan komponen utama dalam sistem pendidikan INS Kayu Tanam, yaitu tenaga ia bisa bekerja, otak ia bisa berpikir, dan jiwa ia bisa merasa.

B. Tujuan INS Kayu Tanam

agar peserta didik mampu

(1) menumbuhkembangkan budiperkerti dan akhlak mulia (sesuai dengan ajaran agama, etika dan moral);

(2) menumbuhkembangkan kemerdekaan berpikir (aktif-kreatif);

(3) menumbuhkembangkan pengetahuan, bakat/talenta dan potensi diri sesuai dengan kebutuhan masyarakat; menumbuhkembangkan etos/unjuk kerja yang tinggi;

(5) menanamkan percaya diri, kreativitas, kemandirian, dan kewirausahaan (entrepreneurship; serta

(6) mewujudkan dalam tindakan nyata semboyan: “cari sendiri dan kerjakan sendiri ”, artinya sekolah harus mampu membiayai dirinya dan tidak mau menerima bantuan yang dapat mengurangi kebebasan untuk mencapai cita-cita.

Di Ruang Pendidikan INS Kayutanam, Moh Sjafei merintis dan menumbuh-kembangkan kemandirian, kereativitas dan jiwa entrepereneurship/wirausaha, yaitu yang sejalan dengan life skills dari kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK).

1. Kemandirian

Mampu berdiri sendiri tanpa tergantung kepada orang lain. Kemandirian adalah memiliki jati diri yang kuat, gigih, ulet, rasa percaya diri yang tinggi, mampu tampil beda, tetapi rendah hati. Kita (orang Indonesia) harus mampu hidup seperti “ayam kampung ”, dan bukan halnya seperti selama ini, di mana kita dibesarkan dan dididik seperti “ayam ras ”. Dengan demikian, agar mampu eksis menghadapi tantangan global haruslah didukung oleh individu-individu yang mampu menjadi “jago ” yang tidak hanya “jago kandang ”, tetapi mampu menjadi tenaga ahli, tidak hanya TKI-sebagai tenaga pembantu rumah tangga dan buruh kasar ( lebih satu juta orang) di Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea, Saudi Arabia, Abu Dabi, dsb. dan sekitanya, dll. Melihat berbagai kasus penganiayaan, pelecehan serta tindakan semena-mena dari majikan menjadi TKI di luar negari sebagai tenaga pembantu dan buruh kasar, “martabat dan harga diri bangsa Indonesia betul-betul diuji dan dipertaruhkan ”. Kadang-kadang memang tidak ada pilihan kerja lain, dari pada makan nasi tiwul seperti di berbagai tempat di P Jawa, makan singkong rebus di Indramayu, kawin kontrak di daerah Bogor, puncak dan sekitarnya, dll.

2. Kreativitas

Kreativitas adalah menghasilkan produk baru yang penting atau meliputin semua usaha produktif dari seseorang. Ada sejumlah karakteristik kreatifitas, di antaranya (1) hasrat ingin tahu, (2) cenderung/senang untuk menemukan sesuatu, (3) berkemampuan mandiri dan independent, (4) memilih melakukan tugas yang sulit dan menantang, (5) mampu memecahkan masalah dengan baik dan yakin dengan putusan yang telah diambil, (6) senang/bergairah memecahkan masalah, (7) pemikir yang fleksibel, (8) bekerja dengan dedikasi yang tinggi dengan waktu yang lebih panjang terhadap masalah yang tidak terpecahkan, (9) memberikan respons cepat dan di luar dugaan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, (10) memperlihatkan kemampuan untuk mensintesis dan memahami implementasinya, dan (11) berkemampuan untuk membaca dengan baik.

3. Wirausaha

Thomas Paine (1776); Entrepreneur’s Credo:

“I do not to choose to be a common man, it is my right to be uncommon… if I can. I seek opportunity… not security. I do not wish to be a kept citizen, humbled and dulled by having the state look after me. I refuse to barter incentive for a dole; I prefer the challenges of life the guaranteed existence; the thrill of fulfillment to the state calm of Utopia. I will not trade freedom for beneficence nor my dignity for a handout. I will never cower before any master nor bend to any thereat. It is any heritage to stand erect, proud and unafraid; to think and act for myself, to help, I have done. All this what it means to be Entrepreneur”

C. Tingkat pendidikan, mata pelajaran dan nilai-nilai yang dikembangkan di RP Kayutanam

a. Tingkat Pendidikan di INS Kayutanam atau yang lebih dikenal dengan subtan Ruang Pendidikan Kayutanam, terdiri dari 4 tingkatan ruang:

- Ruang rendah sekolah dasar (7 tahun)

- Ruang antara (1 tahun)

Merupakan ruang transisi atau peralihan yang harus ditempuh siwa yang lulus dari ruang rendah sekolah dasar sebelum memulai pendidikannya di ruang dewasa.

- Ruang dewasa (4 tahun)

- Ruang masyarakat (1 tahun)

Bagi tamatan dari ruang dewasa yang hendak menjadi guru diwajikan belajar ilmu keguruan dan praktik mengajar.

b. Mata Pelajaran yang ada di INS Kayutanam

(Bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Indonesia (terkadang engguakan bahasa ibu)

Khusus untuk ruang dewasa ditambah pelajaran Bahasa Inggris.

Bahasa Belanda hanya dipelajari agar dapat menerjemahkan buku-buku pelajaran yang menggunakan bahasa Belanda). ***


Sumber: edu-articles.com
(Baca lanjutannya ....)

Kemendiknas Cabut Izin 18 RSBI

okezoneSebanyak 18 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dicabut izinnya karena tidak memenuhi persyaratan pendirian RSBI.

Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kemendiknas Suyanto mengatakan, 18 sekolah yang dicabut izinnya itu terdiri atas delapan SMP, delapan SMK dan dua SMA. Dia menjelaskan, pencabutan izin karena standard dan mutu pendidikan di 18 sekolah itu menurun.

Penurunan mutu tersebut contohnya karena kemampuan bahasa Inggris siswa dan atau guru menurun, pergantian kepala sekolah yang tidak memenuhi syarat, pengembangan silabus dan proses pembelajaran yang menurun. “Kita memang mengevaluasi sekolah-sekolah setiap tahunnya. Tidak kita sebut lokasinya karena ini sama dengan aib,” katanya di gedung Kemendiknas, Minggu (6/6/2010).

Suyanto menjelaskan, status sekolah RSBI itu dicabut lalu dikembalikan ke Sekolah Standar Nasional (SSN) bagi SMP dan SMA. Sementara untuk SMK, jelasnya, diberikan waktu satu tahun untuk evaluasi. Kemendiknas pun saat ini sedang menjalin kerja sama dengan Dinas Pendidikan (Disdik) disetiap provinsi guna mengevaluasi RSBI yang ada.

Kedua pihak juga akan mengawasi apakah sekolah RSBI memungut biaya diluar yang dipersyaratkan. Dari itu, pencabutan izin RSBI dapat saja bertambah karena surat pendirian memang dikeluarkan oleh Kemendiknas.

Katanya, persyaratan sekolah menjadi bertaraf internasional memang cukup sulit. Diantaranya komposisi guru untuk tingkat SD ialah 10 persen harus jenjang S2 dan S3, untuk SMP 20 persen dan SMA guru berstatus S2 dan S3nya harus 30 persen.

Kepala sekolah, lanjutnya, juga harus minimal S2 dan mampu berbahasa asing aktif. Sekolah juga harus mendapatkan akreditasi A dari badan standar sekolah terpercaya. Sarana dan prasarana juga harus lengkap dengan teknologi, informasi dan komunikasi terdepan. Kurikulum selain menyesuaiakan dengan standar nasional juga diperkaya dengan kurikulum negara maju. “Untuk SMA harus menerapkan system Satuan Kredit Semester (SKS),“ lanjutnya.

Pembelajaran juga harus bilingual serta manajemen sekolah juga harus berstandar ISO 9001:14000. Suyanto menjelaskan, sekolah RSBI juga harus diaudit oleh lembaga audit independen sehingga transparan dan akuntabel. Akibatnya, Suyanto menegaskan, fasilitas pembelajaran serta mutu inilah yang menyebabkan biaya pendidikan di RSBI lebih mahal dari sekolah lainnya.

Suyanto menjelaskan, rumitnya persyaratan yang ada menyebabkan tidak semua sekolah di Indonesia bertaraf internasional. Minimal hanya satu SD, SMP, SMA dan SMK yang akan menyandang RSBI di satu kabupaten dan kota. Ini pula yang sesuai dengan bunyi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 50 ayat 3. “Maksimal jumlah sekolah RSBI hanya 2.000 di Indonesia,” lugasnya.

Diketahui, Berdasarkan catatan Kemendiknas, jumlah sekolah RSBI di Indonesia mencapai 1.110 sekolah. Terdiri dari 997 sekolah negeri dan 113 sekolah swasta. Dari jumlah itu, jumlah SD RSBI tercatat sebanyak 195 sekolah, SMP RSBI sebanyak 299 sekolah, SMA RSBI sebanyak 321 sekolah,dan SMK RSBI sebanyak 295 sekolah.(Neneng Zubaidah/Koran SI/ram) ***

Sumber: news.okezone.com
(Baca lanjutannya ....)

Budaya Literasi Kita Mengalami Stagnasi

otakAllah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya, telah memberikan anugerah akal-budi yang tak ternilai harganya kepada umat manusia. Melalui akal-budi, manusia dapat menyimpan peristiwa masa silam ke dalam kantong memorinya, memikirkan peristiwa pada masa kini, sekaligus mampu membayangkan peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Yang luar biasa adalah kemampuan manusia untuk me-retrieve alias memanggil ulang peristiwa-peristiwa masa silam ke dalam layar kehidupan masa kini.

Bisa jadi, itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Dalam hal berbahasa, misalnya, manusia adalah makhluk yang paling dinamis. Melalui akal budinya, manusia mampu mempelajari berbagai bahasa di dunia, apalagi jika bersentuhan langsung dengan kultur masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Lain dengan binatang. Ayam dan kucing, misalnya, tak akan pernah sanggup belajar berbahasa. Meski dikerangkeng dalam sebuah kurungan seumur hidup, ayam tak akan pernah sanggup mengeong seperti kucing. Kucing pun tak akan sanggup berkokok seperti ayam. Konon, binatang hanya sanggup mempertahankan hidup berdasarkan nalurinya secara statis dan stagnan.

Pernah dengar stigma bangsa yang “rabun” membaca? Ya, stigma ini muncul akibat lumpuhnya bangsa kita dalam soal budaya membaca. Ada yang mengatakan bahwa bangsa kita mengalami lompatan budaya membaca yang tidak wajar; dari budaya praliterasi langsung melompat ke budaya posliterasi. Sedangkan, budaya literasinya (nyaris) tak lagi tersentuh. Budaya praliterasi muncul ketika bangsa kita belum sanggup baca-tulis. Mereka hanya mampu menggunakan media bahasa lisan dalam berkomunikasi dengan berbagai komunitas. Dengan berkembangnya peradaban manusia, bangsa kita masuk pada budaya literasi yang ditandai dengan sentuhan-seuntuhan nilai pendidikan yang mampu membuka kesadaran baru tentang pentingnya keaksaraan dalam mengabadikan pemikiran-pemikiran kreatif.

Belum matang benar budaya literasi mengilusumsum dan bernaung turba dalam kehidupan masyarakat, muncul peradaban baru yang memiliki daya pukau dahsyat yang ditandai dengan temuan-temuan baru di bidang teknologi dan informasi. Anak buah teknologi, semacam TV-kabel, multimedia, atau sarana telekomunikasi bergerak lainnya mulai merambah ke tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan segala kelebihan dan keunggulannya. Masyarakat pun mulai berubah pola dan gaya hidupnya. Mereka mulai dimanjakan dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan bermacam-macam piranti teknologi canggih sehingga melupakan budaya literasi yang seharusnya mereka lalui. Masyarakat demikian terpukau oleh kehadiran sarana dan fasilitas teknologi itu sehingga jadi malas dan lupa membaca. Ketika antena dan parabola menjamur di atap-atap rumah, masyarakat pun rela menghabiskan waktunya di depan “kotak ajaib” itu. Tumpukan buku dibiarkan melapuk dan tak tersentuh.

Sejatinya, membaca sangat erat kaitannya dengan aktivitas akal-budi. Membaca merupakan aksi intelektual yang mencerahkan dan mencerdaskan yang akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif sehingga menimbulkan rangsangan manusiawi untuk bertindak penuh kearifan dan kebajikan. Dalam diskursus yang lebih luas, membaca bisa dimaknai sebagai kemampuan menafsirkan “ayat-ayat” Tuhan yang tergelar di ruang semesta. Membaca sanggup “membunuh” benih-benih keangkuhan dan berbagai macam naluri purba yang serba naif dan menjijikkan. Orang yang memiliki kemampuan membaca, dengan sendirinya, tidak mudah terangsang untuk melakukan tindakan-tindakan korup dan biadab, karena tahu akan risiko dan imbasnya terhadap keseimbangan semesta.

Nah, bisa jadi, orang yang tega berbuat korup dan biadab, lantaran tak pernah melakukan aktivitas akal-budi, tak pernah membaca “ayat-ayat” Tuhan. Jika benar demikian, mereka hanya menggunakan naluri sekadar untuk memuaskan kebuasan hati, bukan menggunakan nurani untuk menjaga keseimbangan semesta. Lantas, apa bedanya dengan kucing dan ayam yang selalu statis dan stagnan sehingga tak pernah punya kesanggupan untuk membaca tanda-tanda zaman? Atau, bisa jadi, lantaran kesalahan kolektif bangsa kita yang mengalami lompatan tak wajar dalam budaya membaca? ***
(Baca lanjutannya ....)

Membumikan Dongeng di Tengah Imaji Kekerasan

Belakangan ini, nurani kita diharu biru oleh maraknya aksi kekerasan dan premanisme. Hati kita benar-benar dibuat miris menyaksikan tumpahan darah dan air mata. Hanya perkara sepele bisa membuat orang jadi kalap dan gampang meluapkan amarah. Perusakan, pembakaran, penganiayaan, dan berbagai perilaku vulgar lainnya dengan mudah kita saksikan melalui layar ajaib bernama televisi.

Benarkah bangsa kita telah kehilangan sikap ramah? Benarkah bangsa kita telah kehilangan nilai-nilai kearifan sehingga setiap masalah mesti diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, vulgar, dan vandalistik? Ke manakah nilai-nilai keluhuran budi yang dulu pernah menjadi kenyataan karakter dan kepribadian bangsa yang tak terbantahkan itu? Sudah tak ada ruangkah bagi anak-anak masa depan negeri ini untuk membangun karakter yang kokoh dan kuat sehingga tak gampang tersulut api amarah dan kalap ketika menghadapi masalah?

testimage
Kartun cerdas ala Inilah.com.
testimage
Dongeng modern ala Inilah.com.
Lihat saja panggung sosial di negeri ini yang terus berdarah-darah! Nyawa manusia kian termarginalkan oleh nafsu dan keinginan untuk menang sendiri dan saling menyakiti. Entah, sudah berapa nyawa yang melayang menjadi korban mutilasi atau tawuran antarkampung. Juga sudah tak terhitung berapa jengkal tanah yang telah berubah menjadi ladang pembantaian akibat meruyaknya nafsu serakah, dendam, dan kebencian.

Orang-orang kita pada zaman dulu, konon punya cara khas untuk menanamkan nilai-nilai keluhuran budi kepada anak cucu. Menjelang tidur, mereka biasa mendongeng sampai sang anak-cucu benar-benar tertidur pulas. Banyak nilai keteladanan dan kearifan hidup yang bisa dipetik dari rangkaian dan alur cerita dalam dongeng. Tokoh-tokoh yang punya karakter kuat seperti mampu menaburkan pesona dan makna kebajikan hidup ke dalam ruang imajinasi anak-anak. Secara tidak langsung, nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi yang tersirat dari balik dongeng mampu terserap ke dalam alam logika dan nurani anak-cucu hingga terbawa sampai mereka dewasa. Sikap toleran, moderat, rendah hati, kreatif, empati, dan nilai-nilai budi pekerti yang lain sangat kuat mengakar ke dalam memori anak-anak dan diaplikasikan ke dalam tindakan dan perilaku hidup sehari-hari.

Namun, anak-anak zaman sekarang agaknya makin sulit mendapatkan asupan nilai kearifan hidup lewat dongeng. Tingkat persaingan hidup yang makin ketat dan sengit membuat orang tua makin sibuk memburu gebyar materi. Alih-alih mendongeng, komunikasi dan interaksi dengan anak-anak pun tak lagi bisa dilakukan secara intens. Hubungan anak dan orang tua semata-mata hanya tuntutan biologis. Keluarga jadi kehilangan roh dan sentuhan nilai kearifan hidup. Yang lebih menyedihkan, anak-anak dengan mata vulgar dan telanjang menyaksikan dongeng-dongeng modern yang tersaji melalui layar kaca.

Sinetron kita yang tak henti-hentinya mengeksploitasi kekerasan, kemewahan, dendam, dan kebencian, cerita hantu dan horor, bahkan juga berita-berita vulgar tentang mutilasi, mafia peradilan, maklar kasus, atau korupsi, setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar terhadap pembentukan karakter anak. Sementara itu, dunia pendidikan yang diharapkan mampu menjadi benteng terakhir dalam mengakarkan nilai-nilai keluhuran budi makin tak berdaya ketika fenomena yang terjadi di tengah-tengah kehidupan sosial secara nyata telah mempraktikkan proses anomali dan kebangkrutan moral yang demikian masif dan telanjang. Maka, makin sempurnalah cekokan dongeng-dongeng modern itu ke dalam ruang imajinasi dan memori anak-anak.

Haruskah situasi seperti itu akan terus berlangsung hingga akhirnya anak-anak masa depan negeri ini benar-benar menjelma menjadi “monster” yang tega memangsa sesamanya dan menjadi penganut kanibalisme? Agaknya, kita perlu merevitalisasi dan sekaligus membumikan dongeng untuk mengembalikan nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi yang selama ini telah hilang dan memfosil di tengah-tengah peradaban yang makin kacau dan chaos. ***
(Baca lanjutannya ....)