KABUT DI ALAS ROBAN (4)
KABUT DI ALAS ROBAN (4)OLEH: SUGITO HADISASTRO
Setelah selesai merawat Ken Wulandri dan anak laki-lakinya, Nyi Kerti minta diri kembali ke dukuh Nyamplungan. Ada beberapa perempuan lain di sekitar kampungnya yang memerlukan pertolongannya. Matahari sudah lebih sepenggalah tingginya dari tempat terbitnya. Ki Seblu menemui cucunya, mengelus pipinya yang montok dan menyentuh ujung hidungnya yang merah. Tidak salah lagi, anak ini kelak pasti akan menjadi pemuda yang pilih tanding.
“Nyi, anak ini akan kuberi nama Risang Bagaskara karena lahir bertepatan dengan terbitnya matahari,” kata Ki Seblu.
“Terserah kau saja, kakang. Apa artinya nama itu?”
“Risang Bagaskara artinya sang matahari.”
Ken Wulandri tersenyum ketika Nyi Seblu memberi tahu bahwa kakeknya memberikan nama Risang Bagaskara untuk anaknya. Bagaskara yang berarti matahari. Suaminya pasti senang dengan nama itu. Tapi, mereka harus menunggu satu pekan untuk mengundang para tetangga guna memberitahukan nama anak yang baru lahir.
Matahari menggenapkan tugasnya saat senja. Hari berangsur gelap. Ki Seblu teringat pesan orang aneh yang menyerangnya di Pancawati. Malam ini dia harus menemuinya di Kedung Watangan. Dia tidak tahu apa yang dikehendaki orang itu. Orang baik atau jahatkah dia? Untuk apa orang itu menyerangnya dan memintanya datang ke tepian Kali Lojahan itu. Terdorong rasa penasaran, Ki Seblu akan memenuhi undangan orang itu malam ini.
“Nyi, kau jaga baik-baik Ken Wulandri dan anaknya. Aku akan pergi ke Kedung Watangan malam ini.”
“Ada keperluan apa, Kakang? Bukankah Kedung Watangan tempat yang sangat angker?”
Sebelum menjawab, Ki Seblu menarik napas panjang.
“Ada seseorang yang memintaku datang ke sana. Aku tidak tahu pasti apa maunya, tapi berdoalah mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu padaku.”
“Berhati-hatilah, Kakang.”
Ki Seblu mengenakan pakaian kesukaannya. Baju dan celana sepanjang bawah lutut warna gelap. Kepalanya diikat dengan batik wulung juga berwarna gelap. Tongkatnya tidak lepas dari genggamannya meskipun dia berjalan tanpa bantuan tongkat.
“Aku akan meminta Ki Kamitua untuk mengawasi kalian.”
Kedung Watangan tidak terlalu jauh dari Asemjajar. Namun hanya orang-orang yang mempunyai keperluan khusus yang malam hari pergi ke sana. Penduduk desa menganggapnya sebagai tempat angker. Letaknya di tepian timur Kali Lojahan, ditandai dua pohon beringin tua yang pohonnya sebesar tiga rentangan tangan orang dewasa. Rerimbunan ranting dan dedaunan laksana raksasa tidur berselimut rumput dalam bayangan gelap malam.
Ki Seblu mendekati tempat itu dengan penuh kewaspadaan. Orang aneh itu pasti bukan orang kebanyakan. Selama berdiam di kawasan Alas Roban belum pernah dia menjumpai orang ini. Tampaknya orang ini berasal dari tempat yang jauh, yang belum pernah dilihatnya.
Ada desir angin lembut di seputar tubuhnya. Ki Seblu memilih tempat yang agak lapang. Suara gemericik air sungai yang mengalir di sela-sela bebatuan menambah kesan keangkeran Kedung Watangan. Ki Seblu mempertajam mata dan pendengarannya untuk melihat apakah orang yang mengundangnya sudah tiba di situ. Sebuah bayangan hitam turun dari salah satu ranting pohon beringin seperti seekor elang sedang menghampiri calon mangsanya dan mendarat di depan petani dari Asemjajar itu berdiri.
Dalam hati Ki Seblu memuji ketinggian ilmu orang ini. Hatinya mulai terbakar, tapi pengendalian amarahnya cukup baik. Dia harus tetap tenang dan menunggu, tidak boleh menampakkan kemampuan kecuali untuk membela diri. Orang ini pasti mempunyai keinginan tertentu atas dirinya.
“Tidak apalah kamu datang terlambat, Ki Sanak. Tapi kehadiranmu memenuhi undanganku patut aku hargai,” kata orang itu memancing reaksi tamunya. Suaranya berat seperti bukan suara kesehariannya.
“Maaf, Ki Sanak. Aku orang tua yang banyak pekerjaan. Tapi menurutku ini belum terlalu malam,” jawab Ki Seblu tidak terpancing.
“Baiklah. Aku akan memenuhi janjiku untuk menyebutkan siapa diriku. Tapi, aku ingin tahu dulu jati dirimu.”
Ki Seblu menahan napas. Orang ini mulai memainkan perasaannya. Dia harus lebih berhati-hati.
“Orang-orang menyebutku Ki Seblu, aku tinggal di dukuh Asemjajar. Itu saja jati diriku.”
Orang itu tiba-tiba tertawa keras. Tubuhnya terguncang-guncang. Tanah tempat mereka berdiri seolah bergetar. Ki Seblu membiarkan orang itu puas mentertawakan dirinya.
“Kenapa kau menyembunyikan jati dirimu? Sekarang aku mengubah keputusanku, jika kau tidak mau menyebutkan namamu yang sebenarnya, aku pun tidak akan mengatakan siapa diriku. Adil kan?”
“Terserah kau. Kalau begitu aku pulang saja.”
“Tidak semudah itu, Ki Sanak. Meskipun kau hanyalah Ki Seblu, tapi kau sudah melukai ulu hatiku. Aku ingin tahu seberapa tinggi kepandaianmu.”
“Aku tidak punya urusan denganmu, Ki Sanak. Kalau tongkatku kemarin melukaimu, aku tidak sengaja.”
Tidak ada waktu untuk menjelaskan lagi. Orang itu sudah melompat sambil mengibaskan pukulannya ke arah kepala. Ki Seblu tidak ingin berbenturan tenaga dengan penyerangnya. Dia memilih menghindar sambil berusaha mengenali gerakan orang itu. Kalau orang ini berasal dari kawasan seputar Alas Roban, dua atau tiga jurus serangannya sudah cukup baginya untuk mengenalnya. Namun jika berasal dari daerah lain, akan sulit dikenali. Pukulan orang itu gagal, secepat kilat dia menarik tangannya dan kaki kirinya menusuk rusuk kanan Ki Seblu. Andaikan mau, Ki Seblu bisa menangkap atau memukul tulung kerasnya, tapi orang tua ini hanya ingin mengenali jurusnya.
Ki Seblu menjauhi penyerangnya. Seperti mengenal sesuatu yang lama terlupakan, dia berusaha mengingat gerakan-gerakan lawannya yang suatu ketika pernah dikenalnya.
“Jangan pergi, Ki Sanak, permainan kita baru permulaan.”
“Bagaimana aku harus meladeni orang yang tidak punya urusan denganku?”
“Kenapa tidak? Kita laki-laki yang punya kehormatan. Kau takut menghadapi aku, Ki Sanak?” tanya orang itu sambil mengayunkan pukulan mautnya ke arah dada Ki Seblu.
Hati Ki Seblu mulai gerah. Tampaknya orang ini sengaja membangkitkan amarahnya. Lalu untuk apa dia memancing-mancing kemarahan dirinya. Selama ini dia tidak mempunyai seorang musuh pun. Masa kejayaan Kanjeng Sultan Agung sudah surut seiring dengan datangnya jaman baru. Pelan namun pasti Mataram sedang menuruni tangga kepudarannya. Peristiwa penyerbuan ke Batavia sudah lama menjadi kenangan. Semua anggota pasukan yang dahulu saling bahu membahu berperang melawan orang-orang asing di Batavia sudah terpisah dan memilih jalan hidup sendiri-sendiri. Sebagian kembali ke Mataram, sebagian memilih hidup di Tanah Pasundan, Batavia, mengabdi di Kasultanan Cirebon, dan sebagian lagi memilih hidup sebagai petani di sepanjang pantai utara Tanah Jawa seperti dirinya. *** (BERSAMBUNG)
0 komentar:
Posting Komentar