Karakteristik, Fungsi, dan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik (Bagian II)

Oleh: Sawali Tuhusetya

1. Pemicu Konflik Internal

Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang berfungsi sebagai pemicu konflik internal terinci ke dalam empat jenis konflik, yaitu kebimbangan, kekecewaan, keputusasaan, dan kecemburuan.

2.1 Kebimbangan
Konflik internal yang berupa kebimbangan ditandai dengan munculnya sikap bimbang atau ragu-ragu dalam diri seorang tokoh yang dipicu oleh tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang diujarkan oleh tokoh lain.














(28)HANDARBENI:Aneh? Apa yang aneh?
BU LANTING:Begini. Kalau tak salah, saya mendengar Anda pernah memberi kebebasan yang demikian longgar kepada Lasi. Bekisar itu Anda izinkan mencari lelaki lain asal dia tutup mulut dan tetap resmi menjadi istri Anda. Begitu, kan? Kok sekarang Anda kebakaran jenggot ketika Lasi mau dipinjam Bambung?

(Belantik: 10)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (28) yang mengandung kekeliruan inferensi berfungsi sebagai pemicu konflik internal berupa perasaan bimbang dalam diri Handarbeni. Setelah penolakan Handarbeni dianggap Bu Lanting sebagai hal yang aneh, Handarbeni mulai dilanda kebimbangan.

2.2 Kekecewaan
Konflik internal yang berupa kekecewaan terekspresi melalui sikap seorang tokoh yang merasa kecewa (kecil hati, tidak senang, atau tidak puas) akibat munculnya tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang diujarkan oleh tokoh lain.














(29)KANJAT:

Ya, masih. Tetapi burung kuntul makin sedikit. Barisannya makin pendek.




LASI:

Tetapi kita juga akan beli mobil yang bagus, telepon, kolam renang, ah, pokoknya apa saja supaya anak kita senang. Dan surau Eyang Mus akan kita bangun menjadi mesjid yang besar...



(Belantik: 126-127)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (29) terdapat pada tuturan yang berfungsi sebagai pemicu konflik internal berupa kekecewaan dalam diri Kanjat.

2.3 Keputusasaan
Konflik internal yang berupa keputusasaan terekspresi melalui sikap seorang tokoh yang putus asa (kehilangan harapan/tidak mempunyai harapan lagi) yang tampak dalam dialog antartokoh.




















(30)LASI:

Bu, saya kan tidak bisa apa-apa. Kalau Pak Bambung mau datang, saya juga tidak bisa menolak.




BU LANTING:

Jelasnya, Las, kamu mau menerima dia, kan?




LASI:

Karena saya tak bisa menolak, ya mau. Ini rumah Pak Bambung, kan?



(Belantik: 108-110)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (30) terdapat pada tuturan Bu Lanting yang berfungsi sebagai pemicu konflik internal berupa keputusasaan dalam diri Lasi. Lasi sudah tidak sanggup lagi melawan tekanan-tekanan yang terus dilakukan oleh Bu Lanting agar Lasi mau menuruti keinginan Bambung.

2.4 Kecemburuan
Konflik internal yang berupa kecemburuan terwujud melalui sikap seorang tokoh yang cemburu, yaitu sikap kurang percaya atau curiga karena adanya sikap iri, yang tampak dalam dialog antartokoh.





















(31)


KANJAT:

Ya, aku tahu. Dari koran.




LASI:

Jat, aku makin sering dikira orang Jepang. Anehnya Pak Bambung malah bangga. Jadi aku sering pakai kimono. Yang mendandani aku perempuan Jepang asli.




KANJAT:

Cukup, Las. Aku hanya ingin mendengar cerita ikwal kamu dan kandunganmu!



(Belantik: 122)



Tuturan Lasi pada penggalan teks (31) yang menceritakan bahwa Bambung merasa bangga ketika ia mengenakan kimono merupakan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan. Tuturan tersebut berfungsi sebagai pemicu konflik internal berupa kecemburuan dalam diri Kanjat.

Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik dilatarbelakangi oleh penggambaran karakter tokoh, penyampaian pesan moral, penggambaran ketimpangan sosial, penggambaran kebiasaan tokoh, penggambaran nilai-nilai budaya, penggambaran perbedaan status sosial, dan penggambaran gaya hidup tokoh.

1.1 Penggambaran Karakter Tokoh
Penggambaran karakter tokoh diwujudkan dalam bentuk tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.














(32)HANDARBENI:Betul! Maka dia adalah bajul buntung? Eh, Bambung? Nah!
BU LANTING:... He-he-he ... dia tidak berkutik di bawah ketiak istri pertamanya yang peot dan nyinyir itu. ...

(Belantik: 8)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi pada penggalan teks (32) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut digunakan untuk menggambarkan karakter Bambung dengan menggunakan jenis tuturan representatif yang

1.2 Penyampaian Pesan Moral
Penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan juga dilatarbelakangi oleh maksud pengarang untuk menyampaikan pesan moral kepada pembaca.














(33)PAK MIN:Ya, Pak.


HANDARBENI:Tetapi orang hidup harus punya ambisi, punya keinginan. Artinya, orang harus mengejar apa yang diinginkan atau yang dicita-citakan. Bila tidak, ya melempem, atau mati sajalah. Orang yang tak punya ambisi, yang nrima terus, tak bisa maju, kan? Mau tahu contohnya?

(Belantik: 17)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (33) terdapat pada tuturan Handarbeni. Tuturan tersebut dilatarbelakangi oleh maksud untuk menyampaikan pesan moral kepada pembaca,

1.3 Penggambaran Ketimpangan sosial
Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan bisa dimanfaatkan oleh pengarang untuk menggambarkan ketimpangan sosial yang terjadi pada kelompok masyarakat tertentu.














(34)HANDARBENI:

Ya, Bu Lanting benar. Kamu saya ceraikan. Rumah di Slipi dan isinya boleh kamu miliki. Kamu juga boleh memakai sopirku asal bukan Pak Min. Maafkan aku.




BU LANTING:

.... Dan inilah modelnya orang gedean. Tetapi kamu jangan salahkan Mas Han. Dia memang kehilangan bekisar kesayangannya, ya kamu. Tetapi Mas Han, kata Pak Bambung, akan mendapat kompensasi, eh imbalan, menjadi direktur sebuah perusahaan perkapalan besar. Mungkin juga dia akan jadi menteri. Nah, sudah ngerti? ....



(Belantik: 58-59)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (34) yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dimaksudkan untuk menggambarkan ketimpangan sosial, khususnya yang terjadi di kalangan orang-orang elite.
1.4 Penggambaran Kebiasaan tokoh
Dalam novel Belantik ditemukan adanya penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang dilatarbelakangi oleh maksud pengarang untuk menggambarkan kebiasaan tokoh.















(35)


LASI:Jadi Ibu di situ sekarang?


BU LANTING:

Ya! Biasa, Las. Ketika kamu menemani Pak Bambung tadi aku bertemu, anulah, ayam jago bule. Dan aku bilang juga apa, duit memang amat penting. Buktinya, bule yang masih muda itu bisa kubeli. Memang cukup mahal, tetapi tak apa karena aku sudah lama tak makan bule, he-he-he....



(Belantik: 44)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (35) terdapat pada tuturan Bu Lanting yang diujarkan melalui jenis tuturan representatif menyatakan. Melalui tuturan tersebut, Bu Lanting bermaksud untuk menyatakan kebiasaannya yang suka berkencan dengan lelaki muda, memandang duit

1.5 Penggambaran Nilai-nilai Budaya
Penggambaran nilai-nilai budaya juga bisa dilakukan oleh pengarang melalui penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.














(36)LASI:

Kalau kamu tidak bohong berarti kita sama-sama orang bebas. Bedanya, kamu masih perjaka, sedangkan aku janda dua kali. Tak tahulah, yang


penting kita sama-sama orang bebas. Ini penting karena rasanya aku ingin ngobrol sama kamu sampai pagi. Mau, kan? Berterus-teranglah, mau atau tidak.




KANJAT:

Mau. Tetapi secukupnya saja, tak perlu sampai pagi. Ah, kamu tak boleh lupa, ini Karangsoga.



(Belantik: 82-83)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (36) terdapat pada tuturan Kanjat. Tuturan tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran nilai-nilai budaya yang masih kuat dianut oleh masyarakat Karangsoga yang menilai tidak etis jika laki-laki dan perempuan yang bukan mukrim dan suami-istri terlibat dalam perbincangan hingga larut pagi.

1.6 Penggambaran Perbedaan Status Sosial
Dalam novel Belantik ditemukan adanya penggambaran perbedaan status sosial yang disamarkan melalui bagian dialog yang terekspresi dalam wujud tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.














(37)LASI:

Bagaimana, Mak?




MBOK WIRYAJI:

....Namun jujur saja, saya merasa malu terhadap emaknya Kanjat. Soalnya, bagaimanapun keadaannya sekarang, Lasi adalah anak saya, orang miskin. Bapak kandungnya entah di mana. Dan ....



(Belantik: 93)



Tuturan Mbok Wiryaji yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (37) digunakan untuk menggambarkan status sosial antartokoh sehingga pembaca tergugah untuk menumbuhkan sikap empatinya terhadap tokoh yang berstatus sosial lebih rendah.



1.7 Penggambaran Gaya Hidup Tokoh
Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan juga bisa dimanfaatkan oleh pengarang untuk menggambarkan gaya hidup tokoh cerita.














(38)LASI:

Jadi Ibu menyesal mengajak saya kemari?




BU LANTING:

Oalah, Las, aku bukan lagi perawan kencur. Aku perempuan tua yang amat cukup pengalaman. Dan tahu adat lelaki. Jadi nanti, bila ternyata Pak Bambung suka sama kamu, ya sudah. Aku tak perlu merasa rugi. Betul! Toh aku sudah dapat uangnya. Pulang dari sini, lihatlah, aku akan beli Mercy model terbaru. Dengan mobil itu si Kacamata pasti mau kubawa ke mana-mana. Apa lagi?



(Belantik: 38-39)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (38) terdapat pada tuturan Bu Lanting yang digunakan untuk menggambarkan gaya hidup tokoh. Cara penggambaran gaya hidup tokoh cerita semacam itu bisa menimbulkan efek emosional tertentu kepada pembaca, yaitu efek antipati terhadap tokoh Bu Lanting yang memiliki gaya hidup glamor dan suka memanjakan nafsu libidonya.



Simpulan
Karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dipilah ke dalam empat kelompok atas dasar: situasi tutur, jenis tuturan, pelanggaran prinsip kerja sama, dan pelanggaran prinsip kesantunan. Berdasarkan situasi tutur, tuturan tersebut memiliki karakteristik berupa tuturan bernada: sinis, memuji, membujuk, mengancam, memaksa, sombong, menyindir, merendahkan harga diri pihak lain, umpatan, rendah hati, kurang percaya diri, vulger. Berdasarkan jenisnya, tuturan tersebut memiliki karakteristik berupa tuturan: ilokusi, perlokusi, representatif, direktif, ekspresif, komisif, deklaratif, taklangsung, dan takharfiah. Berdasarkan pelanggaran prinsip kerja sama, tuturan tersebut memiliki karakteristik melanggar bidal: kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Berdasarkan pelanggaran prinsip kesantunan, tuturan tersebut memiliki karakteristik melanggar bidal: ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian.

Fungsi tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan adalah sebagai: pemicu konflik eksternal dan pemicu konflik internal. Fungsi sebagai pemicu konflik eksternal mencakupi konflik yang berupa: percekcokan, penindasan, pemaksaan, dan pelecehan status sosial. Fungsi sebagai pemicu konflik internal mencakupi konflik yang berupa: kebimbangan, kekecewaan, keputusasaan, dan kecemburuan.

Hal-hal yang melatarbelakangi penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan adalah: penggambaran karakter tokoh, penyampaian pesan moral, penggambaran ketimpangan sosial, penggambaran kebiasaan tokoh, penggambaran nilai-nilai budaya, penggambaran perbedaan status sosial, dan penggambaran gaya hidup tokoh.

Berdasarkan hasil penelitian, tuturan dalam teks novel yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan bisa membuat teks novel lebih memiliki daya tarik. Hal ini bisa menjadi pembuka jalan terhadap penelitian teks novel dari sudut pandang pragmatik yang lain, misalnya, karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung implikatur percakapan dalam teks novel. Selain itu, para calon pengarang novel bisa memanfaatkan hasil penelitian ini dalam menciptakan teks novel, khususnya dalam menciptakan konflik melalui dialog antartokoh. *** (habis)


Daftar Pustaka



Abrams, M.H. 1953. The Mirror an the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Holt, Rinehart, and Winston.

Alwi, Hasan (ed.). 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

-------------- 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.

Atmazaki. 1995. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Bandung: Angkasa.

Bates, Elizabeth. 1976. Language and Context: The Acquisition of Pragmatics. London: Academic Press Inc.

Budiyati, Lucia Maria. 2001. Kevariasian Tindak Tutur Percakapan Tokoh Utama Wanita dalam Novel-novel Karya Pengarang Wanita (Tesis PPs Unnes).

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fraser, Bruce. 1978. "Acquiring Social Competence in a Second Language" dalam RELC Journal Volume 9, Nomor 2, Desember 1978.

Gazdar, Gerald. 1979. Pragmatics: Implicature, Presupposition, and Logical Form. New York: Academic Press.

Grice, H. Paul. 1975. "Logic and Conversation" dalam Cole, Peter dan J. Morgan (ed.). Syntax and Semantics: Speech Acts. New York: Oxford University Press.

----------------- 1991. "Logic and Conversation" dalam Davis S. (ed.). Pragmatics: A Reader. New York: Oxford University Press.

Gumperz, John J. 1982. Discourse Analysis. New York: Cambridge University Press.

Gunarwan, Asim. 1994. "Pragmatik: Pandangan Mata Burung" dalam Soenjono Dardjowidjojo (ed.) Mengiring Rekan Sejati: Festschrift buat Pak Ton. Jakarta: Unika Atmajaya.

-------------------- 1992. "Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik". Makalah pada Pelba VII, Jakarta 26-27 Oktober 1992.

Hamzah, Adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: Rosda.

Ibrahim, Abdul Syukur. 1992. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.

Junus, Umar. 1989. Stilistik: Suatu Pengantar. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kimball, John L. 1975. Syntax and Semantics, Speech Act. New York: Academic Press.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. New York: Longman Inc.

---------------------- 1983. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D. Oka. Jakarta: UI Press.

Lubis, Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics: an Introduction. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell.

Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Oemarjati, Boen S. 1984. Chairil Anwar: The Poet and His Language. Gravenhage: Martinus Nijhof.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Ygyakarta: Gajah Mada University Press.

----------------------------------- 1999. Penelitian Stilistika Genetik: Kasus Gaya Bahasa W.S. Rendra dalam Ballada Orang-orang Tercinta dan Blues untuk Bonnie. Humaniora No. 12 September-Desember 1999. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Purwo, Bambang Kaswanti (ed.). 1984. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta:Kanisius.

Richard, Jack C. 1995. On Conversation. Terjemahan Ismari. Surabaya: Airlangga University Press.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: C.V. IKIP Semarang Press.

Schiffrin, Deborah. 1994. Approach to Discourse. Cambridge: Blackwell Plubishers.

Searle, John R. 1969. Speech Act: an Essay in The Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press.

Sperber, Dan dan Deirde Wilson. 1986. Relevance: Communication and Cognition. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell Publishers Inc.

Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistics Analysis of Natural Language. Oxford: Basil Blackwell.

Subroto, Edi D. 1999. Telaah Stilistika Novel Berbahasa Jawa Tahun 1980-an. Jakarta: Depdikbud.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisa Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta:Grafiti.

Sumardjo, Yakob. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.

Supriyanto, Teguh. 1997. Gaya Bahasa Novel Bekisar Merah. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tohari, Ahmad. 2001. Belantik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tresnati, Tjetje. 2001. Fungsi Pertanyaan Tuturan Wanita dalam Novel Karmila Karya Marga T. (Tesis PPs Unnes).

Wahono. 2001. Peranan Dialog dan Pelanggaran serta Pematuhan Prinsip Pragmatik dalam Membangun Konflik pada Teks Drama (Tesis PPs Unnes).

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Yudiono K.S. 2003. Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo.

3 komentar:

  1. admin mengatakan...

    salam kenal juga, mas fachrul, terima kasih sudah berkenan berkunjung.

  2. admin mengatakan...

    sama-sama, mas. terima kasih juga atas kunjungan dan apresiasinya.

  3. gusna mengatakan...

    bagus banget :lol:

Posting Komentar