“ KETULUSAN HATI LIA”

Oleh Sardono Syarief

Sampai sekarang ini, di daerah Lia tinggal masih sering turun hujan. Itulah sebabnya setiap kali anak kelas 6 SD itu berangkat sekolah, di tangannya selalu tersandang setangkai payung hitam. Tentu saja untuk jaga-jaga barangkali di tengah perjalanan nanti hujan turun lebat. Dengan membawa payung berarti Lia tidak akan basah kuyup.

Tetapi apa hendak dikata? Setangkai payung yang senantiasa dibawanya setiap hari itu kemarin tertinggal di sekolah. Entah diambil siapa, kenyataan yang terjadi payung milik Lia hilang. Anak itu tak tahu ke mana rimbanya. Oleh sebab itu, kini Lia tidak punya payung lagi. Padahal dengan deras hujan mengguyur bumi sejak pukul 06.00 pagi tadi.

cerita anak“Lia, sudah siang, Nduk. Kenapa kau tak segera berangkat? Nanti sekolahmu terlambat lagi lho…!”ujar Ibu Lia mengingatkan.

“Lia tak ingin berhujan-hujanan, Bu,”katanya kurang semangat.

“Berpayung seujung daun pisang, bisa bukan, Lia?”bujuk ibunya. Lia diam. Mukanya sedikit murung.

“Lia…,”kata Ibunya lembut sambil mengelus-elus rambut Lia.

“Ingatlah pepatah!”tambahnya. “Kalau tak ada rotan, akar pun jadi, bukan?”

“Apa maksud, Ibu?”

“Kalau tak ada payung, berpayung daun pisang, bisa ‘kan?” Lia diam lagi. Anak perempuan itu murungnya kian menjadi.

“Ya. sudah.......,” ujar ibunya melemah. “Kalau Lia anak Ibu yang pandai,” sambung ibunya. “Tidak punya payung tentu bukan sebagai alasan untuk tidak berangkat sekolah. Sebaliknya, malah mau berpikir, meski hujan lebat, berangkat sekolah itu tetap nomor satu.”

“Tapi, Lia malu pada teman-teman, Bu, ”jawab Lia lirih. “Masa di zaman modern seperti sekarang ini masih ada anak yang mau berpayung daun pisang?”

“Kenapa mesti malu? Yang penting kan bajumu tidak basah? Bisa tiba di sekolah dan bisa menuntut ilmu seperti teman-temanmu yang lain?”

Untuk sesaat Lia tidak menyahut kata-kata ibunya. Ia diam. Entah apa yang berkecamuk di benaknya, yang jelas akhirnya Lia berkata,”Baiklah, Bu. Lia menuruti saran Ibu saja. Tapi mana daun pisangnya?”

“Tunggu sebentar, Nduk! Akan Ibu petikkan,”dengan hati cukup lega, Ibu Lia memenuhi permintaan anak tunggalnya. Ibu setengah baya itu segera meninggalkan Lia di teras depan.

Dengan pisau yang cukup tajam, Ibu Lia memetik daun pisang batu di samping rumah.

“Ini daun pisangnya, Nduk!”kata Ibu Lia manakala mendapatkan Lia kembali.

“Baik, Bu. Terima kasih. Lia berangkat sekolah dulu ya., Bu?”

“Berangkatlah dengan hati-hati!”sambil mengangguk lega, Ibu Lia mengiringi kepergian anaknya hingga lenyap di tikungan jalan.

Setiba di sekolah, Lia langsung menuju ke ruang kelas 6.

“Selamat pagi, Pak!”salam Lia begitu tiba di depan kelas.

“Pagi…! Silakan masuk!”sambut Pak Arif ramah.

“Terima kasih, Pak,”sahut Lia seraya tersenyum.

“Mengapa sampai terlambat, Lia?”

“Maaf, Pak. Di samping lama tak ada angkudes (angkutan pedesaan) lewat, di rumah juga tidak ada paying, Pak.”

“Di mana payungmu, Lia?”

“Payung Lia hilang di sekolah kemarin, Pak.” Mendengar alasan itu, Pak Arif pun maklum.

“Ya sudah. Silakan duduk!” Lia mengangguk. Lalu menuju bangku tempat duduknya.

Rupanya, di SD tempat sekolahnya, Lia merupakan salah seorang murid yang cukup cerdas. Kecerdasan Lia tidak hanya terbatas pada pelajaran akademis saja. Melainkan pandai juga di bidang mengarang. Bukti semua itu, banyak puisi maupun cerita anak karangan Lia yang termuat di majalah anak-anak. Baik yang terbit di Semarang maupun Jakarta.
Seperti halnya hari itu. Saat istirakhat pertama tiba, Lia dipanggil Pak Arif di Kantor Guru.

“Selamat siang, Pak!”ujar Lia sopan. “Benarkah Bapak memanggil saya?”tanya anak perempuan itu kemudian.

“Benar, Lia. Ini ada kiriman uang untukmu dari majalah anak-anak terbitan Jakarta.”

“Benar itu,Pak?”tanya Lia dengan nada gembira.
Pak Arif mengangguk, ”Ini, terimalah! Setelah kau mintakan tanda tangan Pak Kepala Sekolah, silakan uang itu kauambil di Kantor Pos!”ujar Pak Arif meyakinkan.

“Baik, Pak. Terima kasih,”ucap Lia sembari tersenyum. Usai itu Lia menuju ke ruang Pak Kepala Sekolah untuk meminta tanda tangan atas wesel pos yang tadi diterimanya dari Pak Arif.

“Kiriman uang dari mana, Lia?”tanya Pak Kepala Sekolah ingin tahu.

“Dari majalah anak-anak tebitan Jakata, Pak.” Pak Kepala Sekolah mengangguk-angguk seraya tersenyum.

“Bagus. Calon pengarang besar kamu, Lia!”

“Terima kasih atas pujian Bapak,”sahut Lia gembira.

“Mengaranglah terus, agar karya dan namamu makin terkenal, Lia!”

“Iya, Pak. Saran Bapak akan senantiasa Lia ingat.”

“Silakan kauambil uangmu di Kantor Pos sekarang juga!”

“Baik, Pak. Terima kasih,”ujar Lia seraya tersenyum.
Selang sesaat, Lia pun meminta izin ke Kantor Pos untuk menukarkan weselnya dengan uang. Letak Kantor Pos tak jauh dari SD tempat Lia sekolah.

Setelah mendapatkan uang, sambil berjalan menuju sekolahnya kembali, Lia mengolah pikir,”Nanti uang ini akan Lia belikan payung. Tentu Ibu akan merasa senang, karena Lia dapat membeli payung dengan uang Lia sendiri. Tanpa harus meminta Ibu. “

Pikiran Lia terus melayang-layang, hingga hampir saja tak mendengar ketika namanya ada yang memanggil.

“Nak Lia..! Nak, Nak Lia…! Tolonglah saya, Nak. Saya sakit, Nak Lia…!”suara memelas itu keras lagi berulangkali datangnya. Hingga kagetlah Lia, ketika ia menoleh dan mendapatkan sesosok tubuh perempuan renta yang terkulai di pinggir jalan.

“Lho, kok Nek Saidah? Mengapa Nenek berada di sini? Mengapa kaki kanan Nek Saidah berlumuran darah?”

“Ta,ta,tadi, Nenek ditabrak Honda dari belakang, Nak Lia. Tapi motornya terus kabur meniggalkan Nenek,”tutur Nenek renta yang terkulai di bawah pohon mahoni itu agak tesendat.

“Duh, kasihan sekali engkau Nek!”dengan perasaan penuh iba, Lia berseru. Anak itu gugup. “Mari ikut Lia ke Puskesmas, Nek!”dipapahnya Nek Saidah dengan hati-hati.

“Pak Penarik Becak! Tolong saya, Pak!”panggil Lia kepada seorang pengemudi becak yang kebetulan melintas tak jauh dari tempat itu.

“Ke mana, Nak?”

“Ke Puskesmas terdekat, Pak!”pinta Lia.

“ Baik,Nak!”

Sebelum meluncur ke Puskesmas, terlebih dulu Lia minta diantarkan ke sekolahnya untuk berpamitan kepada Pak Arif. Dengan ketulusan hati, Lia berniat menolong jiwa Nek Saidah .Jiwa yang terancam kehabisan darah akibat korban tabrak lari.
Dari honor hasil tulisan puisinya, Lia ingin berbuat sesuatu yang amat bermanfaat bagi Nek Saidah. Meskipun akhirnya anak itu tak jadi membeli setangkai payung yang sejak tadi diimpikannya.***

SARDONO SYARIEF
Ketua Asosiasi Guru Penulis Seluruh Indonesia (AGUPENA) Kabupaten Pekalongan
BRI Unit Kajen
No.Rek. 3029-01-016566-53-0
SDN 02 Lumeneng – Paninggaran
Pekalongan 51164, Jateng

0 komentar:

Posting Komentar