Membumikan Dongeng di Tengah Imaji Kekerasan

Belakangan ini, nurani kita diharu biru oleh maraknya aksi kekerasan dan premanisme. Hati kita benar-benar dibuat miris menyaksikan tumpahan darah dan air mata. Hanya perkara sepele bisa membuat orang jadi kalap dan gampang meluapkan amarah. Perusakan, pembakaran, penganiayaan, dan berbagai perilaku vulgar lainnya dengan mudah kita saksikan melalui layar ajaib bernama televisi.

Benarkah bangsa kita telah kehilangan sikap ramah? Benarkah bangsa kita telah kehilangan nilai-nilai kearifan sehingga setiap masalah mesti diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, vulgar, dan vandalistik? Ke manakah nilai-nilai keluhuran budi yang dulu pernah menjadi kenyataan karakter dan kepribadian bangsa yang tak terbantahkan itu? Sudah tak ada ruangkah bagi anak-anak masa depan negeri ini untuk membangun karakter yang kokoh dan kuat sehingga tak gampang tersulut api amarah dan kalap ketika menghadapi masalah?

testimage
Kartun cerdas ala Inilah.com.
testimage
Dongeng modern ala Inilah.com.
Lihat saja panggung sosial di negeri ini yang terus berdarah-darah! Nyawa manusia kian termarginalkan oleh nafsu dan keinginan untuk menang sendiri dan saling menyakiti. Entah, sudah berapa nyawa yang melayang menjadi korban mutilasi atau tawuran antarkampung. Juga sudah tak terhitung berapa jengkal tanah yang telah berubah menjadi ladang pembantaian akibat meruyaknya nafsu serakah, dendam, dan kebencian.

Orang-orang kita pada zaman dulu, konon punya cara khas untuk menanamkan nilai-nilai keluhuran budi kepada anak cucu. Menjelang tidur, mereka biasa mendongeng sampai sang anak-cucu benar-benar tertidur pulas. Banyak nilai keteladanan dan kearifan hidup yang bisa dipetik dari rangkaian dan alur cerita dalam dongeng. Tokoh-tokoh yang punya karakter kuat seperti mampu menaburkan pesona dan makna kebajikan hidup ke dalam ruang imajinasi anak-anak. Secara tidak langsung, nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi yang tersirat dari balik dongeng mampu terserap ke dalam alam logika dan nurani anak-cucu hingga terbawa sampai mereka dewasa. Sikap toleran, moderat, rendah hati, kreatif, empati, dan nilai-nilai budi pekerti yang lain sangat kuat mengakar ke dalam memori anak-anak dan diaplikasikan ke dalam tindakan dan perilaku hidup sehari-hari.

Namun, anak-anak zaman sekarang agaknya makin sulit mendapatkan asupan nilai kearifan hidup lewat dongeng. Tingkat persaingan hidup yang makin ketat dan sengit membuat orang tua makin sibuk memburu gebyar materi. Alih-alih mendongeng, komunikasi dan interaksi dengan anak-anak pun tak lagi bisa dilakukan secara intens. Hubungan anak dan orang tua semata-mata hanya tuntutan biologis. Keluarga jadi kehilangan roh dan sentuhan nilai kearifan hidup. Yang lebih menyedihkan, anak-anak dengan mata vulgar dan telanjang menyaksikan dongeng-dongeng modern yang tersaji melalui layar kaca.

Sinetron kita yang tak henti-hentinya mengeksploitasi kekerasan, kemewahan, dendam, dan kebencian, cerita hantu dan horor, bahkan juga berita-berita vulgar tentang mutilasi, mafia peradilan, maklar kasus, atau korupsi, setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar terhadap pembentukan karakter anak. Sementara itu, dunia pendidikan yang diharapkan mampu menjadi benteng terakhir dalam mengakarkan nilai-nilai keluhuran budi makin tak berdaya ketika fenomena yang terjadi di tengah-tengah kehidupan sosial secara nyata telah mempraktikkan proses anomali dan kebangkrutan moral yang demikian masif dan telanjang. Maka, makin sempurnalah cekokan dongeng-dongeng modern itu ke dalam ruang imajinasi dan memori anak-anak.

Haruskah situasi seperti itu akan terus berlangsung hingga akhirnya anak-anak masa depan negeri ini benar-benar menjelma menjadi “monster” yang tega memangsa sesamanya dan menjadi penganut kanibalisme? Agaknya, kita perlu merevitalisasi dan sekaligus membumikan dongeng untuk mengembalikan nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi yang selama ini telah hilang dan memfosil di tengah-tengah peradaban yang makin kacau dan chaos. ***

0 komentar:

Posting Komentar