CERMIN DI TENGAH BATANG (BAGIAN I)

Pengantar:
(Beberapa waktu yang lalu, kami menerima email dari Pak Syardono Syarif, seorang guru dari Pekalongan yang kreatif melalui suguhan-suguhan kisahnya yang memikat. Beberapa cerita anaknya sudah beberapa kali dimuat di web ini, meski --mohon maaf-- tanpa honor alias imbalan sepeser pun. Kiriman email kali ini berupa cerita bersambung. Kami sangat senang menerimanya. Terima kasih Pak Syardono. Pada edisi kali ini kami muat kisah bagian I. Selamat menikmati, semoga menghibur dan bermanfaat. Salam kreatif!)

KABAR GEMBIRA

Sabtu, jam 06. 00 pagi. Suasana desaku masih tampak sepi. Belum banyak orang pergi ke pasar, apalagi ke kantor tempat mereka bekerja. Belum, belum banyak. Kebanyakan orang di desaku masih lebih suka bermalas-malasan. Mereka suka pilih berselimut sarung daripada harus berdandan rapi. Lebih-lebih jam baru sepagi itu.

Maklum. Desaku, Domiyang, terletak di kaki Gunung Slamet. Karena di pegunungan, bila musim kemarau tiba seperti sekarang ini, bukan main dinginnya udara pagi bertiup. Dingin! Dingin sekali! Jadi, wajar bila jam sepagi itu baru sedikit orang di desaku yang mau meninggalkan rumah untuk bekerja.

Berbeda denganku. Karena dituntut untuk tidak sampai terlambat tiba di sekolah. Walau udara masih terasa dingin. Walau hari masih sangat pagi. Walau badan masih menggigil. Mau tak mau aku harus sudah bersiap diri untuk berangkat sekolah. Apalagi sekolahku cukup jauh jaraknya dari rumah.

Di SMP Negeri 1 Paninggaran, itu tempat sekolahku. Untuk bisa sampai di sekolah, hampir setiap pagi aku selalu menumpang bus umum. Bus yang selalu melintas di jalan raya depan rumahku.

Benar. Pagi itu aku tiba di sekolah jam 06.45. Di halaman belum tampak banyak anak yang datang. Rupanya baru beberapa temanku saja yang ada. Mereka antara lain; Gadis, Melati, Teten, Dhestya, dan Jaka. Semua terlihat asyik berbincang di bangku taman.

“Hallo! Selamat pagi, Virdha! Apa kabar?”demikian sapa Melati begitu melihatku turun dari bus.

“Hallo! Selamat pagi juga! Kabarku baik-baik saja,Sobat,”jawabku seraya menghampiri Melati dan teman-teman.

“Syukurlah kalau begitu,”ujar anak berkulit hitam manis tadi sambil tersenyum.

“Virdha!”ujar Melati kemudian.

“Ya! Ada apa lagi, Sobat?”sahutku menyimpan tanda tanya.

“Cepat kautaruh tasmu ke dalam kelas! Kemudian segera ke sini lagi!”

“Lho! Memangnya ada apa, Kawan?”tanyaku dengan kening sedikit berkerut.

“Mau ikut kami, tidak?”balas Melati.

“Ke mana?”dengan rasa penasaran, aku bertanya lagi.

“Ke kantor guru untuk menemui Bu Nuning.”

“Ada apa dengan Bu Nuning?”tanyaku masih dengan rasa penasaran

“Kata Beliau,”jawab Melati menerangkan. “Di kantor ada Pengumuman Sayembara Mengarang.”

Sayembara mengarang untuk kita?”

Melati mengangguk.

“Kalau begitu, aku ikut, ah!”kataku mantap.

“Kalau mau ikut, lekas kautaruh dulu tasmu , Virdha!”sela Gadis seperti tak sabar.

“Oke. Tunggu sebentar!”jawabku seraya mengambil langkah setengah berlari menuju ke ruang kelas 3A. Kelas tempatku biasa menuntut ilmu sehari-hari di sana.

Tak lebih dua menit dari itu, kutemui lagi Melati, Gadis, dan kawan-kawan lain di bangku taman.

“Bagaimana, Sobat? Rencana untuk menemui Bu Nuning, jadi tidak?”tanyaku kepada Melati.

“Tak jadi,”jawab Melati singkat.

“Kenapa?”sahutku tak mengerti.

“Baru saja Bahtiar membawa kabar dari Bu Nuning,”kata Melati. “Bahwa pengumuman yang kami maksudkan tadi akan disampaikan Bu Guru nanti di depan kelas.”

“Betul, Virdha! Aku baru saja bertemu Bu Nuning di depan kantor. Beliau mengatakan seperti apa yang diutarakan Melati tadi,”ujar Bahtiar meyakinkan.

“Oh...! Begitu?”sahutku seraya mengangguk-angguk kecewa.“Iya sudah, kita tunggu saja saatnya nanti,”lanjutku tak semangat.

“Tak usah kecewa,Sobat! Kita sama-sama menunggu. Oke?”ujar Melati sembari tersenyum membangkitkan semangatku.

Aku mengangguk, mengiyakan.

Usai itu, kami duduk-duduk di bangku taman kembali. Banyak gurauan segar yang kami perbincangkan di sana. Karena sangat asyiknya, hampir saja kami tak mendengar bel pertanda sekolah masuk berdering dari arah kantor guru.

“Tiriririring.......! Tiriririring..........! Tiriririiiiiiiiiing................!”

Mendengar itu, Melati , Gadis , Teten, Dhestya, Jaka, Bahtiar, dan aku sendiri segera lari menuju kelas.

“Hore.......!”seru kami ramai berebut pintu kelas dengan anak yang lain.

Dalam sekejap keramaian itu pun berpindah ke dalam kelas. Banyak percakapan dan cerita teman-teman yang tercurah di situ. Banyak ragam cerita mereka. Ada yang bercerita tentang PR Bahasa Indonesia yang belum selesai dikerjakan. Ada yang memperbincangkan pengalaman sepanjang perjalanan ketika berangkat sekolah tadi pagi. Bahkan ada pula yang membicarakan bagusnya acara sinetron remaja yang mereka saksikan kemarin petang di layar televisi. Percakapan kami baru bisa diam oleh kehadiran Bu Guru Nuning ke dalam kelas.

“Selamat pagi, Anak-anak!”sapa Bu Guru kami yang amat lincah itu dengan ramah.

“Selamat pagi, Bu..........!”balas kami serempak.

“Pelajaran apa sekarang, Anak-anak?”lanjut Bu Guru yang masih muda belia tadi seraya tersenyum manis.

“Bahasa Indonesia, Bu.......!”sahut Bahtiar lantang dari bangku belakang.

“Oh, ya?”sahut Bu Guru yang berlesung pipit di kedua pipinya tadi sambil mengambil duduk di kursi kerjanya.

“Iya, Bu!”kembali Bahtiar berseru untuk meyakinkan Bu Nuning.

“Baiklah,”sahut Bu Guru yang cantik itu dengan ramah.“Sebelum Ibu berikan pelajaran Bahasa Indonesia,”demikian lanjutnya. “Terlebih dulu akan Ibu bacakan sebuah pengumuman penting untuk kalian.”

“Kiranya pengumuman apa, Bu?”tanya Ardhana dari bangku tengah, ingin tahu.

“Pengumuman tentang sayembara mengarang, Anak-anak.”

“Prosa atau puisi, Bu?”aku segera bertanya.

“Prosa.”

“Fiksi atau nonfiksi, Bu?”tanyaku lagi.

“Fiksi dan nonfiksi.”

“Siapa penyelenggaranya, Bu?”Gadis ikut bertanya, ingin mengerti.

“Penyelenggaranya,”jawab Bu Nuning sambil tersenyum manis. “Kerja sama antara Dinas Pendidikan, Dewan Kesenian Daerah, dan Pemerintah Kabupaten Pekalongan,Anak-anak.”

“Dalam rangka apa sayembara tersebut diselenggarakan, Bu?”sela Teten ingin mengerti juga.

“Dalam rangka menyambut Bulan Bahasa, Oktober mendatang, Anak-anak.”

“Siapa saja yang boleh mengikuti sayembara tersebut, Bu?”Dhestya juga ikut bertanya.

“Sayembara ini diperuntukkan bagi siswa-siswi tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK negeri maupun swasta, Anak-anak. Terutama bagi siswa-siswi yang bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Pekalongan,”jawab Bu Guru Nuning panjang.

“Pesertanya perorangan apa kelompok,Bu?”tanya Jaka.

“Sesuai dengan apa yang tertera di lembar pengumuman ini,”demikian Bu Guru yang

masih lajang tadi menjawab. “Pesertanya boleh perorangan, boleh pula kelompok.”

“Lantas, berapa rupiah hadiahnya, Bu?”sela Melati.

“Hadiah yang disediakan,”sahut Bu Nuning. “Untuk pemenenang I, sebesar Rp3.000.000,00. Pemenenang II, Rp 2.500.000,00. Pemenang III, Rp 2.000.000,00. Harapan I, Rp 1.500.000,00. Harapan II, Rp 1.000.000,00. Harapan III, Rp 500.000,00.”

“Wah! Menarik sekali hadiahnya ya, Bu?”seru Jaka dengan wajah ceria.

“Memang menarik sekali, Jaka! Kau akan mengikutinya, bukan?”

“Saya akan mencobanya, Bu,”jawab Jaka penuh angan-angan.

“Cobalah! Siapa tahu, kau pemenangnya, Jaka?”

“Amin,Bu! Amin....!”

Tak lama dari itu, kami memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan pengumuman yang akan dibacakan Bu Guru Nuning selanjutnya.

“Sayembara ini bertema “Dengan Sayembara Mengarang, Kita Ciptakan Generasi Muda yang Berbudi Pekerti Luhur, Cerdas, Terampil, dan Kreatif untuk Menyongsong Indonesia di Masa Mendatang.”

”Terus apa lagi, Bu?”tanya Bahtiar menyela.

“ Panjang karangan yang beragam prosa ini,”ujar Bu Guru kemudian,” Sedikitnya 10 halaman kertas folio, atau 20 halaman kertas kwarto.”

“Terus, Bu?”potong Dhestya.

“Hasil karangan diketahui oleh Kepala Sekolah. Karangan dimasukkan ke dalam amplop tertutup. Masing-masing dibubuhi kode A, untuk kelompok SD. Kode B, untuk kelompok SMP, dan kode C, untuk kelompok SMA.”

“Seterusnya, Bu?”sela Ardhana.

“Karangan bisa dikirim langsung atau lewat jasa pos ke alamat panitia, Jl. Sumbing

Nomor 3 Kajen. Karangan ditunggu paling lambat tanggal 31 Agustus (cap pos).”

“Selanjutnya,Bu?”Melati ikut menimpali.

“Para pemenang akan diundang oleh panitia untuk ikut upacara bersama Bupati.

Tepatnya pada Hari Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober mendatang di alun-alun Kota Kajen.”

“Wah,wah,wah.....! Sungguh membanggakan sekali bagi yang menang, ya,Bu! Bisa upacara bersama Bupati,”seru Ardhana kagum.

“Iya. Memang membanggakan sekali, Dhan. Apakah kau tidak ingin mengikutinya?”

Ardhana tersenyum. “Seperti Jaka. Saya akan mencobanya, Bu,”kata anak yang berambut sedikit ikal itu penuh semangat.

“Cobalah! Siapa tahu engkau termasuk pemenangnya, Dhan?”

“Terima kasih, Bu! Doa Bu Guru senantiasa saya dambakan,”sahut Ardhana mantap.

Selang sesaat.

“Dari apa yang Ibu utarakan tadi, adakah yang ingin kalian tanyakan, Anak-anak?”tanya Bu Guru Nuning.

“Ada, Bu!”sahutku dari bangku depan.

“Iya, silakan! Apa yang akan kautanyakan, Virdha?”sahut Bu Guru seraya berpaling ke arahku.

“Untuk karangan nonfiksi, kiranya boleh menulis biografi seseorang tidak, Bu?”

“Maksudmu, kisah tetang sukses seseorang,Virdha?”

“Iya, Bu,”jawabku sambil mengangguk.

“Oh..... ! Itu, boleh saja, Virdha,”ujar Bu Guru. “Apakah kau suka menulis biografi seseorang, Virdha?”

“Iya. Saya suka, Bu.”

“Kalau suka, cobalah! Ibu punya nara sumbernya.”

“Maksud, Ibu?”dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya.

“Bu Guru punya alamat seseorang yang cukup layak untuk ditulis riwayat hidupnya, Virdha.”

“Siapakah orang itu, Bu?”

“Orang itu, seorang guru teladan. Mulai dari tingkat kabupaten, hingga luar negeri,”demikian jawab Bu Guru.

“Betulkah itu., Bu?”tanyaku ingin keyakinan.

Bu Nuning mengangguk. Meyakinkan.

“Maka, bila kau ingin tahu dan membutuhkan alamatnya,”ujar Bu Nuning. “Silakan nanti sore datang saja ke rumah Bu Guru!”

“Bolehkah saya datang bersama teman yang lain, Bu?”usulku penuh harap.

“Mengapa tidak boleh, Virdha?”Bu Nuning balik bertanya.

Aku tersenyum.

“Terima kasih. Kalau begitu, nanti sore saya akan datang ke rumah Ibu,”janjiku.

“Saya ikut,”potong Melati.

“Saya juga ikut,”tambah Gadis.

“Saya ikut juga,”pinta Teten.

“Saya jangan kalian tinggal!”Dhestya tidak mau ketinggalan.

“Baik. Silakan kalian datang. Akan Ibu Guru tunggu.”

“Terima kasih, Bu,”ucapku mewakili teman-teman.

Sekejap dari itu, bel tanda istirakhat terdengar berdering nyaring dari kantor guru. Maka, Bu Nuning pun segera keluar meninggalkan kelas. Demikian pula kami. *** (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar