Cermin di Tengah Batang (Bagian III)

3. MENYUSURI KOTA TUJUAN

cerminMinggu pagi tiba. Dengan malu-malu sang surya mengintai Desa Domiyang dari balik Bukit Paninggaran. Seraya menanti cahaya panasnya untuk mengusir dingin udara pagi,aku berangkat ke rumah Bu Guru Nuning.

Dengan menumpang bus umum, aku dibawanya lari ke kota Kecamatan Paninggaran. Sesampai di depan rumah Bu Nuning, aku meminta bus untuk berhenti. Setelah turun dan tiba di rumah Bu Guru, di sana ternyata telah berkumpul Gadis, Melati, Teten, Dhestya, Jaka, Ardhana, dan Bahtiar.

“Hallo, Virdha! Apa kabar? Tumben pagi ini datangmu terlambat?”sapa Melati sambil menyongsongku.

“Hallo juga, Sobat,”kataku. “Kukira, akulah yang datang paling awal, Mel. Tak tahunya, e.....justru sebaliknya, ya?”

“Tak mengapa, Virdha!”komentar Gadis. “Tokh Bu Nuning juga belum siap kok,”katanya kemudian.

“Jam berapa tadi kau tiba di sini, Gadis?”

“Kebetulan kami bertujuh hampir bersamaan. Kurang lebih jam 06.30.”

“Oh...., pantas, aku terlambat!”kataku. “Jam sepagi itu, aku sedang menunggu bus umum,Dis.”

“Belum! Engkau belum terlambat,Virdha,”Dhestya ikut menimpali.

“Apa buktinya, kalau aku belum terlambat, Dhes?”tanyaku pada anak yang bermata sipit, namun cantik itu, menggoda.

“Buktinya,”timpal Dhestya. “Kau lebih awal daripada persiapan Bu Guru. Ya tidak,
Teman-teman?”

“Ya, memang betul!”sahut Bahtiar mewakili teman yang lain.

Untuk sesaat kami diam. Tak lebih satu menit dari itu, Bu Nuning pun muncul dari dalam rumah.

“Selamat pagi, Bu Guru!”sapaku seraya melirik Bu Nuning.

“Selamat pagi kembali,”sahut Bu Nuning sembari berpaling ke arahku. “Oh, Virdha! Kapan kau datang, Nak?”tanya Bu Guru.

“Baru saja berselang, Bu,”jawabku sambil tersenyum.

“Oh, ya?”ujar Bu Nuning. “Seraya menunggu persiapan Ibu selesai,”tambahnya. “Silakan kalian ngobrol dulu di dalam!”

“Terima kasih,Bu. Kami ngobrol di luar saja, di teras ini,”jawabku mewakili teman-teman.

“Ya, sudah,”Bu Guru masuk ke ruang tengah.

Sementara itu, kami sibuk dengan persiapan masing-masing.

“Coba, kauperiksa ulang isi tasmu,Dhestya! Siapa tahu masih ada bekal yang tertinggal di rumah?”pintaku setengah menyarankan.

“Baik, Sobat,”anak yang berhidung mancung dan bermata sipit itu menuruti perintahku.

“Kodak! Ya, kau sudah bawa Kodak belum, Dhes?”kataku mengingatkan.

“Sudah. Ini...!”ucap Dhestya seraya menunjukkan alat potretnya kepadaku dan kawan yang lain.

“Oh,ya! Syukurlah kalau sudah kaubawa,”kataku. “Siapa yang dapat jatah membawa tape recorder?”tanyaku selanjutnya.

“Aku!”seru Teten. “Ini tape recorder bawaanku, Virdha.”

“Oh, ya!”kataku lega. “Sekarang, siapa yang membawa kertas atau buku berisi banyak
pertanyaan untuk bahan wawancara?”

“Aku!”sahut Bahtiar. “Ini, aku bawakan satu buku berisi penuh pertanyaan untuk Pak
Sugito nanti.”

“Oh,ya! Aku percaya,”kataku seraya tersenyum. “Dengan demikian berarti kita telah siap untuk berangkat wawancara.”

“Benar, Virdha!”komentar Ardhana tegas. “Tampaknya pagi ini kita telah siap dengan perbekalan wawancara yang cukup lengkap.”

“Betul,”sahutku cepat. “Oleh sebab itu, dari hasil wawancara dengan Pak Sugito nanti,”lanjutku kemudian. “Kita rangkum bersama.”

“Maksudmu, Virdha?”masih tanya Ardhana.

“Untuk dapat menghasilkan suatu karya yang bagus,”ujarku. “Semua hasil wawancara hendaknya kita rangkum, kita olah, dan kita susun dengan baik secara bersama-sama.”

“Agar karya biografi tentang Pak Sugito nanti, bisa jadi juara. Begitu maksudmu, Virdha?”ucap Bahtiar.

“Betul!”jawabku singkat lagi padat.

“Benar!”Melati menambahkan. “Untuk meraih kejuaraan memang segalanya harus kita perjuangkan bersama-sama.”

“Itu memang harus!”sambung Teten. “Kami harus berjuang bersama. Untuk menang bersama,”tambah anak itu penuh cit-cita.

“Agar nama kami kondang di mana-mana, begitu?”potong Jaka.

“Bukan nama kami saja yang kondang,”sahut Teten. “Tetapi nama sekolah kami pun jadi harum di tingkat kabupaten. Betul tidak, Teman-teman?”

“Betul juga katamu,Teten!”timpalku. “Untuk bisa mewujudkan semua keinginan tadi, kerja sama kami harus kompak. Harus saling mengisi kekurangan. Harus saling mendukung. Setuju?”

“Baik, kami setuju, Sobat,”sahut Teten, Gadis, Melati, dan Dhestya hampir bersamaan.

Sementara itu, Bu Nuning telah selesai dari persiapannya.

“Anak-anak! Ayo, kita berangkat sekarang!”ajaknya sembari menghampiri kami.

“Mari, Bu......! Mari.....!”sambut kami serempak. Ramai.

Kami segera menuju jalan raya di depan rumah Bu Guru. Tentunya untuk menunggu bus umum yang melintas di situ.

“Nah, itu ada bus dari arah timur!”seru Melati memberitahukan kepada teman-teman.

“Kamu stop, Mel!”perintah Bu Nuning.

“Baik, Bu!”sembari melambai-lambaikan tangan sebagai isyarat agar bus berhenti, Melati menjawab.

Sejurus dari itu, bus jurusan Kalibening (Banjarnegara) – Pekalongan pun berhenti tepat di hadapan kami berdiri.

“Ayo, naik,naik,naik,naik..........!”seru Pak Kondektur memerintahkan.

Seperti dikejar anjing, kami segera berebut tangga pintu masuk.

“Ayo, cepat sedikit, Anak-anak!”perintah Pak Kondektur sambil menata tempat duduk bagi kami yang masih berdiri.

Kami berangsur masuk. Menerobos penumpang lain yang telah duduk di kursi masing-masing.

“Ke mana, Bu?”tanya Pak Kondektur kemudian di tengah-tengah bus melaju.

“Terminal Induk Pekalongan,”jawab Bu Guru. “Berapa, Pak?”lanjut Bu Nuning sambil membuka dompet.

“Berapa orang, Bu?”

“Sembilan, Pak. Ini uangnya!”

“Terima kasih. Ini kembalinya, Bu!”

“Terima kasih kembali, Pak,”sahut Bu Nuning sambil menerima uang kembalian dari Pak Kondektur.

Sementara, bus terus meluncur ke arah utara. Menyusuri jalan raya Paninggran-Kajen. Jalan raya yang menghubungkan antara Kabupaten Pekalongan dengan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Selama dalam perjalanan, kami tak bosan-bosan menikmati indahnya panorama di kanan-kiri jalan. Ribuan pohon damar, pinus, dan karet yang berdiri tegar di sepanjang jalan, seakan saling berlomba lari menyambut kedatangan kami. Mereka tak bosan-bosan melambaikan reranting dan dedaunannya bermain-main dengan angin.

Melihat itu, kami sangat merasa kagum. Oleh sebab itu, kami benar-benar kaget ketika tiba-tiba bus berhenti di Terminal Bus Kajen.

“Kajen habis! Kajen habis!”teriak-teriak Pak Kondektur memberitahukan kepada penumpang yang mau turun di Terminal Bus Kajen.

“Pasar Kajen, Pak?”tanya salah seorang penumpang kepada Pak Kondektur.

“Bukan. Ini baru terminal bus,Bu. Pasar sebentar lagi,”jawab Pak Kondektur kepada penumpang yang tampaknya masih asing akan kota Kajen itu.

“Oh,ya! Terima kasih,Pak. Tolong, nanti saya diingatkan, Pak!”pinta seorang ibu tadi penuh harap.

“Baik, Bu. N anti saya ingatkan,”jawab Pak Kondektur.

Setelah sesaat selesai menurunkan penumpang di Terminal Bus Kajen, maka melaju lagilah bus ke arah utara. Kurang lebih 1 km jaraknya dari terminal, tibalah bus di komplek Pasar Kajen.

“Pasar habis! Pasar habis! Ini Pasar Kajen, Bu! Silakan kalau Ibu mau turun,”ujar Pak Kondektur kepada seorang ibu yang duduk berjajar denganku tadi.

“Oh,ya! Terima kasih, Pak!”sambil beranjak dari tempat duduknya untuk turun, ibu separoh baya tadi menjawab.

“Terima kasih kembali, Bu,”sahut Pak Kondektur.

Di kompleks pasar, bus berhenti tak begitu lama. Cuma beberapa menit saja untuk menurunkan penumpang yang hendak pergi ke pasar. Usai itu, bus pun bergerak lagi ke arah utara. Menyusuri kota Bojong, Wiradesa, Tirto, Pekalongan kota, Ponolawen, kemudian Terminal Bus Induk Kota Pekalongan.

Lebih kurang satu jam kemudian.

“Pekalongan habis! Pekalongan habis!”Pak Kondektur memberi aba-aba kepada para penumpang yang hendak turun di Terminal Induk Pekalongan.

Oleh teriakan-teriakan Pak Kondektur tadi, kami pun turun dengan segera.

“Ke mana,Bu?”sebuah mobil angkutan kota menghampiri kami.

“Batang,Om,”jawab Bu Guru Nuning. “Berapa?”

“Ada berapa orang, Bu?”

“Sembilan orang.”

“Mobil kami masih kosong. Disewa sekalian saja ya, Bu? Nanti saya kasih murah.”

“Murah berapa, Om?”

“Enam puluh ribu.”

“Lima puluh, Om. Kalau boleh, tarik!”ujar Bu Guru menawar.

Untuk sejenak Om Kondektur tampak berpikir-pikir.

“Bagaimana, Om?”tanya Bu Guru.

“Ya, mari silakan, Bu!”Om Kondektur setuju.

Kini satu demi satu kami memasuki mobil omprengan kota yang dikemudikan sendiri oleh Om Kondektur tadi.

“Supirnya di mana,Om?’tanya Bu Nuning berbasa-basi.

“Sedang cuti, Bu,”jawab Om Kondektur seraya melajukan mobilnya ke arah timur.“Batangnya, mana, Bu?”sambung Om Kondektur yang merangkap supir tadi.

“Jalan Bima, Desa Sambong Timur, Om.”

“ Jalan Bima?”

“Iya. Jalan Bima, Om. Apakah Om tahu jalan tersebut?”

“Saya lebih dari tahu, Bu. Saya orang Sambong.”

“Kalau begitu Om kenal dengan Pak Sugito?”masih tanya Bu Nuning yang duduk berjajar dengan Om Kondektur.

“Pak Sugito, Guru yang pandai mengarang itu bukan, Bu?”

“Iya, benar,Om.”

“Oh,ya kenal sekali, Bu! Nanti Ibu bisa saya antarkan sampai di depan rumahnya, Bu.”

“Wah! Senang sekali kalau begitu, Om,”ujar Bu Guru ceria.

Om Kondektur tak menyahut. Dia tampak tersenyum-senyum saja.

Sementara itu perjalanan telah sampai di Alun-alun Kota Batang.

“Kita putar lewat jalur Pasar Batang dulu, Bu. Setelah bayar karcis masuk sebentar, nanti saya teruskan lagi perjalanan ke Sambong Timur.”

“Iya, silakan, Om!”

Om Kondektur turun menuju Pos Pembayaran Karcis. Tak berapa lama kemudian, muncul lagilah jejaka muda itu untuk mengantarkan kami.

“Sudah, Om?”

“Sudah, Bu. Mari.......!”

Dari pasar, mobil bergerak belok ke kiri. Kemudian menyusuri jalan raya ke arah timur. Kurang lebih 2 km jauhnya dari pasar, mobil belok lagi ke kanan, memasuki jalan lapangan. Tidak lebih dari 700 m jarak yang ditempuh, kami telah menemukan Jalan Bima, rumah nomor 2 di Desa Sambong Timur.

“Nah, itu rumah Pak Gito, Bu!”kata Om Kondektur sembari menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Pak Gito.

“Yang mana, Om?”sahut Bu Guru meminta kepastian.

“Rumah yang berpagar besi itu,Bu!”Om Kondektur menuding dengan telunjuknya.

“Oh, ya! Terima kasih, Om,”ucap Bu Nuning, senang.

“Terima kasih kembali,Bu,”jawab Om Kondektur. “Permisi.........!”lanjutnya berpamitan diri dari kami.
----------------------------
Sardono Syarief
Jl.Raya Domiyang No.116
Paninggaran-Pekalongan 51164

0 komentar:

Posting Komentar