Cermin di Tengah Batang (Bagian V)

cermin5. SEBUAH NAMA YANG HILANG

Semua peralatan telah terlihat siap. Maka, mulailah aku, Virdha, mengajukan pertanyaan kepada Pak Sugito demikian.

“Maaf, Pak. Kalau kami boleh tahu,”kataku. “Kapan dulu Pak Gito terlahir di dunia ini,Pak?”

Pak Gito menarik nafas panjang. Kemudian katanya,”Pak Gito lahir pada tanggal 21 Desember 1956.”

“Di mana dulu Bapak dilahirkan?”sela Gadis seraya menyiapkan bahan pertanyaan lain yang ada di pangkuan.

“Di Dukuh Kebrok, Desa Sambong, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.”

“Dari Ibu dan Bapak siapa,Pak?”kali ini Melati yang bertanya.

“Dari Ibu Tuminah dan Bapak Sanawi.”

“Keduanya orangtua kandung Pak Sugito?”tambah Teten.

“Benar. Akan tetapi...”

“Tetapi, kenapa, Pak?”dengan kening sedikit berkerut, Dhestya ikut bertanya.

“Sejak kecil hidup Pak Gito telah tidak bersama mereka.”

“Lho! Memangnya kenapa, Pak?”masih tanya Dhestya.

“Kedua orangtua Pak Gito bercerai. Sehingga oleh Nenek Siti Dasti dan Kakek Wa’as, Pak Gito diasuh.”

“Terus dengan sebutan apa Pak Gito memanggil Kakek dan Nenek?”sahut Ardhana.

“Kepada keduanya, Pak Gito biasa memanggil dengan sebutan Bapak dan Ibu.”

“Mengapa bisa begitu,Pak?”masih tanya Ardhana.

“Iya, bisa. Karena setahu Pak Gito, Kakek Wa’as maupun Nenek Siti Dasti itu kedua orangtua kandung Bapak. Tak pernah Pak Gito sangka, kalau ternyata mereka adalah Kakek dan Nenek dari garis Tuminah, Ibu Pak Gito.”

“Lantas kapan Pak Gito tahu, kalau Kakek dan Nenek ternyata bukan Bapak dan Ibu kandung Pak Gito?”sela Bahtiar.

“Setelah agak besar. Kira-kira setelah Pak Gito duduk di kelas 2 SD.”

“Terus, kepada putra-putri Nenek, Pak Gito memanggilnya dengan sebutan apa?”potong Ardhana.

“Kepada mereka Pak Gito memanggilnya Kakak bagi yang lebih tua, dan Adik bagi yang lebih muda.”

“Padahal, seharusnya bagaimana, Pak?”masih tanya Ardhana.

“Seharusnya,”sahut Pak Gito sembari membetulkan letak duduknya. “Kepada yang putra, Pak Gito memanggilnya, Om. Sedangkan Bibi bagi yang putri.”

“Dengan sebutan tadi,”sahut Teten. “Kiranya ada pengalaman lucu tidak,Pak?”

“Ada.”
“Apa contohnya, Pak?”masih tanya Teten.

“Contohnya,”jawab Pak Gito seraya tersenyum. “Kepada orang yang biasa Pak Gito panggil Mbak Anik, ternyata ia Bibi Pak Gito. Begitu pula kepada yang biasa Pak Gito panggil dengan sebutan Dik Alin, ternyata ia Bibi Pak Gito juga.”

“Ha,ha,ha,ha...! Lucu sekali kesannya ya,Pak?”Teten tertawa geli. Demikian pula Gadis, Melati, Dhestya, Bahtiar,Jaka, Ardhana, maupun aku sendiri,Virdha.

Pak Gito tidak menyahut. Sebaliknya ikut tertawa geli pula.

“E, maaf, Pak!”ujar Gadis setelah sesaat tawa kami reda.

“Iya?”sahut Bapak Muda yang berkumis tipis itu sembari memandangi Gadis.

“Setelah Pak Gito tahu, kalau Pak Wa’as dan Bu Siti Dasti itu sebenarnya Kakek dan Nenek Bapak,”lanjut Gadis. “Lantas, dengan sebutan apa Pak Gito memanggil keduanya?”

“Karena sejak kecil sudah terbiasa memanggil mereka dengan sebutan Ayah dan Ibu,”demikian Pak Gito berkata. “Maka, sampai sekarang pun panggilan itu tetap melekat di hati. Tidak Pak Gito ubah dengan sebutan Kakek maupun Nenek.“

Mendengar penuturan Pak Gito yang cukup menggelikan tadi, kami menjadi paham.

“Lalu, bagaimana nasib Ayah dan Ibu kandung Pak Sugito setelah mereka berpisah?”kali ini aku yang bertanya.

“Tuminah, Ibu Pak Gito, berdagang kue bongko di pasar Batang. Ia banyak dibantu Pak Darsono, ayah tiri Pak Gito.”

“Lalu, bagaimana dengan Ayah kandung Pak Gito?”lagi-lagi aku bertanya.



“Sanawi, Ayah kandung Pak Gito, jadi guru mengaji di madrasah,”jawab Pak Gito. “Pak Sanawi mendapatkan istri baru yang bernama Juwariyah. Keduanya tinggal di Desa Proyonanggan, Kecamatan Batang.”

“Dari pernikahannya dengan Ibu Juwariyah,”potong Melati. “Apakah Pak Sanawi punya keturunan, Pak?”lanjut Melati.

“Punya. Tiga anak.”

“Siapa sajakah mereka itu, Pak?”Melati terus bertanya.

“Mereka antara lain; Abdul Rokhman, Nur Khomariyah, dan Nur Samsiyah.”

“Bagaimana halnya dengan Ibu Tuminah yang berumah tangga dengan Pak Darsono, Pak? Apakah punya keturunan juga?”sahut Bahtiar.

“Punya juga. Banyak, malah!”

“Banyak berapa anak, Pak?”desak Bahtiar ingin tahu lebih jauh.

“Tujuh anak. Dua meninggal semasa kecil.”

“Siapa sajakah mereka itu, Pak?”sela Dhestya.

“Mereka yang masih hidup antara lain; Sugiyono, Mardiyono, Sriningsih, Tri Wiyanti, dan Kusdiyono.”

“Dengan demikian,”sahut Jaka. “Berapa orang semua Adik Pak Gito?”

“Delapan orang. Tiga orang, anak dari Pak Sanawi + Bu Juwariyah. Lima orang, anak dari Ibu Tuminah + Pak Darsono.”

“Kalau begitu, banyak ‘kan adik Pak Sugito?”kataku.

“Ya, lumayanlah....! Cukup banyak saudara.”

“Pak!”lanjutku.

“Iya?”Pak Gito lurus-lurus memperhatikan aku.

“Kalau tak salah, Kakek Wa’as dan Nenek Siti Dasti adalah nama kakek dan nenek Pak Gito dari garis Bu Tuminah, bukan?”

“Iya, betul!”

“Lalu, siapa nama Kakek dan Nenek Pak Gito dari garis Ayah Sanawi, Pak?”

“Oh, itu....?”

“Iya, Pak,”sahutku hampir bersamaan dengan Gadis maupun Dhestya.

“Kakek dan Nenek Pak Gito dari garis Ayah Sanawi, bernama Kakek Dasman dan Nenek Aminah.”

“Apakah keduanya juga turut mengasuh Pak Gito semasa kecil?”masih tanyaku.

“Tidak,”jawab Pak Gito. “Hanya sekali-sekali saja mereka menengok Pak Gito di rumah Kakek Wa’as dan Nenek Siti Dasti.”

“Oh,ya, Pak!”Ardhana menyela begitu saja.

“Iya?”pandangan Pak Gito berpindah ke arah Ardhana.

“Sebenarnya, siapa nama lengkap Pak Gito?”

Sebelum menjawab, Pak Gito tersenyum. Lalu katanya,”Nama Bapak sewaktu kecil, Hadikiroto. Dalam sehari-hari biasa dipanggil Dito. Namun nama resmi pemberian Ayah Sanawi dan Ibu Tuminah itu hilang, pada saat Pak Gito masuk kelas 1 SD dulu.”

“Lho! Kok bisa begitu, Pak?”seruku kaget.

“Iya, bisa!”sahut Pak Gito mantap. Hilangnya nama Hadikiroto atau Dito milik Bapak,”demikian sambung Pak Gito menjelaskan. “Lebih banyak disebabkan oleh sikap Bibi Anik.”

“Memangnya apa yang dilakukan Bibi Anik,Pak?”sahut Jaka ingin tahu.

“Mulanya Bibi Anik tidak tahu, siapa nama lengkap Pak Gito,”jawab Pak Gito.

“Beliau cuma menyebutkan Dito, untuk nama Bapak, pada saat Beliau mendaftarkan sekolah Pak Gito di SD dulu.”

“Terus?”kening Jaka makin berkerut ingin tahu lebih jauh.

“Karena baik Bibi Anik maupun Pak Kepala Sekolah merasa ragu dengan nama yang sesingkat itu,”jawab Pak Gito. “Maka oleh keduanya, nama Bapak diberi tambahan Su di depan kata Dito. Sehingga seharusnya menjadi Sudito, bukan Sugito seperti yang dikenal orang sampai sekarang.”

“Wah! Kok berbeda jauh dari nama aslinya ya, Pak?”potong Bahtiar. Pak Gito mengangguk.

“Justru yang mengherankan,”ujar Pak Gito. “Sebutan Hadikiroto untuk nama Bapak, entah ke mana perginya sampai sekarang?”

“Oh, iya,ya, Pak?”kepala Bahtiar mengangguk-angguk, turut heran juga.

“Maaf, Pak!”aku menyela.

Pak Gito berpaling kepadaku.

“Pada saat pendaftaran di SD dulu,”kataku lebih lanjut. “Apakah Bibi Anik tidak membawa Akte Kalahiran atau Surat Kenal Lahir dari desa, Pak?”

“Maksudmu?”tanya Pak Gito ingin penjelasan.

“Dalam Akte Kelahiran atau Surat Kenal Lahir,”Jawabku. “Biasanya ‘kan tertera nama dan tanggal lahir seseorang bukan, Pak?”

“Iya.”

“Bibi Anik membawa surat tersebut tidak, Pak?”

Pak Gito tersenyum. “Pada saat itu,”katanya lebih lanjut. “Kebanyakan orang tua di kampung Bapak,”sambung Pak Gito. “Belum ada yang berpikir membuatkan Akte Kelahiran atau Surat Kenal Lahir untuk anak-anak mereka.”

“Terus, Pak?”sahut Melati.

“Hal seperti itu dialami pula oleh orangtua Pak Gito. Sehingga, Pak Gito pun tidak memiliki Akte Kelahiran.”

“Apakah Bapak tidak merasa keberatan dipanggil dengan nama Sugito sebagaimana yang dikenal banyak orang sampai sekarang?”

“Sama sekali tidak,”jawab Pak Gito. “Apalagi setahu Bapak, Sugito itu merupakan nama asli pemberian kedua orangtua sejak Pak Gito lahir.”

“Lantas, kapan Pak Gito tahu, kalau nama asli Bapak adalah Hadikiroto?”tanya Dhestya.

“Setelah Pak Gito besar. Kira-kira setelah duduk di kelas 3 SD. Tepatnya setelah anggota keluarga dan famili banyak yang cerita tentang asal-usul nama Bapak.”

“Tapi, kami yakin, Pak!”ujarku mantap. “Justru dengan nama baru tadi,”demikian aku menambahkan. “Banyak hikmah dan keberuntungan yang melimpah bagi Pak Gito,bukan?”

“Apa buktinya?”

“Buktinya, banyak, Pak,”sahutku. “Misalnya,”lanjutku. “Sebagai guru, Pak Gito banyak memiliki prestasi dari tingkat kabupaten, hingga luar negeri. Sebagai penulis, Pak Gito juga sering meraih kemenangan dari berbagai sayembara mengarang. Ini pun Pak Gito alami dari tingkat kabupaten, hingga nasional. Betul tidak, Teman-teman?”

“Iya, betul........!”sahut teman-teman serempak.

“Saya sependapat dengan Virdha, Pak!”tambah Bahtiar. “Dengan hilangnya sebuah nama Hadikiroto menjadi Sugito, justru banyak mendatangkan keberhasilan dan rezeki yang melimpah dari Tuhan bagi Bapak. Ya tidak, Teman-teman?”

“Iya, benar!”sahut Gadis ikut menimpali. “Saya yakin, andaikata nama Bapak masih utuh Hadikiroto, mungkin lain lagi ceritanya, Pak. Setuju tidak, Teman-teman?”

“Iya, kami setuju......!”sangat serempak teman-teman menjawab.

Melihat itu, Pak Gito, Bu Rindiyani, maupun Bu Nuning, tersenyum simpul. Demikian pula aku.
--------------------------------

0 komentar:

Posting Komentar