KABUT DI ALAS ROBAN (10)

KABUT DI ALAS ROBAN (10)

Oleh: Sugito Hadisastro

Jaka Pamegat sudah memperkirakan kedua prajurit kepercayaan Raden Pedut itu pasti memiliki kemampuan di atas prajurit kebanyakan, maka dia meningkatkan kewaspadaan menghadapi keduanya. Selain berguru kepada Ki Panjer yang nama sebenarnya adalah Ki Ageng Gringsing, Jaka Pamegat juga telah memperoleh dasar-dasar ilmu kanuragan dari ayahnya, Ki Seblu, mantan prajurit Mataram di bawah pimpinan Ki Ajar Gringsing sendiri, yang ikut berperang melawan orang-orang asing di Sunda Kelapa, yang oleh Kompeni disebut Batavia, semasa Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Jaka Pamegat mempunyai naluri prajurit sejati seperti ayahnya, mengutamakan jiwa keprajuritan dan membela tanpa pamrih bagi siapa saja yang teraniaya dan diperlakukan tidak adil oleh pihak lain. Bahkan jiwa raganya bila perlu dikorbankan untuk membela tegaknya kebenaran. Itulah sebabnya Jaka Pamegat tidak merasa menyesal sedikit pun terlibat dalam persoalan Raden Pedut dan Rara Warasih. Siapa pun dia yang berlaku tidak adil terhadap orang lemah akan berurusan dengannya.

Jaka Pamegat merasa serangan dua prajurit kepercayaan Raden Pedut ini sangat berbahaya. Dadung Arakan mudah dikalahkan karena serangannya terdorong rasa amarah, sedangkan Nyoman Kendit dan Kraeng Nimba melancarkan serangan dengan hati dingin. Jaka Pamegat meningkatkan kewaspadaan agar pukulan tangan kosong dua prajurit itu tidak sampai mengenai tubuhnya. Usaha Jaka Pamegat berhasil, dengan gerakan yang sangat halus, serangan kedua pengawal Raden Pedut dapat dielakkan. Mengetahui serangannya gagal, Nyoman Kendit dan Kraeng Nimba sangat terkejut. Belum pernah terjadi seorang pemuda desa mampu menghindar dari pukulan salah satu dari keduanya, apalagi keduanya secara bersamaan melancarkan serangan. Barangkali benar cerita Dadung Arakan bahwa pemuda pesisir ini bukan orang kebanyakan.

“Kurang ajar, kamu bisa lolos dari hantaman kami. Bersiaplah untuk menerima nasib burukmu!” Nyoman Kendit dan Kraeng Nimba kembali melancarkan serangannya. Kali ini Nyoman Kendit menggunakan kaki kanannya untuk menohok perut dan Kraeng Nimba mengembangkan cakarnya untuk menangkap kepala lawan. Jika tendangan Nyoman Kendit mengenai sasaran, maka tak seorang pun yang mampu bertahan. Orang yang terkena tendangan Nyoman Kendit biasanya akan mati seketika karena isi perutnya hancur. Begitu pun lawan yang kepalanya tertangkap Kraeng Nimba tidak akan selamat.

Namun, lawan mereka kali ini adalah Jaka Pamegat, murid kesayangan Ki Panjer dari Padepokan Arga Kamulyan. Keduanya harus mengerahkan segenap ilmu kanuragan sebelum benar-benar mampu mengalahkannya. Tendangan-tendangan Nyoman Kendit yang mematikan tidak pernah sekalipun menyentuh kulit Jaka Pamegat. Begitu pun cakar-cakar Kraeng Nimba selalu menangkap angin. Perkelahian menjadi semakin seru karena kedua prajurit itu ingin segera menyelesaikan tugasnya, sementara lawannya tidak mudah dikalahkan. Bahkan serangan balasan Jaka Pamegat berhasil mengenai tubuh lawannya. Terdorong oleh nafsu amarah yang membara, gerakan-gerakan keduanya kurang terkendali dan salah langkah. Sementara Jaka Pamegat yang mengetahui kelemahan kedua lawannya terus menekan dengan serangan-serangan jitu. Nyoman Kendit yang pertama kali terlempar keluar arena ketika hantaman Jaka Pamegat tepat mengenai dadanya. Dia terguling dengan menahan rasa sakit yang amat sangat. Melihat Nyoman Kendit tersungkur, Kraeng Nimba berusaha meningkatkan tempo serangan, namun akibatnya justru fatal. Sebuah pukulan telak mengenai keningnya, Kraeng Nimba terpelanting menggelepar di tanah.

Demi melihat kedua orang kepercayaannya terkalahkan, bukan main murka Raden Pedut. Dia bergegas turun dari kudanya dan menghunus keris pusakanya. Matanya yang semula teduh, kini berubah merah menyala-nyala.

“Kurang ajar, kamu memang pantas mati orang sombong,” teriaknya sambil melompat menusukkan kerisnya, Kiai Waranggeni, ke dada Jaka Pamegat. Jaka Pamegat meloncat mundur menghindari serangan membabi-buta ini. Raden Pedut sudah mata gelap melihat kedua orang kepercayaannya dipecundangi Jaka Pamegat dan ingin segera membunuhnya.

Wasi Lunjar melompat tepat di hadapan Raden Pedut, berdiri diantara tuannya dan Jaka Pamegat. Katanya, “Raden, ijinkan saya menghajar orang desa ini. Tidak pantas Raden menghadapi orang yang tidak tahu adat ini.”

Nyoman Kendit dan Kraeng Nimba sudah berdiri lagi. Agaknya pukulan Jaka Pamegat tadi tidak membahayakan jiwanya. Pakaiannya tampak lusuh berbalur keringat dan butiran debu. Hatinya panas melihat lawannya berdiri tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Matanya menyala menyaksikan pemandangan di depannya. Sementara itu, tidak jauh dari tempat itu terdengar derap kaki kuda mendekati arena pertarungan. Raden Pedut terkejut mengetahui siapa yang datang.

Tumenggung Sureng Rengga heran melihat anak laki-laki tunggalnya bersama empat pengawalnya berada di tempat ini. Setiap kali anaknya selalu berurusan dengan masalah perempuan. Boleh jadi kali ini pun anaknya sedang berurusan dengan perempuan. Siapa pemuda yang berdiri di hadapannya itu?

“Pedut, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya ayahnya agak berang.

Raden Pedut tidak segera menjawab. Di hadapan ayah dan ibunya Raden Pedut adalah anak yang penurut. Pemanjaan yang berlebihan oleh ibunya menjadikan perilaku pemuda itu kelewat batas.

“Dadung, apa yang terjadi?” Tumenggung Sureng Rengga ganti bertanya kepada Dadung Arakan.

“Maaf, Gusti Tumenggung, pemuda itu mencoba mencampuri urusan Raden Pedut,” jawab Dadung Arakan sambil menunjuk Jaka Pamegat. Tumenggung Sureng Rengga menoleh ke arah Jaka Pamegat. Dia belum pernah melihat pemuda itu sebelumnya di kotaraja Mataram. Ditilik dari pakaian yang dikenakannya pastilah pemuda itu berasal dari tempat yang jauh dari kotaraja.

“Urusan apa?” bentak Tumenggung Sureng Rengga kasar. Dia mulai tahu bahwa anaknya sudah mengganggu isteri atau anak gadis orang sekitar kotaraja Mataram. Sebagai ayah dia tidak habis pikir, sudah sekian kali anaknya terlibat kasus penganiayaan terhadap orang tua gadis yang menolak mengijinkan anaknya diambil oleh Raden Pedut. Dia bahkan pernah diperingatkan para sesepuh keraton Mataram agar mendidik anaknya secara baik-baik.

Dadung Arakan lalu menceritakan secara singkat bagaimana Jaka Pamegat menghentikan dirinya yang sedang menggelandang Rara Warasih sebagai ganti kakaknya, Rara Ambengan, yang melarikan diri untuk menghindar dari Raden Pedut. Setelah itu terjadilah pertarungan sengit antara dirinya dan Jaka Pamegat, dilanjutkan dengan pertarungan antara Jaka Pamegat menghadapi Nyoman Kendit dan Kraeng Nimba. Mendengar penuturan Dadung Arakan, bukan main marah Tumenggung Sureng Rengga terhadap anaknya.

“Pedut, benarkah cerita Dadung?”

Raden Pedut menganggukkan kepala, lemah.

“Kamu memang anak yang tidak tahu adat. Kita ini bangsawan Mataram yang adiluhung, yang harus menjunjung harkat kemanusiaan, bukan malahan berlaku tidak adil terhadap perempuan. Dadung dan kamu Nyoman, Kraeng, dan Wasi, kamu jaga Pedut agar tidak melakukan hal-hal yang memalukan lagi. Kalian sebentar lagi akan dikirim ke Tanah Sabrang untuk memadamkan pemberontakan terhadap negara Mataram, bukan mengurusi wanita terus. Ayo pulang!” *** (BERSAMBUNG)

1 komentar:

  1. Belajar Bahasa Inggris mengatakan...

    Menarik sekali ceritanya..cerita bersambung yang kelanjutannya akan dinantikan pembacanya

Posting Komentar