CERPEN DENGAN AROMA EKSOTISME

(Pengantar Kumpulan Cerpen "Perempuan Bergaun Putih")
Oleh: Maman S. Mahayana


Perjalanan cerpen Indonesia mutakhir, terutama selepas pemberlakuan otonomi daerah, tampak makin menunjukkan peta kultur keindonesiaan yang lebih beragam. Keberagaman itu seperti mencelat begitu saja ketika persoalan etnisitas diangkat dan menjadi tema cerita. Kehidupan perkotaan dengan kecenderungan tokoh-tokohnya yang teralienasi atau tak punya identitas kultural yang kerap ditawarkan para penulis yang lahir dan besar di tengah masyarakat perkotaan—metropolis, tidak lagi mendominasi tema cerpen yang bertebaran di berbagai majalah dan suratkabar Minggu.

Para epigon yang tersihir oleh narasi yang puitik, penuh aroma bunga dengan latar cerita yang bermain di sebuah tempat yang begitu abstrak yang berada entah di mana nun jauh di sana, terus saja menjalankan mesin produksinya. Mereka memang produktif, tetapi sekadar menghasilkan tumpukan karya yang penuh busa dan gelembung kata-kata. Substansi cerita diselimuti oleh balon raksasa yang bernama narasi puitik; sedap dan membuai, meski tidak persis sama dengan tukang obat di pasar tradisional.

Sementara itu bermunculan pula cerpenis yang coba mengusung semangat untuk tidak ikut-ikutan mendewakan kisahan yang membuai namun tak punya pijakan kultural. Di belahan bumi yang lain, di wilayah Nusantara ini, sejumlah cerpenis coba bermain dalam dunia persekitarannya. Maka cerpen-cerpennya laksana merepresentasikan potret masyarakat tempat sastrawan yang bersangkutan itu dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkaran kehidupan sosial-budayanya.

Mereka punya rumah etnik dengan pekarangannya yang kaya problem sosiologis. Mereka punya ibu budaya yang melahirkan dan mengasuhnya hingga dewasa. Mereka tak hendak berkhianat pada ibu budayanya. Tak ingin jadi epigon mengusung dunia yang tidak dikenalnya, meski narasinya membuai. Mereka tak hendak pamer metafora jika yang dikisahkannya tak punya pijakan kultural. Dalam konteks itu, cerpen-cerpen mereka itu tidak hanya mewartakan persoalan kehidupan sosial-budaya dengan berbagai etnisitasnya, tetapi juga sekaligus melengkapi peta sastra Indonesia yang selama ini diperlakukan seolah-olah hanya milik kaum elitis.

Lihat saja karya-karya Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Abel Tasman, Marhalim Zaini, Olyrinson –sekadar menyebut beberapa—yang di belakangnya, ada sejarah masa lalu Kerajaan Melayu, di sekelilingnya ada problem masyarakat puaknya yang termarjinalkan, di depannya ada hasrat untuk membebaskan diri dari kepungan pesismisme. Lihat juga cerpen-cerpen Jamal T Suryanata yang mengungkap kegagalan ketika tarikan tradisi (Banjar) begitu kuat dan harapan untuk lepas dari keterkungkungan itu, tak mendapat respon dari keluarga dan masyarakatnya. Lain lagi dengan Oka Rusmini, Cok Sawitri atau Wayan Sunarta. Kultur Bali dengan Hinduismenya digunakan sebagai sumber inspirasi. Bali dengan segala dinamika sosio-budayanya menjadi sumber ilham; titik berangkat untuk coba menilai kembali hakikat mempertahankan tradisi dan ketidakmampuan menghindar perkembangan zaman dan perubahan sosial. Hal yang jauh sebelumnya dieksplorasi Korrie Layun Rampan atas kultur dan masyarakat Dayak sebagai ibu budayanya, atau Darman Munir atas kultur ninik-mamaknya.

Di ujung Sumatera, kita juga masih dapat berjumpa dengan Azhari, Fikar W Eda, D. Kemalawati, Silaiman Tripa, Nasir Ag dan sederet panjang sastrawan Aceh. Mereka –lewat karya-karyanya—coba menerjemahkan masa lalu keagungan Kesultanan Aceh, kekayaan kultur etnik, sejarah hitam peristiwa DOM (Daerah Operasi Militer) yang penuh bersimbah darah, dan bencana mahadahsyat Tsunami. Jadilah karya mereka sarat nostalgia, kekayaan budayanya, kegetiran atas tragedi kemanusiaan, dan kegelisahan yang bersimbah harapan. Keseluruhannya lalu termanifestasikan dalam karya yang khas mengungkap manusia Aceh yang multidimensi.

Kultur Jawa juga tak pernah sepi melahirkan sastrawannya yang tak berkhianat pada ibu budayanya. Umar Kayam, Linus Suryadi, Kuntowijoyo, Arwendo Atomowiloto, Suminto A Sayuti, Danarto, bahkan juga Darmanto Jatman, dan sederet panjang nama lain, adalah sebagian sastrawan Indonesia yang punya kesadaran kultural atas ibu budaya mereka. Beberapa cerpenis setelah generasi Ahmad Tohari dan Gus Mus dapat pula disebutkan, antara lain, Yanusa Nugroho dan Triyanto Triwikromo. Ahmad Tohari coba mengangkat wong cilik Jawa pinggiran, Gus Mus memotret kehidupan dunia pesantren lengkap dengan kisah-kisah para aulianya, Yanusa Nugroho coba merevitalisasi kembali tafsir dunia pewayangan, dan Trianto Triwikromo cukup piawai mengungkap mitos dan mitologi Jawa. Semuanya jadi begitu khas, eksotik, dan mempesona.

Begitulah, ketika sastrawan coba menawarkan latar ibu budayanya, kondisi masyarakat yang melingkarinya, dan dunia persekitarannya, maka ia menjelma menjadi potret yang penuh dengan aroma eksotisme. Untuk karya-karya yang seperti itu, usaha melakukan generalisasi hanya akan sampai pada kesia-siaan. Kekhasan itu hanya milik pengarangnya. Dengan begitu, karya-karya itu juga selalu akan menjanjikan greget dan rasa penasaran pembacanya.
***

Antologi Perempuan Bergaun Putih karya Sawali Tuhusetya tidak terelakkan mesti dimasukkan ke dalam kotak eksotisme itu. Meski begitu, kekuatan yang bersumber pada kekhasan selalu akan membawa kegagalan ketika kita coba membuat generalisasi. Jadi, sastra yang pada dasarnya khas itu menjadi lebih khas, karena di sana ada unikum, ada eksotisme manakala kita menelisik lebih jauh segala ceruknya. Dalam konteks itu, Sawali Tuhusetya berhasil mengeksploitasi sisi lain dari kultur Jawa dengan segala mitos, mitologi, sistem kepercayaan, dan dunia pewayangan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Jawa. Antologi yang berisi 19 cerpen ini laksana serangkaian potret orang Jawa yang tak dapat melepaskan diri dari tradisi yang kukuh mencengkramnya. Maka, rasionalitas dan irasionalitas bisa menjadi peristiwa yang aneh mencekam—mengerikan, tetapi sekaligus juga menarik, bersahaja, dan kadangkala juga menciptakan kelucuan.

Pilihan Sawali Thusetya atas tema-tema yang diangkatnya seperti merepresentasikan sikap ambivalensinya atas tradisi dengan segala ketahayulannya, penolakan atas sisi gelap berbagai hal yang berbau klenik, dan sekaligus ketidakmampuannya untuk mengubur ingatan kolektif itu. Jadi, di situlah permainan Sawali. Ia dibetot masa lalu tradisi budaya yang telah melahirkan dan membesarkannya, dan ia ingin melepaskan diri dari segala betotan itu. Tetapi, adanya kesadaran akan ketidakmampuannya melepaskan betotan itu, pada akhirnya, memaksa segalanya harus diterima dan dijalani begitu saja. Mengalir dan mengikuti ke mana arus itu akan membawanya ke muara. Maka, yang terjadi kemudian adalah coba merevitalisasi, menafsir ulang, memberi pemaknaan baru, melakukan aktualisasi, atau menerjemahkannya dalam bentuk transformasi. Jadilah kemudian sejumlah cerpen dengan aura eksotisme.

Sekadar contoh kasus, sebutlah misalnya, cerpen “Topeng”, “Dhawangan”, atau “Jagal Abilawa”. Dalam cerpen-cerpen itu, Tuhusetya menangkap sisi lain dari tradisi kesenian Jawa. Ia mengemas dan menempatkannya dalam konteks kekinian. Kisahannya jadi tampak realis. Tetapi manakala kisahan itu memasuki inti masalahnya, kisah-kisah surealis tiba-tiba saja seperti harus dihadirkan. Dan selepas itu, muncul kesadaran bahwa di sana ada sesuatu yang negatif, sesuatu yang seyogianya ditinggalkan, dan tetap menjadi kisah masa lalu. Jadilah rasionalitas yang kemudian menjadi irasionalitas itu, harus dikembalikan pada rasionalitas masyarakat masa kini.

Dalam konteks kehidupan masyarakat masa kini, peristiwa dalam cerpen “Topeng”, “Dhawangan” atau “Jagal Abilawa” itu laksana mewartakan potret yang sesungguhnya tentang perilaku masyarakat yang kerap mencari pembenaran –legitimasi rasional—dengan menghadirkan sesuatu yang irasional. Pembangunan fisik, seperti jembatan, waduk, atau gedung-gedung bertingkat, mesti didahului dengan penanaman kepala kerbau atau upacara ritual yang bersumber dari berbagai mitos. Sejumlah menteri atau pejabat yang memelihara guru-guru spiritual, atau para selebritas yang dalam setiap tahun baru meminta para peramal meneropong karier mereka. Begitulah, batas rasionalitas dan irasionalitas menjadi begitu tipis. Dalam hal ini, mitos yang sebenarnya irasional itu, justru berfungsi sebagai sarana legitimasi, mengukuhkan optimisme, sebagai jaminan keamanan dalam menjalani kehidupan di masa depan.

Sawali Tuhusetya memang tidak bercerita secara eksplisit mengenai mitos-mitos itu. Ia hanya bercerita tentang sisi lain dari tradisi kesenian di Jawa. Tetapi makna cerpen-cerpennya sesungguhnya coba melakukan gugatan, memberi penyadaran, bahwa dalam beberapa hal, mitos sering kali malah menjebak, menjerat, dan orang yang percaya itu, akan terperosok pada kubangan sistem nilai yang kemudian berkembangbiak menurut pikirannya sendiri.
***

Secara tematis dengan pemanfaatan latar yang bermain dalam ruang lokalitas, Sawali Tuhusetya telah memilih wilayah yang aman. Ia bakal menonjol sendiri di antara bertebarannya cerpenis yang muncul belakangan ini. Meski begitu, titik tekan kepentingannya bukanlah di sana. Ada kekuatan lain yang tidak dimiliki cerpenis lain yang kecenderungannya sekadar mengandalkan kekuasaan bahasa, yaitu aura eksotisme yang hanya milik mereka yang akrab dengan dunianya. Kesenian Jawa dengan segala sistem kepercayaan, tata nilai, dan kisah-kisah supernaturalnya –dalam cerpen-cerpen yang terhimpun dalam antologi ini—tentu saja berada dalam wilayah kekuasaan Sawali. Maka, ia menjadi khas, unik. Tetapi ketika ia dikaitkan dengan persoalan masyarakat (Indonesia) yang dalam kenyataannya tetap berada di tengah garis demarkasi antara tradisi dan modernitas, cerpen-cerpen Sawali Tuhusetya laksana menyodorkan kritik sosial yang tajam.

Dalam semangat multikulturalisme ketika kita bersepakat mengangkat keindonesiaan dalam keberagamannya, dalam keberbedaannya sebagai kekayaan kultural, maka langkah yang dilakukan Sawali Tuhusetya sangat mungkin memberi kontribusi penting. Penting, tidak hanya bagi pemerkayaan tema khazanah sastra Indonesia, tetapi juga penting sebagai pintu masuk memahami kultur keindonesiaan. Dalam konteks itu pula, pembelajaran sastra di semua peringkat sekolah, mestinya dilakukan dengan semangat multikultural. Dan karya sastra dapat dimanfaatkan sebagai halaman depan memasuki rumah kebudayaan Indonesia. Sawali Tuhusetya dalam antologi cerpennya ini telah menyajikan sisi lain dari sebuah halaman rumah kebudayaan Indonesia dalam sajian yang menarik dan eksotik.
Sungguh, saya bahagia membaca antologi cerpen ini!

Bojonggede, 26 Januari 2008
Maman S Mahayana

3 komentar:

  1. samsuddin mengatakan...

    tolong kirim conto cerpen masalah budaya

  2. admin mengatakan...

    terima kasih atas apresiasinya, pak muid. salam kreatif!

  3. admin mengatakan...

    cerpen masalah budaya? hmmm ... kalau pak sam googling di internet, pasti akan menemukannya.

Posting Komentar