Dirgahayu Kartini Indonesia!

Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah, dan berbagai alasan lainnya. Sedangkan, mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Terlepas dari kontroversi yang ada, harus diakui, sosok Kartini telah memberikan inspirasi tersendiri bagi kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya. Kita tak bisa membayangkan bagaimana nasib kaum Hawa di negeri ini seandainya tak muncul gerakan perlawanan dan pemberontakan yang terus gencar dilakukan secara individual oleh perempuan kelahiran Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 itu. Di tengah atmosfer feodalisme yang begitu mengakar dalam strata masyarakat Jawa, Kartini tampil beda lewat pandangan-pandangan tolerannya yang begitu humanis dan menyentuh hingga ke akar-akar kemanusiawian kita. Dia tanggalkan status kepriyayian dan dengan amat sadar dia perkokoh visinya dalam memperjuangkan nasib kaumnya yang dibelenggu oleh adat, kultur, dan tradisi.
Kartini yang besar dan belajar di lingkungan adat-istiadat serta tata cara ningrat Jawa yang begitu mengagungkan nilai-nilai feodalisme merasa gerah. Dia tidak tega menyaksikan nasib kaumnya yang terus mengalami subordinasi dan marginalisasi peran.
“Peduli apa aku dengan segala tata cara itu, segala peraturan-peraturan itu hanya menyiksa diriku saja,” tulis Kartini dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Stella, 18 Agustus 1899. “Bagi saya hanya ada dua macam keningratan: keningratan pemikiran (fikrah) dan keningratan budi (Akhlaq). Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholeh, orang yang bergelar Graff atau Baron!” lanjutnya.
Sudah lebih satu abad suara Kartini menggema dari generasi ke generasi. Kaum perempuan layak bersyukur, tirani dan belenggu patriarki secara bertahap sudah mulai bisa dikendurkan. Gerakan kaum perempuan juga makin gencar beraksi. Mitos kaum perempuan sebagai “kanca wingking, swarga nunut neraka katut, yang awan dadi theklek, yen bengi dadi lemek” (teman belakang, syurga atau neraka ikut saja kehendak sang suami, kalau siang jadi sandal, kalau malam jadi selimut) sudah berhasil dibebaskan. Tak ada lagi konvensi yang menabukan kaum perempuan terjun ke kancah publik, baik dalam ranah birokrasi maupun politik.
Situasi semacam itu jelas makin memosisikan kaum perempuan pada aras yang lebih terhormat dan bermartabat. Sudah bukan saatnya lagi posisi kunci di sektor publik dibeda-bedakan secara seksis dan stereotipe berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki peluang untuk menggapai sukses karier di luar pagar rumah tangga.
Meskipun demikian, situasi kesetaraan yang sudah demikian masif dan progresif, jangan sampai membuat kaum perempuan terjangkiti sindrom euforia hingga melupakan dan mengabaikan sentuhan kelembutan, perhatian, dan kasih sayang dalam lingkup domestik. Betapapun suksesnya kaum perempuan menggapai puncak karier, secara kodrati kehidupan rumah tangga amat membutuhkan kiprah kaum perempuan sebagai pencerah peradaban yang diharapkan mampu melahirkan generasi masa depan yang cerdas, santun, dan berakal budi.
Sungguh, sebuah situasi yang amat tidak menguntungkan apabila anak-anak harus kehilangan perhatian dan kasih sayang hanya lantaran ambisi sang ibu yang ingin menggapai puncak karier tanpa dibarengi dengan kearifan dan kesantunan dalam menyiasati dinamika peradaban yang terus menawarkan perubahan.
Nah, Dirgahayu Kartini Indonesia! ***
0 komentar:
Posting Komentar