Stop Blog Sensasional!

Kompleks blogosphere kembali terguncang. Kasus kartun yang mempersonifikasikan Nabi Muhammad melalui visualisasi yang cenderung vulgar dan seronok yang dipublikasikan di sebuah blog kembali mencuat. Meski telah diblokir oleh wordpress.com, tapi kasus tersebut setidaknya makin menguatkan sebuah opini, betapa demikian gampangnya seseorang memburu sensasi lewat sebuah blog. Longgarnya aturan main kepemilikan akun dengan menggunakan engine dan platform blog tertentu membuat seseorang bebas keluar-masuk kompleks blogosphere dengan berbagai macam kepentingan. Kasus visualisasi Nabi Muhammad melalui kartun yang seronok dan vulgar, jelas makin memperpanjang daftar “hitam” penyalahgunaan blog untuk kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat.

sensasi1Tak hanya sekali ini saja sebuah blog dimanfaatkan untuk mengusung ideologi tertentu. Beberapa waktu yang silam, ada sebuah blog yang mengatasnamakan sang ratu adil: satria pinandita dengan menggunakan paltform wordpress.com, juga memuat tulisan-tulisan berbau SARA yang amat tendensius. Dengan memanfaatkan kekuatan logika, sang ratu berusaha meyakinkan publik tentang bahasa-bahasa agama dan kitab suci yang dianggap salah kaprah. Ada juga blog yang secara khusus dimanfaatkan untuk mengumbar sentimen kebangsaan dengan melecehkan simbol-simbol kenegaraan dengan motif sekadar untuk memburu sebuah sensasi. Namun, agaknya dunia masih berpihak pada nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Blog-blog yang hanya sekadar memburu sensasi pada umumnya tidak akan berumur panjang.

Ya, ya, ya! Ketika peradaban dunia sudah demikian akrab dengan kecanggihan piranti teknologi, manusia, disadari atau tidak, telah “dimanjakan” untuk berekspresi secara digital. Mereka bisa dengan mudah menyampaikan informasi dengan berbagai kepentingan ekspresinya. Sebagai piranti dunia maya, blog pun tak bisa menghindar dari situasi semacam itu. Ada banyak ragam kepentingan ekspresi dari para pemegang akun untuk menggelontorkan opini dan ide-idenya kepada publik. Dalam konteks demikian, fatsun dan paltform pemikiran sang empunya blog akan sangat menentukan visi dan misi ke arah mana blog yang bersangkutan akan dibawa.

Para pemilik akun blog yang suka mengumbar sensasi hanya demi kepentingan sempit dan sesaat, dalam pemahaman awam saya, sangat paham benar tentang manfaat blog untuk kepentingan berekspresi. Mereka memilih blog lantaran demikian mudah untuk memengaruhi opini publik. Blog pribadi tidak memiliki redaktur yang akan menyeleksi dan menyortir tulisan-tulisan yang akan di-publish. Sang pemilik blog itulah satu-satunya redaktur yang akan menjadi penentu layak atau tidaknya sebuah postingan dipublikasikan. Dalam kondisi demikian, dibutuhkan kearifan dan wisdom publik dalam menyikapi postingan-postingan di blog yang cenderung tendensius dan bisa membangkitkan emosi berbasis SARA.

Saya sepakat dengan Mas Wicaksono alias Ndoro Kakung dalam tulisannya di sini bahwa postingan di sebuah blog yang cenderung sensasional tak perlu direspon secara berlebihan. “Biarkan saja. Jangan diakses, jangan ditengok. Anggap saja dia seperti kotoran di jamban rumah .…,” katanya. Ya, ya, ya! Memang kita tak perlu repot-repot mengurusi blog semacam itu. Toh kalau ada resiko yang mesti ditanggung, semuanya menjadi urusan bloger yang bersangkutan.

Meski demikian, kita juga perlu kode etik yang dianut dan diyakini sebagai cara yang terbaik menurut visi dan pandangan setiap bloger. Meskipun blog menjadi media yang tepat dan strategis untuk berekspresi, tidak lantas berarti bahwa kita bisa demikian bebas mengekspresikan semua isi otak kita yang berlumuran sentimen-sentimen primordial dan emosi purba ke dalam sebuah blog. Ada batasan-batasan etika yang seharusnya dianut sang bloger yang bersangkutan agar blog tak terjebak menjadi “komoditas” sensasional yang menjual ideologi-ideologi tertentu yang “melawan arus”. Masih banyak pilihan tentang isi dan content blog yang bisa mencerahkan dan mencerdaskan publik. Yakinlah, *duh kok jadi sok tahu saya, haks* betapapun rapi dan rapatnya kita membungkus kebusukan, suatu ketika akan terendus juga. Rasanya terlalu mahal harga yang mesti ditebus ketika kita demikian mudah memanfaatkan blog sekadar untuk memburu sensasi dan popularitas.

Tiba-tiba saja saya jadi teringat epilog tulisan saya di sini bahwa blog adalah rumah pribadi pemiliknya. Tak seorang pun berhak mencampuri dan memengaruhi harus jadi apa. Kalau toh harus jadi bloger “pemberontak”, pemberontakan kreatif yang dilakukan bukanlah eksperimentasi yang mentah dan konyol. Namun, sudah melalui proses pematangan dan “persetubuhan” sebelum lahir. Kalau boleh meminjam adagium-nya Rene Descartes tentang Cogito ergo sum-nya, kita bisa beranalogi: “Saya ngeblog, karena itu saya ada!” Walah! ***

1 komentar:

  1. Cathryn mengatakan...

    Great stuff. mgmpbismp.co.cc kicks ass.

Posting Komentar