UPAH SI RAJA JANGKRIK

Oleh Kak Sardono Syarief

Hari telah maghrib. Trio melangkah bergegas ke dapur. Ibunya yang baru saja usai mengambil air wudlu di pancuran belakang rumah, kaget demi melihat ulah anak lelakinya itu.

“Hendak ke mana petang-petang begini kau keluar rumah, Trio?”tanya ibunya penuh selidik.

“Penting,Bu. Ke rumah Iwan,”seraya menjawab demikian, Iwan terus saja melangkah dengan tidak memperhatikan ibunya.

“Mau apa?”ulang ibunya agak mencegah.

“Ada PR yang perlu kami kerjakan bersama, Bu!”

“Sekarang sudah maghrib, Trio. Apa tak bisa ditunda sehabis sholat maghrib nanti?”

“Tidak, Bu!”

“Tapi ini kan sudah maghrib? Pergilah ke musholla dulu!”
Satrio tidak menjawab. Bahkan anak itu telah berlalu meninggalkan ibunya.

“Ah, keterlaluan benar anak itu!”gumam ibunya di dalam hati dengan nada kecewa. Setelah itu ibu setengah baya itu pun masuk ke rumah.

“Trio mana, Bu?”Pak Dullah, ayah Trio bertanya sambil mengenakan sarung palekat kotak-kotak putih hitam. Lelaki berkumis tebal itu tampaknya tengah bersiap diri untuk pergi ke musholla yang tak jauh dari rumahnya.

“Biasa, Pak. Anak itu tak mau dinasihati,”jawab ibu Trio bersungut-sungut.

“Ke mana anak itu pergi?”ulang Pak Dullah ingin tahu lebih jauh.

“Ke rumah Iwan, Pak.”

“Mau apa katanya?”tampaknya agak masgul juga hati Pak Dullah.

“Entah…!”sahut Bu Dullah dengan nada kesal.
“Tadi apa yang ia perbuat selama di rumah, Bu?”

“Yang Ibu tahu,”ujar Bu Dullah. “Selepas bedug ashar sore tadi,”lanjutnya. “Mereka berdua asyik sibuk membuat obor dari potongan bambu di belakang rumah, Pak.”

“Obor untuk apa kata mereka?”

“Seperti anak-anak yang lain,”sahut Bu Dullah. “Tentu untuk ngobor jangkrik di tengah sawah.”
Mendengar jawaban istrinya demikian, hati Pak Dullah kaget seketika. Lelaki berkumis tebal itu mendesah panjang, melampiaskan kekesalannya. Kedua bola matanya seketika memerah.

“Apa tadi kau tidak melarangnya ketika dia hendak pergi, Bu?”

“Kalau cuma melarangnya,”sahut Bu Dullah. “Sudah berulangkali Ibu lakukan, Pak,”sambungnya. “Namun, semenjak Trio berteman dengan Iwan, si anak tetangga baru yang terkenal nakal itu, duh…bandelnya bukan main!”
Mendengar keterangan istrinya seperti itu, hati Pak Dullah makin masgul. Dia yang semula berdiri di dekat pintu depan, kini mengambil duduk di kursi tengah.

“Kalau begitu, baiklah. Biar nanti malam Trio akan Bapak hajar habis-habisan dia!”ancam Pak Dullah sembari menahan amarahnya.

Usai itu, lelaki kekar dan berkumis tebal itu keluar menuju musholla. Tak ketinggalan, istrinya ikut menyusul juga di belakang untuk menunaikan shalat maghrib bersama di sana. Sementara itu, Trio telah tiba di belakang rumah Iwan. Seperti Trio juga, Iwan meninggalkan rumah tidak berpamitan kepada kedua orang tuanya. Bahkan ia sengaja sembunyi-sembunyi lewat pintu dapur, manakala bapak dan ibunya pergi menuju musholla.

“Iwan tidak tampak berjamaah. Di mana anak itu,Bu?”demikian tanya ayah Iwan sepulang sholat maghrib di musholla.

“Entahlah. Tadi rupanya yang maghrib-maghrib datang ke sini, Trio, Pak,”jawab ibu Iwan seraya menaruh mukena di pesampiran, di dalam kamar pesholatan.

“Apa yang tadi Trio bawa ketika datang kemari, Bu?”

“Tampaknya dua buah obor bambu, Pak.”

“Obor?”tanya Pak Rosid, ayah Iwan, ingin yakin.

“Iya, obor, Pak.”

“Untuk apa katanya?”dengan nada agak geram Pak Rosid bertanya.

“Untuk apa lagi kalau bukan untuk ngobor jangkrik di tengah lapang, Pak?”ibu Iwan juga mulai sedikit kesal.

“Keterlaluan!”Pak Rosid naik pitam. “Maghrib-maghrib bukannya ke musholla untuk sembahyang. Malahan keluyuran ke tengah sawah mencari jangkrik. Apa minta dimakan setan rupanya anak- anak itu ya, Bu?” Pak Rosid benar-benar geram. Bapak setengah baya itu menghempaskan tubuh gendutnya di kursi busa. Hatinya masgul. Darahnya secepat kilat naik sampai ubun-ubun.

“Eh, Bu!”ujarnya masih geram. Bu Rosid diam memperhatikan sikap suaminya.

“Jangan bilang kepada anak sial itu!”kata Pak Rosid dengan nada tinggi. “Akan kuhajar mentah-mentah Iwan sepulang di rumah nanti!”ancam Pak Rosid tidak main-main. Mukanya bersungut-sungut.
Mendengar perkataan suaminya seperti itu, Bu Rosid bungkam. Dirinya tidak menyahut apa-apa.
Memang begitulah kenyataannya. Malam itu, Iwan dan Trio ngobor jangkrik genggong di persawahan timur kampung. Persawahan yang baru saja dipaneni kacang tanahnya kemarin siang itu, memang cukup banyak jangkriknya. Sehingga bukan Iwan dan Trio saja yang maghrib-maghrib sudah tiba di tempat itu. Tetapi banyak juga teman kedua anak tersebut yang ikut berdatangan ke sana.

Sejauh itu, keremangan petang kian merangkak menuju malam. Sinar matahari jingga kini pun semakin gulita. Tenggelam berganti gelap. Jagad berubah hitam. Bintang-gumintang serentak datang menghiasi langit. Kerdipnya sungguh sangat menambah kian eloknya pemandangan sawah desa yang terletak di kaki bukit malam itu.
Keelokan panorama tersebut lebih indah ketika didukung oleh liak-liuk nyala obor bambu. Ya, obor bambu milik anak-anak pencari jangkrik yang banyak bertebaran di sana. Nyala apinya bagaikan ribuan kunang-kunang yang sedang terbang diterpa lari angin. Kadang nyala itu serempak meliuk ke arah utara, kadang meliuk ke selatan pula. Itu terjadi bilamana anak-anak saling lari memburu sumber suara jangkrik.

“Hei, Wan! Ayo kita pulang! Ingat, sekarang sudah pukul sepuluh,”ajak Trio penuh harap.

“Sebentar! Aku akan cari seekor lagi,”timpal Iwan agak berat hati. “Lagi pula di tengah sawah seperti saat ini, kau tahu jam dari mana, Trio?”sambungnya lirih. Anak itu mengambil posisi jongkok. Tampaknya sedang mau nguping suatu sumber bunyi dari lubang yang tak begitu lebar ukurannya. Entah suara apa! Yang jelas, bunyinya lain dari kesepuluh jangkrik yang telah berhasil dia tangkap.

“Iwan!”ujar Satrio. “Tadi aku menghitung bunyi kentongan dari sudut kampung telah sepuluh kali dipukul orang. Itu pertanda, bahwa malam telah pukul sepuluh. Sudah cukup malam. Agar di sekolah besok tidak ngantuk. Ayo, kita pulang sekarang!”ajak Satrio penuh harap.

“Nanti dulu, Trio! Sebentar lagi. Setelah jangkrik yang satu ini bisa kutangkap,”jawab Iwan setengah berdesis.
Satrio menurut, meskipun sebenarnya hatinya sudah amat gelisah. Anak itu mulai cemas, jangan-jangan bapaknya menyusulnya ke tempat itu.

Sesaat dari itu, tiba-tiba terdengar desisan suara,”Weeesss….! Weeessss……! Weeeessss…….!”menyapu muka Iwan yang sedang mengintip-intip lubang kecil tempat suara asing tadi berbunyi. Desisan tadi dirasakan oleh Iwan sebagai hembusan angin yang sangat dingin. Entahlah desisan apa itu! Iwan sendiri tidak tahu persis. Sehingga demi lebih jelasnya anak itu kembali menguping dan mengintip lubang itu lagi. Namun baru saja anak itu mengintip, tiba-tiba,”Aduuuhhh……..! Aduuuuhhhh….! Aduuuuhhhh…..!”Iwan teriak-teriak kesakitan. Satrio yang pada saat itu tengah jongkok di sisi kirinya, kaget seketika.

“Kenapa? Kenapa kau, Wan? Kenapa…?”tanya Satrio seketika berdiri sambil membimbing Iwan dengan suara gugup.
Iwan tidak menyahut. Dia terus menangis kesakitan. “Aduuuhhhhh……….! Uuuuu…………..! Uuuuuuuuuu…!”tangis anak itu sepanjang jalan menyusuri pematang.

“Tadi kenapa kau menangis, Wan?”tanya Trio begitu melihat temannya telah terdiam dari tangisnya.

“Digigit………”

“Kiranya digigit apa, Wan?”

“Entahlah!”sahut Iwan. “Mungkin ular, Trio. Tadi sebelum digigit, aku merasakan adanya semacam hembusan yang mengenai mukaku.”

“Apa betul itu katamu, Iwan?”suara Trio agak meninggi.

Iwan terlihat mengangguk di bawah keremangan sinar obor bambunya. Keduanya terus melangkah menyusuri pematang sawah, menuju rumah.

“Betul, Trio! Malah, aku mendengar desisan asing dari dalam lubang yang kuintai, Trio.”

“Oh….! Itu berarti bukan sekedar jangkrik biasa, Wan!”

“Maksudmu?”Iwan penasaran ingin segera mengerti.

“Hewan yang menggigit jarimu tadi, penuh kemungkinan ular berbisa, Iwan!”

“Apa……..? Ular berbisa yang bisa mematikan maksudmu, Trio?”

“Ya, bisa saja, Wan!”

“Aduuuhhh……! Bagaimana ini aku, Trio?”Iwan cemas.

“Tenanglah! Yang penting kau harus bisa sampai tiba di rumah.” Iwan terus menahan sakit. Sementara Satrio dengan penuh setia kawan membimbing jalan Iwan yang makin tak mampu tegap lagi akibat serangan bisa ular.
Setelah menempuh perjalanan agak lama, kini keduanya pun tiba di rumah. Kedua anak kelas 6 SD yang cukup bandel itu disambut amarah oleh bapak masing-masing. Keduanya dihajar habis-habisan hingga mereka menyatakan kapok.

Keesokan paginya, kedua anak itu saling merasakan penat-penat akibat hadiah bogem bapak mereka. Akan tetapi lebih penat dan sakit lagi apa yang dirasakan Iwan.

Pagi itu, kedua pipi dan wajah Iwan terlihat gemuk seperti kena penyakit beri-beri. Matanya sipit hampir tenggelam dalam bengap pipinya. Begitu pula hidungnya terlihat amblas ke dalam. Pesek seperti tak memiliki batang hidung sama sekali.

Betul! Pagi itu sekujur tubuh Iwan berubah jadi gemuk mendadak. Melihat itu, Pak Rosid, ayah Iwan, segera turun tangan.

“Kenapa kau tadi malam, hah…?”kedua tangan Pak Rosyid berkacak pinggang.

“Entahlah, Pak. Mungkin disembur dan digigit ular,”Iwan menjawab ragu-ragu.

“Bukan mungkin lagi! Melihat sekujur tubuhmu, kau pasti telah digigit ular berbisa, Iwan! Untung tidak dimakan sekalian! Kalau sampai dimangsa ular, bukan salah hewan liar itu. Melainkan salah kamu sendiri yang maghrib-maghrib sepantasnya berjamaah di musholla. Eeee…..hhhhhhhhhh, kok malah keluyuran ke tengah sawah! Akibatnya, tahu rasa kau sekarang!”ujar Pak Rosid panjang penuh wibawa. “Masih untung kau bisa pulang!”tambahnya dengan nada tinggi. “Kalau tidak? Apa yang akan terjadi padamu tadi malam, hah…? Tentu kau akan dibawa ke istana si Raja Jangkrik sekalian, Wan! Kau tahu maksud Bapak?”

Iwan geleng-geleng kepala sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

“Binatang itu rupanya telah memberikan pelajaran bagi anak yang tak mau menurut nasihat serta larangan orang tua sepertimu. Dia menggigitmu agar nanti malam kau tidak mengulangi mengobor jangkrik lagi, tahu…?”
Dengan perasaan penuh bersalah, Iwan mengangguk. Ia tak berani mendongak melawan tatapan bapaknya.

“Sekarang apa yang kauharapkan dari Bapak, haaahhhh…?”

“Diobatkan, Pak,”sahut Iwan berani-berani takut. Pak Rosyid tersenyum.

“Bapak sanggup saja mengobatkan kamu ke Dokter kesehatan, asalkan kamu mau berjanji Iwan…”
“Janji untuk apa, Pak?”

“Janji untuk tidak meninggalkan rumah pada saat maghrib tiba. Janji untuk tidak mengulangi perbuatan nakal seperti kemarin sore lagi. Sanggupkah kau, anak bandel?”

“Sang, sanggup, Pak….,”jawab Iwan seraya mengangguk penuh rasa sesal.

“Nah, kalau begitu, ayo lekas kita ke Puskesmas! Agar upah dari si Raja Jangkrik yang kau terima tadi malam segera dibuangi oleh dokter!”

Iwan menurut. Anak itu diam. Hatinya penuh rasa bersalah. ***
--------------

Kak Sardono Syarief
Penulis puisi dan cerita anak

d/a Jl. Raya Domiyang No.116
Paninggaran-Pekalongan 51164
Jateng

0 komentar:

Posting Komentar