Bahasa Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan, dan Jati Diri Bangsa

dirgahayu IndonesiakuKetika para pendahulu negeri ini menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, pasti sudah melalui banyak pertimbangan. Apalagi, situasi saat itu nilai-nilai primordialisme berbasis kesukuan dan kedaerahan dinilai masih sangat kuat. Sungguh, bukan hal yang mudah untuk bisa mengakomodasi aspirasi semua pihak ke dalam sebuah identitas keindonesiaan yang pada saat itu bisa dikatakan sebagai wacana baru. Namun, pantas disyukuri bahwa para pendiri negeri ini bisa menuntaskan persoalan-persoalan kesukuan dan kedaerahan dengan baik dan akomodatif. Yang membanggakan, suku Jawa yang saat itu menjadi suku dominan tidak serta-merta bersikukuh mengusulkan agar bahasa Jawa dijadikan sebagai bahasa nasional. Kita tak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi seandainya bahasa Jawa yang dikenal memiliki kosakata, struktur, dan sistematika kebahasaan yang cenderung rumit dan kompleks menjadi bahasa nasional.

Dalam konteks demikian, sungguh naif apabila kita masih berkutat dengan persoalan-persoalan primordialisme sempit ketika dunia sudah menjadi satu perkampungan global. Kita akan terus menjadi bangsa yang tertinggal apabila persoalan-persoalan kesukuan masih dijadikan sebagai alasan pembenar dalam berbagai konflik antaretnis yang begitu menggejala sejak era reformasi bergulir di negeri ini. Sebagai negara-bangsa, kita sudah memiliki pertautan jati diri yang diharapkan mampu menjadi perekat persaudaraan antaretnis, sehingga bangsa ini bisa hidup dalam suasana aman dan damai di bawah payung kebesaran religi yang sudah teruji oleh sejarah.

Salah satu perekat keberagaman etnis yang telah dinyatakan sebagai jati diri bangsa adalah bahasa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 36 UUD 1945. Dalam pasal tersebut jelas tersurat bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Ini artinya, sikap bangga dan cinta terhadap bahasa nasional idealnya merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah bangsa yang telah merdeka dan berdaulat penuh. Namun, agaknya keniscayaan itu baru dalam sebatas slogan dan retorika. Disadari atau tidak, kita sesungguhnya telah melakukan pembusukan terhadap bahasa Indonesia sebagai bagian dari jati diri bangsa. Hal itu tampak jelas pada sikap rendah diri ketika kita dituntut untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam konteks komunikasi sehari-hari. Kita justru merasa amat bangga dan terhormat jika menggunakan setumpuk istilah asing ketika bertindak tutur dalam kehidupan sehari-hari.

Kini, ketika usia kemerdekaan negeri ini sudah mencapai delapan windu, kita perlu melakukan refleksi, sudah bangga dan cintakah kita terhadap bahasa bahasa Indonesia yang jelas-jelas dinyatakan sebagai bahasa nasional? Sudahkah kita memasang spanduk perayaan proklamasi di gapura-gapura kampung dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Sudahkah kaum elite yang menjadi anutan sosial di negeri ini memberikan keteladanan dalam hal berbahasa, baik dalam wacana lisan maupun tulisan?

Pertanyaan reflektif semacam itu menjadi amat penting dan relevan ketika kita demikian masif menggelar acara-acara seremonial menyambut HUT RI, tetapi pada praktiknya masih ada bagian jati diri bangsa yang luput dari perhatian. Kini, ketika usia kemerdekaan kian bertambah, saatnya kita kembali ke “khittah” perjuangan pendahulu negeri yang dengan amat sadar menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Nah, dirgahayu Indonesiaku! ***

1 komentar:

  1. bayu nurharyanto mengatakan...

    Bahasa Indonesia memang sampai saat ini belum bisa mengakar di hati para siswa, apa lagi masyarakat awam yang sering saya lihat bahasa ibu yang masih dominan, meskipun kita sudah dikatakan merdeka sudah 64 tahun, tapi saya sedih murid saya baru masuk tahun ini sudah ada yang keluar(sma muh.alas,sbw,ntb) itu terjadi tiap tahun.Ini gara-gara faktor ekonomi.Mudah-mudahan dengan presiden SBY BERBUDI tidak ada lagi rakyat seperti itu. SEMOGA !

Posting Komentar