BAPAKKU SEORANG PAHLAWAN

Oleh Sardono Syarief 

Murid-murid SD Inpres yang terletak di pinggir jalan raya sedang mengadakan upacara bendera.

“Oh, sekarang tanggal 10 November! Hari Pahlawan!” bisik hati lelaki kecil penjual es lilin yang kebetulan lewat di jalan.

Melihat ada upacara peringatan Hari Pahlawan di halaman SD tersebut, Roni, nama lelaki kecil itu tertarik. Ia berhenti sejenak setelah merapat ke pagar halaman sekolah. Di hatinya terkandung maksud ingin dengan khidmat menyaksikan jalannya upacara. Entah perasaan apa yang menyelimuti hati anak itu. Yang jelas, setelah dua tahun mogok kelas 5 SD, Roni tak lagi bisa  mengikuti upacara bendera. Upacara yang diselenggarakan  setiap hari Senin dan hari-hari bersejarah seperti pagi itu.

“Kenapa basah matamu, Roni?”tanya Usman, teman penjual es lilin yang baru saja tiba di tempat itu. Anak itu heran melihat teman seperjuangannya matanya basah berkaca-kaca.

“Roni, kau kenapa?”desak Usman, ingin segera tahu.

Roni yang merasa berkali-kali ditepuk pundak kanannya oleh Usman, menoleh. Kemudian dengan gerakan bibirnya yang cukup terlihat berat, anak itu menjawab.

“Kau tahu?” 
        
“Tahu apa?”balas Usman bingung.

“Pada hari bersejarah seperti sekarang ini,”lanjut Roni. “Ada suatu peristiwa yang sangat mencekam pikiranku.”

“Maksudmu?”

“Dua tahun yang lalu,”ungkap Roni. “Ketika itu aku masih duduk di kelas 5,”sambungnya dengan suara tersendat.

“Persis di hari pahlawan seperti sekarang ini, Bapakku meninggal akibat terlanggar truk di jalan raya.”

“Saat itu Bapakmu dari mana?”

Roni menjawab pertanyaan Usman dengan suara makin tersendat. Gerak bibirnya kian berat. Kedua bola matanya makin basah. Entah sejauh mana peristiwa suram itu kembali terkenang di benaknya.

“Saat itu,”jawab Roni. “Bapakku baru saja pulang dari lapangan. Ia baru mengikuti upacara peringatan Hari Pahlawan seperti sekarang ini.  Dengan berkendaraan  sepeda genjot, mungkin Bapakku letih. Sepeda yang dikendarainya oleng kemudian roboh di tengah jalan raya.”Roni diam sejenak. “Celakanya,”lanjut Roni tak lama dari itu. “Dari arah  berlawanan, ada sebuah truk melaju dengan cepat. Sehingga kecelakaan bagi Bapakku pun tak bisa dihindari.”

Usman menatap Roni dengan pandangan kosong.

“Apakah seketika itu pula Bapakmu meninggal?”tanya Usman dengan perasaan terharu.

“Benar. Seketika itu pula Bapakku meninggal dunia.” 

“Ah........!,”Usman mendesah panjang. Sepertinya ikut hanyut ke dalam peristiwa naas yang dialami oleh Bapak Roni.

“Mungkin parah benar ya, luka yang dialami oleh almarhum Bapakmu, Roni?”

Roni mengangguk, membenarkan.

“Ketika dikuburkan saja,”ucap Roni memberikan gambaran. “Dari kepala Bapakku terus mengucur darah. Kepala Bapakku pecah menjadi empat bagian. Bola mata kanannya hilang. Kaki kirinya putus sebatas lutut. Tulang dadanya remuk menjadi beberapa bagian.”

“Ihh......! Betapa kasihan benar, nasib Bapakmu,Roni?”dengan bergidik  Usman menyahuti.

“Itulah sebabnya,”sahut Roni dengan suara makin tersendat.”Bila setiap datang upacara peringatan Hari Pahlawan seperti sekarang ini,”sambungnya.”Ingatanku kembali melayang kepada waktu dua tahun yang lalu,”air mata akibat keharuan yang tiba-tiba muncul kembali di ingatan anak itu menetes deras.
 
“Sudahlah!”ujar Usman menghibur sahabatnya seraya mendekap pundak Roni erat-erat. “Semoga arwah Bapakmu bisa diterima di sisi Allah, Tuhan Yang Maha Pengampun! Semoga Bapakmu tergolong orang-orang yang beriman. Semoga Bapakmu termasuk mati sahid, mati sebagai pahlawan.”

Sambil melepas dekapan Usman, Roni kemudian menatap Usman dengan pandangan hampa.

“Bapakku termasuk seorang pahlawan?” 
 
Usman mengangguk. Katanya,”Bukankah ketika meninggal dulu Bapakmu seorang HANSIP yang baru saja melaksanakan tugas demi bangsa dan Negara?”

Gantian Roni  yang mengangguk.

“Bukankah seseorang yang meninggal dalam keadaan tugas demi bangsa dan negara, bisa dikatakan sebagai seorang pahlawan, Ron?”

“Pahlawan yang mana itu, Us?”sahut Roni dengan hati agak berbunga.

“Ah, aku jadi ingat sekarang!”ujar Usman menghibur Roni.

“Ingat akan apa?”

“Dulu kata Pak Guru sewaktu saya bersekolah,”sahut Usman. “Seseorang yang meninggal seperti Bapakmu,”sambung anak itu. “Orang yang nama-namanya tidak tercantum di makam-makam pahlawan, bisa dikatakan sebagai pahlawan tak dikenal.”

“Kalau begitu, Bapakku seorang pahlawan, Us?”ucap Roni gembira.

“Iya! “dengan penuh semangat Usman meyakinkan hati temannya.

Melihat mimik Usman yang amat meyakinkan itu, hati Roni jadi lega. Kesedihan hati anak itu bisa sedikit terobati.

“Syukur kepadaMu, ya Allah.!”ucapnya sambil menengadahkan kedua telapak tangannya di atas dada.***
  
 ------------------
Sardono Syarief
Jl. Raya Domiyang No. 116- Paninggaran
Pekalongan-Jawa Tengah 51164

1 komentar:

  1. monika mengatakan...

    hmm.bagus...banget

Posting Komentar