Ujian Nasional 2010 Tetap Digelar

Terlepas dari berbagai kontroversi yang selama ini mencuat ke permukaan, UN perlu dikembalikan ke “khittah”-nya sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Artinya, UN jangan dijadikan sebagai penentu kelulusan, tetapi sebagai alat untuk memotret dan memetakan mutu pendidikan secara nasional, sehingga bisa diketahui sekolah mana yang sudah memenuhi standar mutu dan yang belum. Sekolah yang belum memenuhi standar mutu pendidikan perlu terus dikawal, dilengkapi sarana, prasarana, dan fasilitasnya, serta ditingkatkan mutu gurunya, sehingga bisa terus berkembang secara dinamis dan siap bersaing dengan sekolah-sekolah lain yang jauh lebih maju.
Kenyataan menunjukkan, dijadikannya UN sebagai penentu kelulusan telah mengakibatkan merebaknya budaya kecurangan massal dan tak pernah tuntas tertangani. Yang lebih ironis, UN bukan lagi sebagai alat untuk mengukur dan menguji kompetensi peserta didik, melainkan telah jauh menyimpang sebagai alat pencitraan pejabat publik di daerah. Tidak sedikit pejabat daerah yang menjadikan keberhasilan UN sebagai upaya untuk meningkatkan posisi tawar, sehingga mereka berupaya dengan berbagai macam cara agar tingkat kelulusan UN di wilayahnya bisa mencapai target yang diinginkan. Untuk mencapai target kelulusan, dibentuklah Tim Sukses UN untuk mengawal pelaksanaan dan hasil UN. Akibatnya bisa ditebak, UN bukan lagi sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan, melainkan sebagai tujuan untuk meningkatkan citra dan marwah daerah.
Kalau mau jujur, UN selama ini justru telah mereduksi makna pendidikan hakiki. Yang berupaya serius agar bisa lulus bukan peserta didik, melainkan para pemangku kepentingan pendidikan untuk mencapai target-target tertentu. Tak heran apabila UN hanya menjadi rutinitas tahunan yang telah kehilangan aura dan wibawa. Tak ada energi positif yang terpancar dari balik pelaksanaan UN selama ini. Menjelang UN bukannya siswa yang repot, melainkan para pejabat dan birokrat pendidikan mulai lapis atas hingga lini bawah. Guru pun kalang kabut, bahkan mengidap stress tahunan akibat mendapatkan tekanan bertubi-tubi dari berbagai sisi. Menjelang UN, seorang guru mesti berangkat pagi-pulang sore untuk melakukan adegan-adegan akrobatik di kelas guna men-drill siswanya dengan berbagai trik dan kiat demi memenuhi ambisi dan gengsi atasannya. Mereka pun tak jarang mesti mengorbankan kepentingan suami dan anak-anak di rumah. Sebuah pemandangan yang biasa apabila keluarga guru kehilangan sebagian kebahagiaan menjelang UN. Suami uring-uringan, anak-anak pun merasa kurang mendapatkan sentuhan perhatian dan kasih sayang.
Yang lebih menyedihkan, siswa justru kehilangan greget untuk belajar keras karena telah terperangkap dalam kubangan budaya instan. UN bukan lagi sebagai sesuatu yang “sakral”, tetapi hanya sebuah adegan drama yang sarat dengan kepura-puraan.
Kalau memang UN didesain sebagai “starting point” peningkatan mutu pendidikan, harus ada perubahan mendasar tentang sistem dan mekanismenya. Pertama, serahkan sepenuhnya penentuan kelulusan kepada sekolah dengan menggunakan rambu-rambu dan standar kelulusan secara nasional. Harus ada pemantauan sistemik terhadap proses penilaian kompetensi siswa secara jujur, fair, dan objektif, sehingga tak memungkinkan sekolah untuk melakukan manipulasi penilaian. Kedua, kualitas soal UN harus benar-benar valid sehingga mampu membedakan siswa yang berotak cemerlang dan siswa yang berotak pas-pasan. Jangan sampai anak-anak cerdas justru terbonsai dan harus jadi tumbal pendidikan akibat soal UN yang diragukan mutunya. Sebaliknya, siswa yang kehilangan etos belajar dan bermental pemalas justru termanjakan dengan mendapatkan hasil UN yang bagus dan memuaskan. Ketiga, harus ada sinkronisasi antara kurikulum yang teraplikasikan dalam kegiatan pembelajaran dan sistem UN yang dilaksanakan. Selama ini, UN terkesan menjadi sebuah entitas yang terlepas dari kurikulum. Menjelang UN, siswa tak pernah mendapatkan layanan pendidikan yang inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, lantaran mereka hanya dilatih untuk menjadi penghafal kelas wahid, tak ubahnya seperti simpanse dalam permainan sirkus.
Semoga “teguran” MA benar-benar menjadi “warning” buat Depdiknas dalam menggelar UN yang lebih mencerdaskan dan mencerahkan, sehingga UN bisa menjadi alat yang sahih untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebuah tantangan yang tidak mudah bagi Pak Muhammad Nuh sebagai Mendiknas di awal pengabdiannya. ***
7 Desember 2009 pukul 06.03
saya minta pos un 2010 terima kasih
10 Desember 2009 pukul 08.23
semoga pemerintah benar-benar memperhatikan betapa malangnya nasib para pelajar yang berada didaerah pelosok yang memiliki fasilitas minimalis dan pembelajaran yang tidak ideal. gimana dong nasib mereka yang akhirnya mengalami keputusasaan, sehingga membuat masa depannya tidak menentu
18 Desember 2009 pukul 13.26
Saya membaca PERMENMENDIKNAS No. 74 tahun 2009 melihat pasal 14 ayat (1)dan (2) bagi anak didik kami sangat meropotkan apabila ujian tempatnya harus disebar untuk mengecek kehadiran anak kami
Trim.