Pelarangan Buku dan Ancaman Kebebasan Berekspresi

Langkah Kejaksaan Agung melarang peredaran buku pada penghujung 2009 menorehkan luka perih dalam dinamika pencerdasan bangsa. Melalui Keputusan No.139 sampai dengan No. 143/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009, Jaksa Agung melarang peredaran lima buku karena dinilai dapat mengganggu ketertiban umum, sehingga dapat menimbulkan kerawanan terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, menimbulkan keresahan dan terganggunya ketertiban umum.

Buku-buku yang dilarang beredar, antara lain:

  1. Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karangan John Roosa;

  2. Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Socrates Sofyan Yoman;

  3. Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Muhidin M. Dahlan;

  4. Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan, MM; dan

  5. Mengungkap Misteri Keberadaan Agama karangan Drs. H Syahrudin Ahmad.



Keputusan Jaksa Agung telah memancing reaksi dari berbagai kalangan. Ketua Forum Rektor Indonesia, Edy Suandi Hamid, misalnya, menyatakan bahwa pelarangan justru bisa berdampak kontraproduktif, apalagi jika berkaitan dengan sejarah masa lalu. Masyarakat, yang saat ini sudah mengerti haknya memperoleh informasi, bisa mencurigai bahwa ada fakta sejarah yang sengaja disembunyikan.

pelarangan bukuSementara itu, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, yang bukunya dilarang, berpendapat bahwa sejarah adalah multitafsir, tidak tunggal. Terhadap alternatif kebenaran lain, masyarakat harus toleran. Mengenai bukunya yang dinyatakan dilarang oleh Kejaksaan Agung, Rhoma mengaku belum tahu substansi pelarangan. Bahkan, ia juga belum diberi tahu hal-hal apa di bukunya yang membuat menjadi terlarang. Yang pasti, melarang buku --sebagai karya intelektual-- merupakan pelanggaran atas hak berkreasi.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) pun menyatakan bahwa langkah Kejaksaan Agung itu adalah tindakan yang tidak demokratis. Langkah itu juga merupakan pelanggaran serius terhadap instrumen hak asasi manusia yang dibentuk dan berlaku di Indonesia. Elsam mendesak agar keputusan dan instruksi Jaksa Agung itu dicabut. Kejagung juga diminta menghentikan tindakan yang dapat menghalangi, membatasi, atau mengekang kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat setiap orang. Hal itu termasuk memulihkan peredaran buku dan barang cetakan lainnya yang sebelumnya dilarang beredar.

Menyikapi pelarangan buku, KontraS mendesak Kejaksaan Agung untuk mencabut pelarangan buku-buku tersebut, sekaligus menghentikan praktek pelarangan peredaran karya-karya intelektual di masa mendatang. KontraS juga mendesak pembatalan atas aturan-aturan hukum yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi.

Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) juga menentang pelarangan buku. Dalam pandangan ISSI, pelarangan semacam itu tidak saja bertentangan dengan prinsip umum hak asasi manusia, tetapi juga amanat UUD 1945 untuk “memajukan kecerdasan umum”. ISSI juga menuntut agar: (1) Kejaksaan Agung segera mencabut surat keputusan tersebut dan menghentikan praktik pelarangan secara umum. Perbedaan pandangan mengenai sejarah hendaknya diselesaikan secara ilmiah, bukan dengan unjuk kuasa menggunakan hukum warisan rezim otoriter; dan (2) pemerintah dan DPR segera mencabut semua aturan hukum yang mengekang kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi. Warisan kolonial dan rezim otoriter yang ingin mengatur arus informasi dan pemikiran sudah sepatutnya diakhiri.

Ya, ya, ya, meski reformasi bertubi-tubi digencarkan, perilaku para pemegang kekuasaan agaknya belum sepenuhnya berubah. Tindak pelarangan yang dilakukan Jaksa Agung tak jauh berbeda dengan tindakan masif rezim Orde Baru yang telah melarang peredaran beberapa buku, seperti:


  1. Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer;

  2. Anak Semua Bangsa (1981) karya Pramoedya Ananta Toer, Komunis dan Marxist;

  3. Jejak Langkah (1985) karya Pramoedya Ananta Toer, Komunis dan Marxist;

  4. Rumah Kaca (1988) karya Pramoedya Ananta Toer, Komunis dan Marxist;

  5. Arus Balik (1995) karya Pramoedya Ananta Toer;

  6. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995-1996) karya Pramoedya Ananta Toer (Naskah asli berjudul “Nyanyi Tunggal Seorang Bisu” dibuat tahun 1991;

  7. Di Tepi Kali Bekasi (1947) karya Pramoedya Ananta Toer;

  8. Perburuan (1950) karya Pramoedya Ananta Toer;

  9. Keluarga Gerilya (1950) karya Pramoedya Ananta Toer;

  10. Percikan Revolusi (1950) karya Pramoedya Ananta Toer;

  11. Subuh (1950) karya Pramoedya Ananta Toer;

  12. Bukan Pasar Malam (1951) karya Pramoedya Ananta Toer;

  13. Mereka yang Dilumpuhkan (1951) karya Pramoedya Ananta Toer;

  14. Cerita dari Blora (1952) Pramoedya Ananta Toer;

  15. Korupsi (1954) karya Pramoedya Ananta Toer;

  16. Cerita dari Jakarta (1957) karya Pramoedya Ananta Toer;

  17. Serat Darmogandul;

  18. Suluk Gatoloco;

  19. Buku Putih Perjuangan Mahasiswa Indonesia KM ITB 1979;

  20. Apakah Soeharto Terlibat Peristiwa PKI;

  21. Bayang-bayang PKI (1995) karya Institut Studi Arus Informasi disunting Stanley;

  22. Madame D Syuga;

  23. Painting in Islam;

  24. Dosa dan Penebusan Menurut Islam dan Kristen;

  25. Kristus Dalam Injil dan Al Quran;

  26. Mujarobat Ampuh;

  27. Berhati-hati Membuat Tuduhan;

  28. Menyingkap Sosok Misionaris;

  29. Sajian Tuntutan Tuhan pada Akhir Zaman;

  30. Aurad Muhammadiyah;

  31. Memoar Oei Tjoe Tat (1995);

  32. Islamic Invation karya Robert Morey;

  33. Di Balik Jeruji Besi diterbitkan Yayasan Kalimatullah;

  34. Alkitabul Muqodas diterbitkan Yayasan Kalimatullah;

  35. Kesaksian Al Quran diterbitkan Yayasan Kalimatullah; dan

  36. Tuanku Rao (1967) karya Parlindungan.




Apapun dalihnya, pelarangan buku, dalam pandangan awam saya, jelas bertentangan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 tentang upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang dengan amat sadar diberi “tinta biru” oleh para pendiri negara bahwa bangsa ini harus menjadi bangsa yang cerdas. Salah satu upaya untuk ikut mendesain bangsa yang cerdas adalah tersedianya buku-buku bermutu yang bisa dengan mudah dibaca oleh anak-anak bangsa sehingga akan terus memberi inspirasi kepada generasi bangsa ini untuk selalu membuka mata batinnya terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.

Buku juga mampu melahirkan generasi yang kritis sehingga anak-anak bangsa negeri ini mampu berpikir secara kreatif dan multidimensional. Melalui buku, anak-anak muda negeri ini akan terus mendapatkan gizi dan nutrisi batin yang cukup sehingga terhindar dari degradasi keilmuan dan keluhuran budi.

Kekhawatiran bahwa buku akan mengganggu ketertiban umum sejatinya merupakan perwujudan sikap paranoid dan sebuah paradigma kaum otoriter yang menginginkan anak-anak bangsa negeri ini menjadi generasi “anak mami” yang mesti selalu tunduk dan penurut kepada penguasa.


Seiring dengan perkembangan dan dinamika peradaban, anak-anak bangsa negeri ini juga makin cerdas dan kritis sehingga bisa memilih dan memilah, mana buku yang tergolong sampah dan mana buku yang tergolong mencerahkan. Ini artinya, tanpa dilarang pun, peredaran buku akan tunduk pada siklus dan seleksi alam yang akan terus menguji kehadiran sebuah buku. Buku-buku yang diduga menyebarkan fitnah, cari sensasi, atau menyebarkan sikap kebencian dan permusuhan, pelan tapi pasti, akan tergusur oleh kecerdasan generasi pada setiap zamannya. Dalam konteks demikian, pelarangan buku sesungguhnya tidak diperlukan lagi karena nyata-nyata merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan jelas-jelas merupakan sebuah tragedi pencerdasan kehidupan bangsa di era global dan mondial ini. ***

0 komentar:

Posting Komentar