AIR MATA SAHABAT

Oleh Sardono Syarief

air mata sahabatM. Jan bingung. Dua hari lagi hasil ujian akan diumumkan. Hatinya gundah. Bertanya-tanya sendiri antara lulus atau tidak? Jika saja lulus, mau apa dia? Sedang harapan untuk bisa melanjutkan, amat tidak mungkin. Ini semua oleh keadaan dirinya. Karena ternyata ibu dan bapaknya lima tahun silam telah tiada. Mereka telah dipanggil Tuhan bersama sunami yang menimpa daerahnya.

“Akh….! Beginikah nasib hidup tanpa ada kedua orang tua?”keluh hati kecil M. Jan merenungi derita hidupnya. “Mungkin! Mungkin seperti ini,”sambungnya. “Tapi….,”masih dalam hati kecil M. Jan. “Siapa pula teman yang hidup menderita sepertiku di dunia ini? Apakah hanya aku seorang diri? Akh……..!”desah M. Jan seraya menggeser letak duduknya di sejengkal batu kali yang teronggok di bawah pohon mangga dekat lapangan sepak bola.

“Orang tua telah tiada. Kakak-adik tak punya. Anak tunggalkah aku? Anak malangkah aku? Akh………!”ketika merenungi nasibnya seperti itu, mengalirlah titik-titik air mata M. Jan lewat kedua belah pipi kusutnya dengan deras.

“Sekolah? Memang seperti teman-teman, aku sekolah. Pandai? Aku pun cukup pandai untuk ukuran di kelas enamku. Namun, bahagiakah hidupku? Akh….!”lagi-lagi nafas M. Jan mendesah panjang.

“Seandainya besok aku lulus,”kata hati M. Jan ragu-ragu. “Sudikah Pak Edi melanjutkan sekolahku? Sementara tanggungan sekolah anaknya masih ada tiga. Satu di SMA, satu di SMP, dan satunya lagi masih di kelas 4 SD? “

“Adapun aku………? Ya. Siapakah aku? Oleh Pak Edi dan keluarga, aku cuma diakuinya sebagai anak asuh. Ya, hanya sebatas anak asuh sajalah kedudukanku. Anak yang sehari-hari bila sepulang sekolah tak luput dari kegiatan begini. Siang merumputkan kambing, sekaligus menggembalakannya di tengah lapang. Sore menyapu halaman dan mengisi bak mandi. Itu saja belum cukup! Masih ada kerja lainnya lagi. Misal; menyemir sepatu dan mengelap sepeda motor Pak Edi setiap pagi tiba. Ah….! Sebuah pengabdiankah ini namanya…?”

Hati M. Jan terus berkecamuk. Kedua matanya terlihat kuyu. Tenaganya terasa lunglai. Semangat hidupnya jadi lemah. Untuk menahan kekuatan tubuhnya, M. Jan menyandarkan badannya pada sebatang pohon mangga yang berdaun rindang. Satu-satunya pohon besar yang tumbuh tegar di gundukan tanah tepi lapang. Lurus-lurus kedua kakinya diselonjorkan ke depan. M. Jan menikmati sepoi angin bertiup di tengah suasana panas kemarau. Irama desah dedaunan mangga tempatnya berteduh, sempat sedikit menghibur kegundahan hatinya.

“Embeeek….! Embeeeekkkk…! Embeeeeeeeeekkkkk…..!” salah seekor dari kelima kambing yang digembalanya mengembik-embik.
“Ah! Kenapa itu kambingku?” perhatian M. Jan seketika beralih dari lamunannya yang tak jelas arah.

“Di manakah kambing-kambingku berada?” pandangan anak itu mencari-cari di mana keberadaan sekelompok kambingnya.

“Ah, rupanya jauh sudah kambing-kambingku berada,”kata hati anak itu. Tahu hal tersebut, M. Jan segera bangkit. Kemudian cepat-cepat dia mengejar kambing-kambing itu untuk dibawanya kembali ke tengah lapang.

“Hai..! Kalian semua tak lapar, bukan? Mengapa harus mengembik-embik? Ha…..? Mengapa, kambing-kambingku yang manis?”tanya M. Jan kepada kelima ekor kambingnya seperti layaknya bertanya kepada Tarso, teman bermainnya saja. Lucu anak itu memang. Sudah tahu kalau dirinya tak bakal mendapatkan jawaban dari kelima kambingnya, namun pertanyaan semacam itu biasa nerocos setiap hari dari mulutnya yang bergigi ompong satu di bagian depan.

Setelah dituntunnya kembali kelima kambingnya ke tengah lapang, M. Jan segera meninggalkan mereka di sana. Selagi anak itu menuju ke tempat duduknya yang semula, tiba-tiba datang dari arah timur Sutarso, teman sepenggembalaan sekaligus kawan sekelas yang cukup akrab.

“Hallo, Jan! Apa kabar, Kau?”seru Tarso sembari menggiring keenam ekor kambingnya mendekat M. Jan.

Belum sempat M. Jan menjawab, Sutar bertanya lagi,“Sudah lamakah kau berada di sini?”

“Sudah. Sudah sekitar dua jam yang lalu aku tiba di sini, Tar,”sahut M. Jan agak panjang. “Kabarku baik-baik saja. Bagaimana pula dengan kabarmu?”balik M. Jan seraya lurus-lurus matanya memandangi temannya yang bertubuh langsing itu.

“Alhamdulillah. Kabarku baik-baik juga, Jan,”jawab Sutarso seraya tersenyum.

Setelah dibiarkan keenam kambingnya mencari rumput di tengah lapang, Sutarso segera menggandeng lengan M. Jan.

“Ayo, kita berteduh di sana!”M. Jan diajaknya duduk-duduk di atas gundukan batu di bawah pohon mangga rindang tempat keduanya biasa berteduh.

“Maaf, Jan!”Tarso mulai membuka perbincangan.

“Ya?”pandangan M. Jan lurus-lurus ke arah Sutarso.

“Kalau besok sekolahmu lulus, ke mana kau akan meneruskan, Jan?”Tarso meneruskan pertanyaan.

“Ah….!”M. Jan menarik nafas panjang. Dipalingkan mukanya ke arah kelima kambingnya berada. Kembali pikiran anak itu gundah. Tak tahu ia harus menjawab apa pada Sutarso, teman akrabnya.

“Kenapa kau tampak gelisah begitu, Jan?” desak Sutar ingin tahu.
M. Jan bingung. Ia tak segera dapat menjawab pertanyaan temannya yang satu ini. Ditatapnya mata Sutarso dengan tajam. Terbaca dari sinar matanya, kalau anak itu sangat mengharap pengertian Sutarso.

M. Jan sesaat terlihat menelan ludah lewat lehernya yang tampak kurus. Lalu dengan wajah menunduk, anak lelaki itu berkata,”Aku tidak tahu apa-apa, Tarso,” M. Jan tampak sedih. “Kurasa pada setiap anak yang normal, pasti ada keinginan untuk meneruskan sekolah. Punya satu cita-cita untuk masa depan seperti aku juga. Namun…..”

“Namun, apa, Jan?”sahut Tarso ingin segera mengerti.

“Seperti yang kau tahu, siapa sebenarnya aku ini?”jawab M. Jan dengan nada tak semangat. “Tak lebih, aku hanyalah anak asuh Pak Edi. Segalanya serba tergantung pada keputusan keluarganya. Mau sekolahku diteruskan atau tidak, itu tergantung dari pertimbangan keluarga Pak Edi, bukan?”

Sekejap M. Jan diam. Sutarso pun menunduk seakan ikut hanyut dalam kesedihan temannya. Keduanya saling membisu.
Sejauh itu, di atas tengah lapang tampak beterbangan ratusan capung kian kemari dengan gembira. Terbangnya seperti mengajak bercanda dengan banyak kambing milik M. Jan maupun Sutar yang tengah larut pada kering rumput.

“Sutar!”ucap M. Jan kemudian dengan suara lirih.

“Iya?”Sutarso mengangkat muka.

“Yang jelas, andaikata orangtuaku masih hidup seperti orangtuamu,”sambung M. Jan memecah keheningan. “Tentu aku punya cita-cita tinggi dan pantang menyerah untuk terus sekolah.”

“Apa yang sebenarnya engkau cita-citakan, Sobatku?”tanya Sutarso dengan perasaan iba.

“Sesungguhnya aku ingin menjadi seorang guru, Teman.”

“Guru?!”sahut Sutarso dengan suara agak serak.

“Ya. Kenapa?”sahut M. Jan dengan tatapan kosong.

“Itu cita-cita yang amat mulia, Temanku! Cita-cita yang sangat luhur. Aku sendiri kelak setelah tamat SMA, ingin kuliah di perguruan tinggi jurusan keguruan, Sobat.”

“Agar jadi Pak Guru, begitu?”

Sutarso mengangguk. Tersipu agaknya. Karena cita-cita tersebut harus ditempuhnya masih cukup lama. Bukankah untuk kuliah di perguruan tinggi terlebih dulu harus tamat SD, SMP, kemudian SMA?

“Meski masih diperlukan waktu yang cukup panjang, aku ikut berdoa untukmu, Tarso,”ujar M. Jan dengan hati tulus. “Mudah-mudahan cita-citamu untuk menjadi guru akan dapat tercapai dengan cepat, Sobatku,” lanjut M. Jan. “Inilah doaku, teman sepenggembalaan yang hidupnya tak jelas arah. Tak jelas pegangan. Tak jelas cita-cita……!”sambil berkata demikian, tak terasa air mata M. Jan mulai menetes satu demi satu di atas gundukan batu. Basah kedua pipi lusuhnya.

Melihat itu, Sutarso ikut merasa iba. Sekali-sekali air mata M. Jan diseka oleh anak itu dengan ujung kaos oblongnya pelan-pelan. Lama akhirnya mereka berangkulan.***

-------------------------------------
Sardono Syarief

Penulis cerita anak, tinggal di Pekalongan.
d/a Jl. Raya Domiyang No.116, Paninggaran, Pekalongan, Jateng 51164

0 komentar:

Posting Komentar