Kesetaraan Gender Disimposiumkan

simposiumMasalah peningkatan mutu pendidikan dalam perspektif gender dibahas dalam simposium yang digelar di Gedung A Lantai 3 Kemdiknas, Selasa (06/07). Simposium ini diselenggarakan Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) bekerjasama dengan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Simposium ini melakukan telaah Kritis tentang Renstra Pendidikan Ditinjau dari Perspektif Gender dalam Peningkatan Mutu Pendidikan.

Simposium menghadirkan para pembicara, antara lain, Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas), Heri Ahmadi, Wakil Ketua Komisi X DPR RI dan Nina Sardjunani, Deputi Menteri PPN/Kepala BAPPENAS Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan. Acara yang dibuka Mansyur Ramly, Kabalitbang, Kemdiknas juga dihadiri Dewi Motik Pramono, Ketua Umum Kowani dan Sita Aripurnami, Women Research Institute.

Dewi Motik Pramono menyampaikan, pendidikan adalah sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan berkontribusi dalam mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu. SDM bermutu itu dilihat dengan indikator berkualifikasi ahli, terampil, kreatif, inovatif, serta memiliki attitude (sikap dan perilaku) yang positif. "Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan yang disediakan bagi warganya," kata Dewi.

Kata Dewi, dengan semakin meningkatnya komitmen pemerintah mendukung pelayanan pendidikan yang dimulai dari anak sejak lahir sampai usia remaja, maka program pendidikan perlu terus disempurnakan. Hal itu dilakukan, antara lain, melalui kurikulum pendidikan yang berlandaskan pekerti serta berwawasan kesetaraan gender. "Hal ini diperlukan untuk menyelamatkan moralitas anak-anak kita," lanjut Dewi.

Dalam simposium itu, Wamendiknas Fasli Jalal mengungkapkan, dalam proses belajar mengajar, guru juga mengalami masalah kesetaraan gender. Sebagai contoh, untuk guru Taman Kanak-Kanak dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), jumlah guru perempuan lebih banyak dibadingkan dengan guru laki-laki. "Tidak sampai 3 % dari total guru TK itu yang laki-laki. Oleh karena itu kowani juga bisa membantu bagaimana cara kita menyeimbangkan ini," kata Fasli Jalal.

"Di SD, presentase guru laki-laki sudah mulai cukup banyak, tetapi masih didominasi oleh perempuan. Sedang proporsi guru di SMP berdasarkan gender itu sudah lebih baik," tambahnya.

Proporsi yang seimbang justru terjadi di level di SMA/SMK. Di level ini, jumlah guru perempuan dan laki-laki sudah mengalami keseimbangan: 50:50. "Memang dulu dikatakan SMK itu di dominasi oleh laki-laki baik muridnya maupun gurunya, tetapi sekarang dengan berbagai program yang kita mulai sejak 10 tahun yang lalu, sudah bisa dicapai keseimbangan dalam jumlah proporsi antara guru perempuan dan laki-laki," kata Fasli.

Nina Sardjunani menyampaikan kemajuan kesetaraan gender dapat diukur dari sudut pandang pendidikan antara lain melihat kesetaraan gender dari akses-akses yaitu kesetaraan terhadap pendidikan, kemudian pada proses pendidikan yaitu kesetaraan gender dalam penyelenggaraan pendidikan /dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar. "Lalu outcome/hasil yaitu kesetaraan gender melalui pendidikan atau hasil yang dicapai dari pendidikan," katanya.

Di samping itu, Nina juga mengatakan dalam kesetaraan gender tidak berarti yang dibela habis-habisan hanya perempuan saja, tetapi yang juga harus dibela adalah yang terdiskriminasi. "Jadi di dalam pendidikan kita perlu mendudukkan kesetaraan gender baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan secara proporsional," jelasnya. ***

Sumber: www.kemdiknas.go.id

0 komentar:

Posting Komentar