CERMIN DI TENGAH BATANG (BAGIAN II)

2. DALAM BUKU HARIAN

Sore harinya.

Dengan ditemani Melati,Gadis, Teten, Dhestya, Jaka, Ardhana, dan Bahtiar, aku pergi ke rumah Bu Nuning.

diaryRumah Bu Guru Nuning terletak di tepi jalan raya Paninggaran. Tak jauh dari SMP tempat kami sekolah. Itu sebabnya, untuk bisa sampai di rumah Beliau, kami dapat naik bus umum. Tidak harus naik ojek atau angkutan pedesaan.

“Assalamualaikum....! Selamat sore, Bu Guru!” salam Bahtiar begitu kami tiba di rumah Bu Guru.

“Waalaikum salaam....!”serta-merta Bu Nuning segera menoleh ke arah kami. “Oh...! Bahtiar dan kawan-kawan!”tambahnya kaget.

“Mari, masuk, Tiar! Ayo, yang lain!”agak gugup Ibu Guru muda tadi menyilakan.

“Terima kasih,Bu,”sahut Bahtiar seraya tersenyum. Kami menurut. Dengan langkah hati-hati kami memasuki ruang tamu Bu Guru.

“Ayo, silakan duduk, Anak-anak!”

“Iya, Bu,”sahutku sopan sembari tersenyum.

Setelah tak lama kami mengambil duduk, Bu Nuning berkata,”Maaf. Ibu mau cuci tangan dulu ya, Anak-anak?”

“Ya, Bu. Silakan, Bu,”sahut kami hampir bersamaan.

Sore itu, saat kami tiba di rumah Bu Guru. Beliau tampak sedang sibuk menyiram bunga di teras depan. Rupanya Bu Guru yang cantik itu banyak menanam aneka warna bunga hias di dalam pot. Karena sangat sibuknya, sampai-sampai Bu Nuning tak sempat melihat kedatangan kami. Karena itu wajar, apabila Beliau cukup kaget lagi gugup menyambut kami datang.

“Apakah kamu jadi mau menulis biografi seseorang, Virdha?”tanya Bu Nuning begitu tiba di tengah-tengah kami kembali.

“Iya. Jadi, Bu,” sahutku seraya tersenyum. ”Bahkan bukan cuma saya saja, Bu. Melainkan teman-teman saya ini juga akan ikut mencobanya,” sambungku sambil menunjuk ke arah Melati, dan kawan-kawan.

“Bagus!”sahut Bu Nuning mantap. “Memang anak-anak seperti kalianlah yang Ibu harapkan. Anak-anak yang penuh kreatif, semangat, dan punya kemauan keras untuk selangkah lebih maju dari anak-anak yang lain.”

Mendengar komentar serta pujian Bu Nuning tadi, menjadikan hati kami bertambah besar. Menjadikan hati kami makin percaya diri untuk bisa berkarya dengan baik.

“Jadi, kalian butuh alamat seseorang yang hendak ditulis riwayat hidupnya, Anak-anak?”

“Benar,Bu!”sahutku mantap sambil mengangguk-angguk. “Itu sebabnya, sore ini kamidatang ke mari, Bu.”

“Kalau begitu, baiklah. Tunggu sebentar! Akan Ibu ambilkan Buku Harian Ibu.”

“Iya, Bu.....!”sahut kami serempak

Bu Nuning bangkit dari tempat duduknya. Lalu masuk ke ruang tengah.Selang sesaat keluar lagilah Beliau dengan di tangannya membawa sebuah buku kwarto menemui kami.

“Ini, alamat dan nama tokoh masyarakat yang bisa kalian angkat riwayat hidupnya ke dalam bentuk tulisan, Anak-anak,”Bu Nuning mengulurkan sebuah buku kepadaku.

“Coba, lihat, Bu!”pintaku sopan.

Melihat itu, Gadis, Melati, Teten,Dhestya, segera merubungku. Mereka mengerumuniku untuk ikut membaca isi buku harian Bu Nuning yang ada di tanganku.

“Coba, kaubacakan saja isinya keras-keras, Virdha!”pinta Bahtiar penuh harap dari tempat duduknya.

“Oke! Dengarkan baik-baik, Sobat!”ujarku menuruti permintaan Bahtiar.

Di dalam buku harian tersebut, ternyata Bu Guru banyak mencatat nama dan alamat orang-orang terkenal. Baik terkenal di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Bahkan ada pula yang terkenal di tingkat dunia.

“Cepat kaubacakan,Virdha!”pinta Bahtiar tak sabar.

“Baik,”sahutku. “Pertama,”sambungku mulai memenuhi permintaan Bahtiar. “ Eriyah. Dengan prestasinya sebagai penyelamat lingkungan hidup dari bahaya tanah longsor dan hutan gundul di desa yang dipimpinnya, tahun 1984 oleh pemerintah pusat Ibu Eriyah dijuluki sebagai Pahlawan Penyelamat Lingkungan Hidup.

Pada tahun yang sama, 1984, Bu Eriyah juga mendapat gelar sebagai Wanita Pertama Penerima Kalpataru dari Pemerintah Republik Indonesia berkat prestasinya di bidang program penghijauan desa. Bahkan pada tahun 1987, Bu Eriyah juga dikenal oleh banyak orang di seluruh dunia.”

“Atas prestasinya di bidang apa, Virdha?” potong Teten penuh rasa ingin tahu.

“Menurut buku harian Bu Nuning ini,”ujarku. “Pada tahun tersebut Bu Eriyah mengukir prestasinya di bidang pemberantasan buta huruf tingkat internasional. Dari prestasinya itu Bu Eriyah mendapat gelar sebagai Turor Teladan Tingkat Dunia.”

“Siapa yang memberi gelar tersebut, Virdha?”Jaka ikut bertanya.

“UNESCO,” jawabku. “Yaitu suatu lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi tentang ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan tingkat dunia. Atas prestasinya itu pula, Bu Eriyah mendapatkan piagam penghargaan The Nadezdha K.Krupskaya Prize dari UNESCO di Paris, Perancis.”

“Cek,cek,cek....!”sembari menggeleng-gelengkan kepala, Bahtiar berdecak kagum.

“Sungguh hebat sekali prestasi Bu Eriyah ini, ya, Kawan-kawan?”

“Iya. Hebat sekali, ya!”sahut Ardhana maupun Jaka sependapat dengan Bahtiar.

“Memangnya, di mana alamat tempat tinggal Bu Eriyah, Virdha?”sela Dhestya ingin tahu lebih jauh.

“Alamat Bu Eriyah,”sahutku. “Di Desa Kaliboja, Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah.”

“Lho! Kalau begitu, tidak jauh dari desa kita ‘kan?”seru Gadis. “Dengan demikian berarti kita punya seorang tokoh terkenal di tingkat dunia?”ujarnya kagum.

Teman-teman yang diajak bicara serempak mengangguk-angguk, mengiyakan.

“Lantas, urutan yang kedua, siapa, Virdha?”tanya Gadis kemudian..

“Urutan yang kedua, Ari Yustisia Akbar,”jawabku. “Mantan siswa SMA Negeri 1 Kajen yang sekarang sedang menempuh kuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini, terkenal di tingkat dunia berkat prestasinya di bidang Kimia. Ari berhasil menyabet juara dalam kompetisi Olimpiade Kimia Tingkat Dunia di Athena, Yunani, tahun 2003. Ari mendapat piagam dan medali perak sebagai penghargaan atas prestasinya dari President Scientific Committee 35 th IChO, Prof. Aristides Mavridis dan President 35 th IChO, Dr. Andreas Tsatsas.”

“Lantas, di mana alamat tempat tinggal Ari Yustisia Akbar, Virdha?”rupanya Melati juga ingin tahu.

“Ari Yustisia Akbar bertempat tinggal di belakang Kantor Camat Kajen. Tepatnya di Jl. Bima I, rumah urut nomor 2, menghadap timur.”

“Kajen itu di mana letaknya, Virdha?”

“Kajen terletak kurang lebih 25 km di sebelah utara Paninggaran,”sahut Bu Nuning menjelaskan. “Kajen merupakan nama ibukota dan pusat pemerintahan Kabupaten kita, Pekalongan.”

“Ooo....!”gumam kami sembari mengangguk-angguk. Dari penjelasan Bu Guru tadi, membuat kami jadi mengerti tentang kota Kajen.

“Terus, siapa lagi tokoh terkenal yang terdapat di dalam buku harian Bu Guru Nuning itu,Virdha?”tanya Bahtiar sesaat dari itu.

“Drs. Sugito Hadisastro,”jawabku setelah sepintas membaca tulisan Bu Guru.

“Memangnya siapa Pak Sugito itu, Virdha?”Teten ikut menyela.

“Menurut catatan di buku ini,”kataku menjawab. “Pak Sugito adalah salah seorang guru SMK yang memiliki segudang prestasi.”

“Apa saja prestasi Pak Gito, Virdha?”sela Dhestya.

“Masih menurut buku harian ini,”ujarku. “Selain sebagai guru teladan yang pernah mengukir prestasinya di Australia, ternyata Pak Sugito juga merupakan sosok pengarang tingkat nasional. Banyak buku karyanya yang beredar di sekolah-sekolah maupun toko-toko buku.Beliau juga mahir dalam berbahasa Inggris baik lisan maupun tulisan. ”

“Di dalam buku harian itu, tertulis apa saja bukti prestasi Pak Sugito, Virdha?”

“Di buku ini tak Ibu tulis macam-macam prestasi Pak Gito,”potong Bu Nuning cepat. “Oleh sebab itu,”sambung Bu Guru yang cantik itu. “Apabila kalian ingin tahu lebih banyak tentang prestasi Pak Gito,”tambahnya. “Silakan kalian datang ke rumahnya! Wawancarai Beliau sebanyak-banyaknya!”

“Memangnya di mana Pak Sugito tinggal, Bu?”tanya Melati.

“Pak Sugito tinggal di Jl. Bima No.2, Desa Sambong Timur, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah.”

“Kalau begitu, kita harus segera ke sana, Virdha!”ujar Melati seperti mengajukan usul.

“Tidak harus!”sahut Jaka tak setuju.

“Kenapa?”tangkis Melati.

“Mengapa kita harus pilih tokoh yang tinggal jauh di luar kota? Bila sementara yang tinggal di kota sendiri saja ada?,”sahut Jaka.

“Bu Eriyah,maksudmu?”tanya Melati.

“Ya,iyalah....!”sahut Jaka. “Bu Eriyah ‘kan tinggal di dalam wilayah kecamatan kita sendiri? Mengapa kita harus pergi ke rumah Pak Gito yang jauh di Batang?”
“Tapi menurut sepengetahuan Ibu,”dengan lembut Bu Nuning menengahi keduanya. “Buku yang memuat tentang biografi Bu Eriyah sudah ada, Jaka. Apakah kau belum pernah membacanya di perpustakaan?”

Jaka menggelengkan kepala.

“Coba, kaucari di perpustakaan sekolah! Pasti di situ ada,”kata Bu Guru Nuning menyarankan.

“Baik, Bu. Maaf saya tidak tahu,”ucap Jaka polos.

“Tidak apa-apa,”jawab Bu Nuning sembari tersenyum.

“Bagaimana dengan Ari Yustisia Akbar, Bu? Apakah sudah ada bukunya juga?”tanya Ardhana.

“Buku yang memuat tentang biografi Ari, juga sudah ada di perpustakaan-perpustakaan sekolah, Ardhana,”jawab Bu Guru.

“Silakan kaucari di sana!”

“Oh! Apakah benar, Bu?”ucap Ardhana meminta keyakinan.
Bu Nuning mengangguk mantap.

“Oleh sebab itu,”kata Bu Nuning kemudian. “Kalian perlu datang ke rumah Pak Gito. Jadikan Beliau sebagai nara sumber untuk tulisan kalian nanti!”

“Apakah buku tentang biografi Pak Sugito belum pernah ada, Bu?”timpal Bahtiar ingin tahu.

“Menurut pengamatan Ibu,”sahut Bu Guru Nuning. “ Buku biografi Pak Sugito, belum pernah ada, Tiar.”

“Kalau begitu, bisalah kita ke Batang untuk menemui Pak Sugito,”ujar Bahtiar menyetujui pendapat Melati. “Bagaimana menurut pendapat teman yang lain?”

“Iya, kami setuju.....!”sahut Gadis, Teten, Dhestya, Ardhana, dan aku sendiri,Virdha, hampir bersamaan.

“Kapan kiranya kami ke sana, Tiar?”tanyaku.

“Kapan, Bu?”Bahtiar melemparkan pertanyaanku ke Bu Guru Nuning.

“Makin cepat, makin baik,”sahut Bu Guru.

“Bagaimana kalau hari Minggu besok, Bu?”usul Gadis.

“Terserah kalian sajalah,”jawab Bu Guru.

“Menurut pendapatmu, bagaimana, Virdha?”masih tanya Gadis.

“Menurutku,”aku menyahut. “Karena hari Minggu sekolah kita libur. Sekolah Pak Gito juga libur. Maka, aku setuju sekali pada usulan Gadis.”

"Ya, aku pun setuju!”sela Ardhana.

“Aku setuju juga!”tambah Teten.

au begitu,”kataku. “Berarti hari Minggu besok kita sepakat jadi pergi ke Batang, ke rumah Pak Gito. Begitu?”

“Iya....!”sahut teman-teman serempak.

“Maaf, aku usul!”ujar Dhestya menyela.

“Usul apa?”aku menanggapi.

"Siapa yang hendak mendampingi kami ke sana?”

“Tak usah khawatir!”tangkisku. “Kami ‘kan punya Bu Guru Nuning.”

“Maksudmu?”kening Dhestya sedikit berkerut.

“Kami semua ‘kan punya Ibu Guru yang bijaksana?”ujarku seraya melirik Bu Nuning. “Ibu Guru yang penuh perhatian?”sambungku.

“Masa iya, seorang Ibu yang baik hati tak mau mengantarkan usaha keras anak-anaknya ke Batang? Iya ‘kan, Bu?”

Sambil tersenyum manis, Bu Guru muda yang berparas cantik itu, mengangguk.

“Mengapa harus Ibu yang mengantar?”tanyanya lembut.

“Ya, iyalah....! Ibu ‘kan Guru kami yang baik hati?”ujar Melati. “Setuju tidak, Teman-teman?”

“Setuju....! Setuju sekali......!”sahut kami saling bersahutan.

“Baiklah,”ucap Bu Nuning menyanggupi. “Asalkan kalian mau menyiapkan segala sesuatunya.”

“Apa saja yang mesti kami siapkan, Bu?”tanya Teten.

“Daftar pertanyaan sebagai bahan wawancara dengan Pak Sugito.”

“Berapa banyak, Bu?”masih Teten yang bertanya.

“Sebanyak-banyaknya.”

“Baik, Bu. Kami akan menyusunnya dengan segera,”sahutku mewakili Teten dan teman-teman.

“Terus apalagi,Bu?”tanya Teten lagi.

“ Tape recorder.”

“Untuk apa tape recorder,Bu?”sela Dhestya.

“Untuk merekam nara sumber selama wawancara berlangsung.”

“Oh...?”dari jawaban Bu Guru tadi, Dhestya jadi mengerti.

“Lantas, apa lagi yang perlu kami siapkan, Bu?”Gadis ikut nimbrung.

“Kodak.”

“Untuk apa Kodak, Bu?”masih tanya Gadis.

“Untuk memotret gambar nara sumber yang kalian wawancarai.”

“Pak Sugito, maksud Ibu?”aku menyela.

“Benar,”jawab Ibu Guru muda yang lincah lagi cantik itu seraya tersenyum.

“Terus, apalagi, Bu?”Ardhana ikut bertanya.

“Bolpoint sebagai alat tulis.”

“Maaf, Bu!”potong Bahtiar.

“Ya?”sahut Bu Nuning seraya menoleh ke arah Bahtiar.

“Tempat tinggal Pak Sugito di Batang bukan, Bu?” Bu Nuning mengangguk.

“Kiranya di mana letak kota Batang itu, Bu?”

“Oh, itu...?” Bahtiar mengangguk.

“Kota Batang terletak lebih kurang 90 km sebelah barat Semarang,”kata Bu Guru Nuning menjelaskan. “Atau sekitar 10 km sebelah timur kota Pekalongan,”sambungnya.

“Kalau ditempuh dari Paninggaran sini,”sahut Bahtiar. “Ke arah mana kami harus menuju, Bu?”

“Kalian bisa naik bus umum ke arah utara,”jawab Bu Guru. ”Sekitar sejauh 24 km, kalian akan tiba di kota Kajen, ibukota Kabupaten Pekalongan.”

“Setelah sampai di Kajen, ke mana lagi kami menuju, Bu?”sela Jaka.

“Dari Kajen, ada dua jalur yang bisa menghubungkan kota Batang,”sahut Bu Nuning. “Pertama,”katanya lebih lanjut. “Lewat jalur timur. Yaitu, dari Kajen, Karanganyar, Kedungwuni, Pekajangan, Buwaran,Ponolawen, Terminal Bus Induk Kota Pekalongan.”

“Jalur yang kedua, Bu?”potong Melati, ingin segera tahu.

“Jalur kedua,”jawab Bu Guru. “Lewat jalur utara,”sambungnya. “Yaitu, dari Kajen, Bojong, Wiradesa, Tirto, Pekalongan kota, Ponolawen, Terminal Bus Induk Kota Pekalongan.”
--------------------------
“Setelah tiba di Terminal Bus Induk Kota Pekalongan, ke mana lagi arah kita, Bu?”masih tanya Melati.

“Ke arah timur, sejauh kurang lebih 10 km, kalian akan tiba di kota Batang.”

“Kami mesti naik apa, Bu?”tambah Teten.

“Bisa naik bus, bisa pula angkutan kota jurusan Batang.”

“Lantas, kami harus turun di mana, Bu?”aku, Virdha, ikut bertanya.

“Bisa turun di Alun-alun kota Batang. Bisa pula di Pasar Batang.”

“Selanjutnya, Bu?”masih aku yang bertanya.

“Selanjutnya, kalian bisa naik becak ke arah timur, ke Desa Sambong Timur. Sebelum tiba di Pabrik Textil Primatexco, di sebelah kanan jalan, ada jalan menuju lapangan. Beloklah kalian ke jalan itu! Melalui jalan lapangan sejauh 500 meter, nanti akan kalian temukan Jl. Bima, rumah nomor 2. Berarti, sampailah kalian di rumah Pak Sugito.”

“Nah, kalau begitu,”potongku. “Jam berapa besok kita mesti berangkat ke Batang, Bu?”

“Jam 07.00 kalian harus sudah tiba di rumah Bu Guru. Siap?”

“Siap, Bu......! Kami akan siap jam 07.00 tepat!”sahut kami serempak mengakhiri perbincangan dengan Bu Guru Nuning.

Sementara itu, di langit barat, matahari sore hampir tersangkut pucuk hutan pinus. Hari di ambang petang. Maka dengan segera kami mohon diri untuk meninggalkan rumah Bu Guru. ***

0 komentar:

Posting Komentar