Cermin di Tengah Batang (Bagian IV)

4. SOSOK TOKOH IDOLA

cerminJam 10.30 kami tiba di rumah Pak Sugito. Rumah nomor 2 di Jalan Bima, Desa Sambong Timur, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah itu dapat kami temukan dengan mudah.

Betapa tidak? Jika sebagai patokan, rumah berdinding tembok putih itu, menghadap utara. Halamannya banyak dihiasi berbagai macam bunga. Di sisi kiri halaman, terdapat sebatang pohon mangga harum manis. Sedangkan di seberang jalan depan rumah, berdiri tegak tower telekomunikasi milik perusahaan swasta.

Itulah sebabnya, siapa pun orangnya akan dapat dengan mudah bila harus mencari alamat rumah Bapak Sugito Hadisastro.

“Assalamualaikum.....!”demikian salam Bu Nuning ketika kami tiba di depan pintu rumah Pak Gito.

“Waalaikum salaam....!”sahut seorang ibu dari dalam.

Sesaat kemudian, terdengar langkah orang mendekat pintu.

“Oh, ada tamu?”sambut Ibu Muda itu manakala usai membukakan pintu. “Mari, silakan masuk,Bu! Mari, Anak-anak!”ajaknya ramah.

“Terima kasih, Bu,”sahut Bu Nuning mewakili kami.

“Silakan duduk, Bu! Anak-anak!”Ibu Muda yang berbadan sedikit gempal tadi menyilakan.

“Terima kasih, Bu,”jawab Bu Nuning lagi seraya tersenyum.

Sesaat dari itu, Bu Nuning mengambil duduk berdampingan denganku. Sementara di hadapan dan kanan-kiri kami, duduk pula Gadis,Melati, Teten, Dhestya, Jaka, Bahtiar, dan Ardhana.

“Maaf, Bu,”ujar Bu Nuning tak lama dari itu.

“Iya, Bu?”

“Apakah Pak Gito ada di rumah, Bu?”tanya Bu Nuning kemudian.

“Ada, Bu. Namun maaf. Kalau boleh tahu, Ibu dan Anak-anak ini siapa dan dari mana?”tanya Ibu yang ditanya.

“Oh, ya! Maaf, Bu. Kami lupa mengenalkan diri,”ujar Bu Nuning tersipu. “Saya, adalah Guru dari Anak-anak ini,Bu,”sambung Bu Nuning. “Maksud kedatangan kami ke sini,”lanjut Bu Guru. “Ingin bertemu dengan Pak Sugito, Bu.”

“Oh, ya,Bu?”ucap Ibu Muda tadi. “Karena sekarang saya telah tahu akan maksud kedatangan Ibu dan Anak-anak ke mari,”katanya lembut. “Maka, sebentar saya panggilkan dulu Pak Gito, suami saya, di dalam ya?”

Sambil menganggukkan kepala, Bu Nuning menjawab,”Iya, Bu.”

Lalu, Ibu Muda, yang ternyata istri dari Pak Gito tadi melangkah ke dalam. Selang tak lama, Ibu Muda tadi pun keluar bersama seorang lelaki perlente. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan Pak Sugito Hadisastro, suami tercintanya?

Benar. Lelaki ganteng dan berkumis tipis yang selalu berpenampilan rapi itu, bernama Sugito Hadisastro. Banyak orang memanggilnya, Pak Gito.

Kini seraya tersenyum ramah, Pak Gito menyalami kami satu per satu.

“Maaf,Pak Gito!”ucap Bu Nuning sesaat setelah Pak Gito mengambil duduk di tengah-tengah kami.

“Iya, Bu?”sahut Pak Gito sambil mengedarkan pandangannya ke arah kami.

“Kami datang hendak mengganggu Bapak,”lanjut Bu Nuning.

Pak Gito tersenyum.

“Memangnya ada hal yang bisa saya bantu,Bu?”

“Ada, Pak. Bahkan lebih dari bisa.”

“Maksud, Ibu?”

“Begini, Pak Gito,”Bu Nuning mulai mengutarakan maksud kedatangan kami. “Kami serombongan dari SMP Negeri 1 Paninggaran, Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Sengaja datang ke mari, pertama ingin bersilaturahmi dengan keluarga Pak Gito. Sedangkan maksud kami yang kedua adalah ingin minta bantuan kepada Bapak.”

“Katakan! Kiranya apa yang bisa saya bantu, Bu?”

Bu Nuning tersenyum lega. ”Begini, Pak,”kata Bu Guru kami yang cantik lagi lincah itu kembali. “Sehubungan dengan diselenggarakannya sayembara mengarang bagi anak-anak SD, SMP, maupun SMA oleh Dinas Pendidikan bekerja sama dengan Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Pekalongan,”Bu Nuning diam sejenak. Entah apa yang terjatuh di lantai, yang jelas Bu Nuning tampak sedang memungut sesuatu dari posisi duduknya. Kini setelah posisi duduknya kembali seperti semula, berkata lagilah ia,”Kami memandang Pak Gito sangat tepat kalau kami jadikan tokoh idola dalam tulisan biografi yang akan kami susun nanti, Pak. Oleh sebab itu, hari ini kami, khususnya anak-anak, datang untuk bisa mewawancarai Pak Gito.”

“Wah,wah,wah.....!”mendengar pengantar Bu Nuning tadi,Pak Gito kaget seketika. Beliau menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. “Apakah kiranya yang pantas pada diri saya,Bu? Sehingga Ibu maupun Anak-anak ini mau menulis tentang riwayat hidup saya? Bukankah saya ini cuma seorang guru biasa? Guru yang tak memiliki prestasi apa-apa?”

“Maaf, Pak Gito!”sahut Bu Nuning penuh harap. “Lama sebelum kami datang ke mari,”sambung Bu Guru. “Kami telah tahu dari TV, koran-koran, maupun majalah pendidikan,”lanjut Bu Nuning. “Bahwa Pak Gito adalah seorang guru yang menyandang banyak prestasi. Oleh sebab itu, tak ada kata lain, kecuali biografi Bapak sangat patut untuk kami tulis.”

“Ha,ha,ha...!”Pak Gito tertawa kecil. “Kiranya prestasi apa yang saya miliki,Bu? Saya ini benar-benar cuma seorang guru yang tak punya kelebihan apa-apa,”sanggah Pak Gito merendah.

“Jangan merendah begitu, Pak!”ujar Bu Guru Nuning. “Bukankah Pak Gito pernah meraih prestasi sebagai Guru Duta Indonesia ke negeri Kanguru, Australia?”lanjut Bu Nuning. “Bukankah Pak Gito hampir tiap tahun selalu menyabet galar juara dari berbagai sayembara mengarang, baik tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional? Bukankah Pak Gito juga sering menyandang gelar sebagai Guru Teladan dan Guru Berprestasi di tingkat kabupaten maupun provinsi?”

“Ah...! Kata siapa itu,Bu?”Pak Gito tetap belum mau membeberkan sejuta kelebihannya. Apa inikah yang dinamakan orang bijak? Semakin dia pandai, semakin dia merendahkan diri? Semakin dia tak mau menunjukkan kelebihannya di hadapan orang banyak?

“Kata surat kabar, TV, maupun majalah, Pak,”jawab Bu Nuning sekali lagi menegaskan. “Untuk itu,”lanjut Bu Guru demi meyakinkan Pak Gito. “Agar masyarakat luas mengenal diri Pak Gito,”sambung Bu Nuning lagi. “Agar mereka tahu sepak terjang yang dilakukan Pak Gito dalam sehari-hari, sehingga dapat meraih sekian banyak prestasi. Maka, izinkanlah murid-murid saya ini bisa mewawancarai Bapak. Izinkanlah mereka membukukan riwayat hidup Pak Gito semenjak kanak-kanak hingga sekarang, Pak.”

“Benar, Pak!”aku yang sedari tadi diam mendengarkan perbincangan Ibu Guru dan Pak Gito, kali ini ikut menyahut. “Kami ini murid-murid Bu Nuning yang punya keinginan untuk mengikuti sayembara mengarang,Pak,”lanjutku. “Kami punya keinginan untuk bisa mengirimkan naskah biografi tentang prestasi seseorang,”sambungku lagi. “Nah, karena menurut hemat kami, Pak Gito merupakan salah seorang tokoh yang punya banyak kelebihan. Seorang tokoh yang punya segudang prestasi. Seorang tokoh idola yang patut diteladani jejaknya oleh generasi penerus. Maka, apa salahnya kalau jati diri Bapak kami tulis? Apa salahnya kalau hasil wawancara nanti, kami ikutkan sebagai naskah peserta sayembara mengarang, Pak?”

Pak Gito tidak menyahut. Rupanya ada sesuatu yang direnungkan. Namun tak lama dari itu, berkatalah Beliau kepada Ibu Rindiyani, istri tercintanya.

“Bagaimana menurut pendapatmu, Bu?”

Bu Rindiyani yang dimintai pertimbangan menjawab,”Menurut saya,”katanya lembut. “Sejauh untuk tujuan baik seperti yang diutarakan oleh Dik Virdha maupun Bu Nuning tadi,”sambung Bu Rindiyani. “Saya rasa tidak masalah, Pak. Apalagi sayembara ini bersifat melatih dan mendidik anak-anak sekolah.”

“Artinya, Ibu tidak keberatan?”sekali lagi Pak Gito meminta pertimbangan istrinya.

Bu Rindiyani terlihat mengangguk, setuju.

Melihat itu, maka berkatalah Pak Gito demikian,”Baiklah, Bu Nuning dan Anak-anak. Maksud kalian hendak mewawancarai Bapak, Pak Gito penuhi.”

“Betul, Pak?”seruku senang sekali.

Seraya tersenyum, Pak Gito mengangguk mantap.

“Terima kasih, Pak! Terima kasih sekali kami ucapkan atas kesediaan Bapak dalam menerima maksud kami,”masih kataku dengan nada gembira.

Kegembiraan itu tampaknya bukan membara di hatiku saja. Melainkan di hati teman-teman maupun Bu Guru Nuning juga.

“Teman-teman,”kataku selanjutnya.

“Iya...?”sahut teman-teman serempak.

“Mari, segera siapkan peralatan wawancara kita!”ujarku memberi komando.

“Mari, mari......!”sambut teman-teman serempak.

“Tolong, kauambil tape recordermu, Teten! Kauberikan kepada Bahtiar untuk merekam selama wawancara berlangsung!”

“Baik, Sobat!”sahut Teten seraya mengeluarkan tape recordernya dari dalam tas.

“Dhestya! Kaukeluarkan juga alat potretmu, untuk mengambil gambar Pak Gito!”

“Siap,Sobat!”Dhestya segera mengeluarkan kodaknya dari dalam tas.

“Untuk yang lain,”ujarku selanjutnya. “Siapkan buku atau lembar pertanyaan sebagai bahan wawancara dengan Pak Sugito, Teman-teman!”

“Baik, Bos!”sahut Melati, Gadis, Jaka, Ardhana, maupun Bahtiar hampir serempak.

Sejauh itu, Bu Nuning,Bu Rindiyani, dan Pak Sugito diam memperhatikan kesibukan kami. Mereka tersenyum-senyum kagum melihat ulah kami. Mereka lebih memilih bersikap diam, kecuali Pak Gito yang hendak memberikan banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kami nanti. ***

0 komentar:

Posting Komentar