EYANG PUTRI

EYANG PUTRI
Sugito Hadisastro

Tinggi semampai, kuning langsat, tidak terlalu gemuk, selalu berpenampilan rapi. Hidung mancung, rambut mulai mengapas, terkesan teguh, tabah, tahan uji. Itulah gambaran sepintas Eyang Putri, menurutku. Tapi, siapa sangka wanita enam puluh tahunan dengan empat anak dan sembilan cucu itu sebenarnya rapuh. Ya, kerapuhan yang mengisi kesehariannya semenjak meninggalnya Eyang Kakung dua tahun silam. Setidaknya itu pun menurutku.

Eyang Putri termasuk wanita beruntung sebenarnya. Semua anaknya lulus sekolah tinggi dan bekerja di tempat-tempat yang baik dan menikmati kehidupan yang makmur sejahtera. Itu yang aku lihat saat hari raya lebaran. Hari-hari Eyang Putri tampak berbahagia dalam arti sesungguhnya. Namun begitu lebaran usai, anak-anak, menantu-menantu dan cucu-cucu pun kembali ke kediaman masing-masing di tempat yang jauh. Dan usai pula kebahagiaan Eyang Putri. Keberadaan ayahku, ibuku, dan aku di rumah besar ini tidak mampu membahagiakan hatinya.

“Kancil!” Itu suara Eyang Putri bila memanggil ayahku. Meskipun nama ayahku, Slamet Berkah, namun beliau selalu memanggilnya berdasarkan penampilan ayahku yang bertubuh kecil seperti “kancil” dalam dongeng anak-anak. Ayahku pasrah saja dipanggil kancil, kambing, cacing atau apapun. Baginya, panggilan tidaklah penting. Bisa bekerja di keluarga ini saja sudah sebuah keberuntungan.
Dengan sedikit tergopoh ayahku datang menghampiri.

“Ya, Den Ayu.”

“Mana isterimu?”

“Sedang mencuci kacang tanah di dapur, Den Ayu.”

“Kacang tanah? Untuk apa?”

“Lho katanya Den Ayu yang menyuruh?”

“Apa iya? Coba panggil isterimu.”

Ayahku tergopoh-gopoh lagi kembali ke dapur menemui isterinya, ya ibuku. Tergopoh-gopoh rupanya menjadi bagian dari keseharian ayah dan ibuku. Dengan tangan masih basah dan sedikit kotor karena tanah yang menempel pada kulit kacang tanah, ibuku datang menghampiri Eyang Putri.

“Trimah,” Eyang Putri memanggil ibuku sesuai namanya, Sutrimah. Kata Den Radityo, anak tertua Eyang Putri yang menjadi jaksa di Medan, ibuku sudah mengikuti keluarga ini sejak lulus SD. Sedang ayahku bekerja di sini lima tahun kemudian. Oleh Eyang Kakung, Sutrimah yang waktu itu sudah menjadi gadis tujuh belas tahun dinikahkan dengan Slamet Berkah yang dua tahun lebih tua. Sutrimah menerima saja pilihan tuannya, dan dua tahun kemudian lahirlah aku. Oleh Den Radityo aku diberi nama Slamet Trimo. Slamet dipungut dari nama depan ayahku, Trimo diambil dari nama ibuku (Trimah). Dengan nama itu diharapkan aku menjadi anak yang selalu ‘selamat’ dan ‘menerima’ pemberian Gusti Yang Maha Agung. Rupanya Tuhan menghendaki aku menjadi anak semata wayang. Hingga usiaku yang kedua belas ini, ibuku belum juga mengandung lagi.

“Ya, Den Ayu.”

“Kamu sedang mencuci kacang?”

“Ya, Den Ayu. Bukankah Den Ayu sendiri yang menyuruhku?”

“Kenapa aku menyuruhmu merebus kacang?”

“Saya tidak tahu, Den Ayu. Tapi seingat saya dulu Den Aryo swargi suka dahar kacang
rebus dan pisang kapok rebus.”

“Oh,” Den Ayu memegangi kepalanya dengan tangan kanannya yang mulai keriput. Seperti teringat kembali masa-masa bahagia bersama suaminya, Eyang Putri menyandarkan punggungnya yang melengkung ke kursi di belakangnya.

“Kamu pintar sekali, Trimah. Tidak salah aku mengambilmu dari panti asuhan waktu itu. Sekarang kamu dan isterimu juga tidak bosan menjagaku. Dan anakmu, si Slamet juga sudah pintar membantu ayahnya, Kancil. Terima kasih ya kamu sudah mengingatkan aku. Ya, ya teruskan pekerjaanmu. Katakan pada suamimu supaya mencari pisang kapok yang sudah ranum di kebun belakang. Jika tidak ada, suruh dia membelinya di pasar.”

“Ya, Den Ayu.”

Eyang Putri kembali mengatupkan matanya rapat-rapat sambil menggoyang-goyangkan kursi goyangnya yang beralaskan kasur kecil. Tampaknya beliau merasa puas setelah mendapatkan penjelasan dari ibuku tentang kacang rebus yang dimintanya. Memang, akhir-akhir ini Eyang Putri sering lupa sesuatu yang telah dikatakannya. Bahkan beliau pernah menyuruhku untuk memanggil Pak Modin. Aku tidak tahu apa alasannya. Ketika Pak Modin sudah duduk di hadapannya, beliau justru heran mendapatkan kunjungan Pak Modin. Pak Modin yang baik itupun akhirnya pulang dengan hati penuh tanda tanya.

Baru beberapa hari kemudian aku tahu alasan Eyang Putri memanggil Pak Modin. Beliau ingin menanyakan hari kematian suaminya. Rupanya beliau lupa menyimpan catatannya. Setahuku semua anak-anak beliau mempunyai catatan tentang hari penting itu. Namun, beliau mengira hanya Pak Modin yang mencatatnya. Aku tahu ini dari cerita ayahku yang juga disuruh memanggil Pak Modin beberapa hari setelahnya. Mengetahui Eyang Putri mulai mudah melupakan sesuatu, ayahku bertanya dulu untuk keperluan apa memanggil seseorang.

Kata ayah, Eyang Putri akan menyelenggarakan peringatan besar-besaran untuk mengenang seribu hari meninggalnya Den Aryo Pringgodigdo, suaminya. Bukan hanya anak-anak beliau dan para menantu lengkap dengan cucu-cucunya yang diminta untuk datang, melainkan semua kerabat beliau, kerabat suaminya, dan tentu saja para tetangga akan diundangnya untuk bersama-sama mendoakan arwah suami tercintanya. Bahkan kata ayahku, seorang ustadz yang sedang naik daun juga akan diundang untuk memberikan tausiyah.

Hari perhelatan itu menurut ayahku akan berlangsung pada pertengahan bulan Januari tahun depan, tiga bulan lagi. Itu pasti hari-hari yang sangat sibuk. Aku akan sangat bahagia karena bisa bermain-main dengan cucu-cucu Eyang Putri yang bagus-bagus dan cantik-cantik. Salah satunya adalah Nadia, anak kedua Den Radityo. Menurutku kecantikannya tidak kalah dengan Marshanda atau Chelsea, yang sering aku tonton di layar televisi. Namun, Nadia jarang mau bermain denganku. Jangankan bermain, sesekali berbicara denganku saja tidak. Nadia sebetulnya tidak sombong, hanya Agus dan Birendra, cucu-cucu Eyang Putri lainnya, selalu mengajaknya bermain PS di ruang tamu. Aku hanya dapat mengintip wajah Nadia dari balik jendela ruang tengah. Betapa manisnya anak itu. Tapi mungkinkah seorang anak “Kancil” dan Sutrimah yang berdarah merah bisa bermain dengan gadis cucu Eyang Putri yang berdarah biru?

Seiring perjalanan waktu, hari peringatan seribu hari meninggalnya Eyang Kakung pun semakin dekat. Eyang Putri kelihatannya hanya duduk-duduk di kursi goyangnya, namun pikirannya tidak lepas dari perhelatan itu. Undangan sudah disebarkan ke banyak alamat. Beberapa orang tetangga dekat sudah mulai bekerja membersihkan rumput di sekitar rumah dan memasang tratag untuk para tamu. Ibuku bukan main sibuknya. Ayahku apalagi. Ada sepuluhan orang ibu-ibu tetangga dekat yang membantunya bekerja di dapur. Sementara ayahku mengatur pengantaran surat undangan, letak didirikannya tratag, kebersihan tempat termasuk membersihkan kamar-kamar akan-anak dan cucu-cucu Eyang Putri, dan sebagainya.

Dua hari menjelang acara selamatan, keluarga anak-anak Eyang Putri mulai berdatangan. Pertama yang datang adalah keluarga Den Radityo dari Medan. Lalu siangnya kelarga Den Satryo dari Surabaya, sorenya keluarga Den Palguno dari Jakarta, dan malamnya keluarga Den Putri Warastri dari Denpasar. Sayang, tidak semua cucu-cucu ikut serta. Nadia dan Birendra juga tidak. Dari sembilan cucu hanya Agus dan bayi mungil anak Den Putri Warastri yang bisa hadir. Menurut berita yang kudengar, anak-anak lain tidak bisa ikut karena tidak dapat meninggalkan sekolah dalam waktu lama. Aku tidak begitu dekat dengan Agus, jadi kedatangannya tidak membuatku senang. Eyang Putri terlihat sangat bahagia melihat anak-anak dan keluarganya dapat berkumpul di rumahnya.

Aku lihat Eyang Putri semalaman berbicara dengan anak-anak dan menantunya, lalu bercengkerama dengan Agus dan si bayi. Itu berbeda dari kesehariannya yang lebih banyak duduk, diam, dan membalik-balik halaman-halaman album foto keluarga tanpa bosan.

Eyang Putri sepertinya ingin menumpahkan semua kerinduan yang terpendam di hatinya saat menjalani hidup di usia tuanya dalam kesendirian di rumah besar ini. Dan Radityo membujuknya agar Eyang Putri segera beristirahat karena hari sudah larut malam. Dengan enggan beliau akhirnya masuk ke kamarnya di ruang tengah.
Dan di hari yang telah ditentukan. Semua kerabat sudah berkumpul. Para undangan pun sudah duduk di tempat yang telah disediakan. Berbagai hidangan sudah tertata rapi. Den Radityo dan Pak Modin duduk mengapit Ustadz Zainudin di panggung utama. Para anak dan cucu lainnya duduk di sayap panggung. Masing-masing yang hadir memegang buku doa bahasa Arab-Indonesia bersampul hijau muda bergambar wajah Den Aryo Pringgodigdo swargi yang dibingkai dengan kaligrafi Arab yang indah. Acara pun akan segera dimulai.

Satu kursi masih kosong. Itu diperuntukkan untuk Eyang Putri. Den Radityo dan adik-adiknya pasti mengira bahwa ibunya kelelehan setelah semalam tidur larut malam. Semua orang sedang mengerjakan pekerjaan masing-masing. Hanya aku yang berdiri di balik pintu ruang tengah tanpa melakukan apa pun. Den Radityo melihatku dan melambaikan tangan.

“Mana ayahmu? Bilang ke ayahmu supaya matur Eyang Putri, acara akan segera dimulai.”

“Ya, Den.”

Cari kanan cari kiri. Tak kulihat kelebat ayahku, juga ibuku. Akhirnya dengan keberanian seorang anak kecil yang ceroboh, aku ketuk pintu kamar Eyang Putri. Lama aku menunggu. Tidak ada jawaban. Kuketuk lagi. Tetap diam. Sekali lagi dengan kecerobohan aku dorong daun pintu ke dalam. Dan aku tahu kenapa Eyang Putri tidak menjawab. Rupanya beliau sedang tertidur nyenyak. Kepala dan tubuhnya menghadap langit-langit kamar. Matanya terpejam. Kedua tangannya diletakkan menyilang di atas dadanya.

Kuberanikan memegang ujung kakinya, lalu menggoyangnya pelan. Dingin kaki itu. Rasanya lebih dingin dari air putih di kulkas. Sekali lagi aku menggoyangnya dan menyebutkan namanya. Aneh. Eyang Putri tetap diam ... bahkan ... dadanya diam seperti orang yang sudah meninggal.

Jangan-jangan? Ah, ya benar. Eyang Putri tidak bernafas lagi. Bagaimana ini, bagaimana aku akan menyampaikan ini kepada anggota keluarganya, kepada ratusan tamu di depan? Tiba-tiba alam di depanku berpusar laksana gasing, dan aku tak ingat apa-apa lagi. (*)

Lembah Kemulan, 100508

Dimuat Tabloid Cempaka
Edisi Kamis, 22 Mei 2008

1 komentar:

  1. sardono syarief mengatakan...

    Ini cerita yang amat bagus! Salut dan selamat berkreatifitas terus, Pak Gito.

Posting Komentar