KABUT DI ALAS ROBAN (01)

KABUT DI ALAS ROBAN (01)
OLEH: SUGITO HADISASTRO


Pengantar:
Tahun 1613-1645 Kerajaan Mataram diperintah oleh seorang Raja Agung yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Sayidin Panatagama Khalifatullah. Gelar yang panjang ini mengandung arti bahwa sang Raja sekaligus juga sebagai pemegang otoritas keagamaan (Islam) di wilayah kerajaan yang hampir seluas Pulau Jawa. Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Kerajaan Mataram mengalami kejayaan di berbagai bidang (administrasi pemerintahan, pertahanan dan keamanan, perniagaan, kesenian termasuk sastra), dan kewibawaan. Usahanya mengusir VOC di Batavia tetap dikenang bangsa Indonesia hingga sekarang. Namun kesibukan Sultan Agung mengharumkan nama Kerajaan Mataram di seantero Nusantara tidak sebanding dengan usaha mempersiapkan sang calon pengganti, Amangkurat. Sejarah di kemudian hari mencatat, sepeninggal beliau para petinggi Mataram tidak mampu mempertahankan kekuasaan dan kejayaan kerajaan, sedikit demi sedikit wilayah kekuasaannya di Brang Wetan dan Brang Kulon serta Tanah Sabrang (luar Pulau Jawa) melepaskan diri dari hegemoni Mataram Raya. VOC yang pernah diperangi Sultan Agung justru masuk ke pusat sistem pemerintahan Mataram dan ikut andil dalam perpecahan antar keluarga kerajaan sehingga semakin memperlemah posisi Mataram dalam percaturan politik nasional bangsa-bangsa Nusantara pada waktu itu.

‘Kabut di Alas Roban’ bukanlah sejarah, melainkan fiksi sejarah, terilhami oleh pudarnya cahaya Mataram pada masa pemerintahan Amangkurat. Mengambil latar (setting) wilayah Alas Roban, yang telah dikenal namanya sebagai hutan yang angker dan menyimpan banyak misteri. Bertutur tentang berbagai sifat manusia (kebaikan dan kejahatan) yang menjadi akar perselisihan di mana pun manusia berada.
Selamat mengikuti.
***


Matahari mendapatkan nama yang indah di Nusa Jawa, Sang Hyang Bagaskara. Sepanjang hari, bulan, tahun dan abad, tanpa lelah, Sang Hyang Bagaskara setia menerangi bumi menjadi penanda waktu bagi manusia untuk mengingat peristiwa penting yang mereka lakukan pada masa silam. Manusia pilihan Tuhan lahir setiap jaman dan menjadi saksi setiap kejadian. Para pemikir pencerah kehidupan merenung, membaca inti kehidupan dan menuliskan aksara keabadian di atas helai-helai kisah perjalanan hidup dalam kesaksian Sang Hyang Bagaskara. Dan lahirlah syair, tembang, dan sejarah ….
***

Ki Seblu benar-benar merasa sebagai orang tua yang bodoh, bingung, dan cemas ketika mendengar rintihan menantunya menahan rasa sakit menantikan kelahiran bayi pertamanya. Sementara anaknya, Jaka Pamegat, suami menantunya itu sedang pergi ke Mataram untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit yang akan diberangkatkan ke daerah pergolakan untuk meredam pemberontakan. Nyi Seblu sudah berusaha sebisa mungkin mengipasi kepalanya dan melonggarkan bajunya agar sakitnya berkurang, tapi Ken Wulandri tetap saja merintih-rintih. Rupanya rasa sakit menjelang kelahiran anaknya tidak tertahankan. Wajahnya yang putih bersih berubah menjadi pucat pasi seperti kapas. Darahnya mengalir cepat seirama dengan detak jantungnya. Sesekali bibirnya bahkan menyebut nama suaminya, Jaka Pamegat. Sang suami meninggalkan kampungnya, dukuh Asemjajar, semenjak usia kandungan istrinya tujuh bulan. Hingga sekarang belum ada kabar beritanya. Beruntung Ki dan Nyi Seblu mempunyai seorang menantu yang tabah seperti Ken Wulandri.

“Kakang Seblu, bagaimana ini? Cepat Kakang pergi ke Nyi Kerti di dukuh Nyamplungan,” seru Nyi Seblu dari dalam kamar menantunya. Ki Seblu segera menyambar sarung dan tongkat kesayangannya. Tubuhnya yang tidak lagi sekuat dulu berkelebat menembus kepekatan malam. Dalam hati dia bertanya, kenapa anaknya belum juga memberikan kabar keberadaannya.

Malam masih menyisakan embun. Bulan sudah sejak tadi hilang dari tahta langit biru. Suara nyanyian serangga dan burung malam bagaikan orkestra indah penuh harmoni. Sebagian besar penduduk masih lelap dalam istirah malam setelah seharian bekerja di sawah dan ladang. Ki Seblu memacu langkahnya. Pikirannya hanya segera sampai di rumah Nyi Kerti secepat mungkin. Semua penduduk Nyamplungan kenal siapa perempuan tua itu. Hampir semua kelahiran bayi di pedukuhan sekitar Alas Roban ditolong Nyi Kerti, penduduk desa menyebutnya Nyi Dukun Kerti.

Ki Seblu berusaha keras mengatasi hambatan alam. Jalan setapak di tengah rerimbun hutan, tanjakan dan turunan, lembah dan tebing, bukan masalah. Meskipun dia tidak dilahirkan di daerah ini, dia sudah menganggap daerah ini tempat hidupnya. Lebih dari separuh masa hidupnya dihabiskan di wilayah Alas Roban. Dukuh Nyamplungan tinggal beberapa ratus depa lagi. Ki Seblu mempercepat langkahnya. Dan ketika kokok ayam pertama terdengar di pedukuhan itu, orang tua yang dikenal sebagai petani yang rajin itu sudah mengetuk pintu rumah Nyi Kerti. Orang kebanyakan perlu sepenanakan nasi untuk berjalan dari dukuh Asemjajar ke dukuh Nyamplungan. Ki Seblu mengerahkan semua kemampuannya untuk segera tiba di pedukuhan sebelah timur Kali Petung ini.

Nyi Kerti semula terkejut, namun ketika kesadarannya pulih, rasa kagetnya hilang. Pintu rumahnya biasa diketuk sewaktu-waktu oleh penduduk yang memerlukan pertolongannya. Seperti malam ini, pasti orang itu sangat memerlukan bantuannya. Oh, rupanya Ki Seblu, petani dari Asemjajar.

Bunyi derit pintu bambu yang terkuak membelah kesunyian fajar. Nyi Kerti menyalakan lampu minyak dan menyilakan tamunya masuk ruangan. Cahaya lampu yang redup menambah suasana kelam. Dukun beranak terkenal ini hidup sebatang kara. Suaminya, Ki Kerti, telah lama meninggal. Dua anaknya telah berumah tangga dan hidup bersama keluarga masing-masing tidak jauh dari rumahnya di Dukuh Nyamplungan pula.

“Malam-malam begini siapa yang akan melahirkan, Ki Seblu?” tanya Nyi Kerti yakin bahwa Ki Seblu pasti memerlukan keahliannya membantu persalinan.

“Menantuku, Nyi Kerti. Sejak tengah malam tadi terus merintih kesakitan. Saya tidak tahan mendengar rintihannya.”

“Baru akan melahirkan anak pertama, ya? Biasa itu Ki Seblu. Mata saya sudah kurang awas. Saya tidak berani berjalan malam hari. Tunggu sebentar saya buatkan boreh. Besuk pagi saya akan kesana.”

Tanpa menunggu jawaban Ki Seblu, Nyi Kerti kembali masuk ke dalam. Tangan tuanya masih terampil menyalakan lampu di dapur, meramu dedaunan dan menggerusnya. Suara muthu dan cowek yang beradu terdengar nyaring di gendangan telinga Ki Seblu. Pikiran orang tua itu sedang gundah. Bayangan Ken Wulandri yang menahan rasa sakit dan istrinya yang kebingungan silih berganti memenuhi benaknya.

“Nah, Ki Seblu. Ini boreh untuk dioleskan di perut dan air ini untuk diminum. Nanti begitu matahari terbit, aku akan ke Asemjajar.”

“Terima kasih, Nyi Kerti, aku mohon pamit.”

“Hati-hati, Ki Seblu. Di tanjakan Pancawati sering ada kawanan begal yang merampas harta orang-orang yang lewat,” pesan Nyi Kerti kepada Ki Seblu seperti pesan untuk cucunya yang ceroboh.

0 komentar:

Posting Komentar