KABUT DI ALAS ROBAN (3)

KABUT DI ALAS ROBAN (3)

OLEH: SUGITO HADISASTRO

"Bayinya laki-laki, Kakang,” bisik Nyi Seblu dari balik pintu.

Ki Seblu merasakan kebahagiaan yang tak dapat digambarkan. Kebahagiaan yang sama ketika istrinya dahulu melahirkah anak satu-satunya, Jaka Pamegat. Nyi Seblu sibuk menyiapkan segala keperluan cucu yang baru dilahirkan. Suaminya pergi ke dapur menyiapkan air hangat dan keperluan lainnya. Tidak lama setelah itu, Nyi Kerti sudah tiba di rumahnya, diantarkan salah seorang cucunya. Rupanya perempuan tua yang gesit itu meninggalkan desanya pagi-pagi bersama para pedagang yang hendak berjualan di pasar Kademangan Mandala Giri. Betapa gembira hati Ki Seblu dan istrinya melihat menantunya dan cucunya mendapatkan perawatan yang baik dari orang yang terampil.

Ken Wulandri sudah bisa tersenyum ketika dikatakan bahwa anaknya laki-laki, wajahnya tampan seperti ayahnya dan kulitnya bersih seperti ibunya. Matanya tiba-tiba mengalirkan butiran-butiran bening. Ingatannya terbang ke masa remajanya ketika dia memilih meninggalkan keluarganya demi cintanya kepada Jaka Pamegat, seorang pemuda yang halus budi pekertinya dari Asemjajar. Seperti ayahnya, Jaka Pamegat pun seorang petani. Sawah dan ladangnya tidaklah seluas milik keluarga Ki Demang Tenggulang. Tapi dia dan ayahnya mengolah sawah dan ladangnya dengan baik sehingga hasil panennya cukup untuk menghidupi keluarganya. Meski tidak terlalu kaya, keluarga Ki Seblu termasuk keluarga berkecukupan di Asemjajar.

Masih segar dalam ingatan Ken Wulandri, bagaimana ayahnya Ki Demang Adinusa, membujuknya agar menerima lamaran Ki Demang Tenggulang untuk dijodohkan dengan anak laki-lakinya yang bernama Tedung Gunarbo, tapi hatinya sudah terlanjur terpikat pada seorang pemuda dari dukuh Asemjajar, wilayah Kadipaten Watang, anak Ki Seblu yang bernama Jaka Pamegat.

Begitu mendengar penolakan anak gadisnya, bukan main marah Ki Demang Adinusa. Nyi Demang gagal meredakan kemarahan suaminya dan Ken Wulandari akhirnya diusir dari kademangan. Tak ada pilihan lain bagi gadis yang keras hati ini selain pergi meninggalkan keluarganya dan desa tempat kelahirannya dengan hati terluka. Kabar pengusiran Ken Wulandri akhirnya terdengar hingga dukuh Asemjajar. Ki Seblu memberanikan diri pergi ke Kademangan Adinusa menemui Ki Demang untuk melamar Ken Wulandri. Ki Demang dengan wajah sinis dan menghina menyerahkan anaknya yang saat itu sudah terusir kepada Ki Seblu untuk dikawinkan dengan anaknya, Jaka Pamegat. Dengan tetap menahan rasa amarah yang memuncak karena direndahkan martabatnya, Ki Seblu meninggalkan Kademangan Adinusa dan kemudian mencari Ken Wulandri.

Ken Wulandri ditemukan di dukuh Jurangmiring, diasuh oleh seorang janda tua pembuat kue serabi. Saat ditemukan, Ken Wulandri sudah berganti nama Ni Ndari untuk mengelabui orang-orang suruhan Tedung Gunarbo yang terus mencarinya. Rupanya pemuda itu masih penasaran untuk bisa menemukan gadis idaman hatinya dan membawanya ke Kademangan Tenggulang. Ki Seblu dan Jaka Pamegat beruntung menemukan gadis itu terlebih dahulu. Tak lama setelah itu, perhelatan perkawinan sederhaan antara Jaka Pamegat dan Ken Wulandri digelar di Asemjajar. Tak satu pun anggota keluarga besar Ken Wulandri dari Kademangan Adinusa hadir.

Kenangan indah Ken Wulandri terus berjalan mundur ke waktu ketika dia pertama kali bertemu Jaka Pamegat di alun-alun Kademangan Mandala Giri. Kala itu Ki Demang Mandala Giri mengadakan pesta rakyat tahunan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas keberhasilan panen hasil bumi di wilayahnya. Ki Demang mengundang semua kelompok kesenian rakyat dari dalam dan luar kademangan secara bergantian selama sepekan. Ken Wulandri yang bersama orang tuanya diundang ke pesta itu terkesima melihat kebolehan seorang pemuda dari kademangan Kadiproyo memainkan tari perang. Dalam perjamuan setelah pertunjukan, Ken Wulandri melalui seorang inang pengasuh akhirnya tahu nama pemuda itu Jaka Pamegat. Selain pandai memainkan tarian perang, pemuda itu juga tangkas bermain silat. Namun angan-angannya buyar ketika tangan terampil Nyi Kerti mulai memijat tubuhnya. Pijatan itu begitu halusnya sehingga ibu muda itu merasa seperti dibelai-belai oleh tangan para bidadari dari kahyangan.

“Nah, sudah enakan sekarang, ya?” Nyi Kerti melepaskan pijatan terakhirnya di sekitar lambung.

“Terima kasih, Nyi.” Hanya itu kalimat Ken Wulandri yang bisa keluar dari mulutnya.

Bayi sudah dibersihkan dan dibalut dengan kain milik neneknya, Nyi Seblu. Lama Ki Seblu memandangi cucu pertamanya ini. Menurut perasaannya, anak ini kelak akan menjadi pendekar pilih tanding yang ditakuti musuh-musuhnya. Tapi, bukan itu yang dia inginkan. Dia menginginkan anak ini kelak menjadi penerus cita-cita raja besar Mataram Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma untuk mengusir orang-orang asing dari Tanah Jawa. Ki Seblu merasa, setelah Kanjeng Sultan Agung mangkat, Sunan Amangkurat tampaknya tidak sekuat dan setegar ramandanya. Pemerintahannya lemah, wilayahnya di Brang Kulon dan Brang Wetan satu demi satu melepaskan diri. Perjuangan gigih sang Rama mengusir penjajah tidak dapat diteruskan. Cahaya kejayaan kerajaan dan cita-cita raja agung itu kian redup. Keberadaan dirinya waktu itu di wilayah Alas Roban terkait dengan persiapan pasukan Mataram pada saat hendak mengusir orang-orang asing dari Batavia seakan terputus.

Ki Seblu mengenang perjalanan hidupnya saat muda ketika masih menjadi bagian dari pasukan Mataram di bawah pimpinan Ki Ajar Gringsing, ditugaskan di wilayah Alas Roban untuk membuka jalan darat dari sebelah timur Alas Roban ke wilayah Brang Kulon hingga Pasundan dan Batavia. Kenangan itu masih segar dalam ingatannya. Hutan lebat yang sulit dilewati karena jalannya sempit dan dipenuhi berbagai macam binatang buas dan melata itu sedikit demi sedikit terbuka dan menjadi jalur pilihan para pedagang yang hendak bepergian ke Brang Wetan.

Di wilayah Alas Roban itulah akhirnya dia menemukan seorang gadis bernama Menur, gadis desa anak tetua pedukuhan Asemjajar. Menurut pandangannya gadis itu berbeda dari para gadis lainnya yang dia temui di sepanjang petualangannya dari kotaraja, Batavia hingga Alas Roban. Entah terdorong oleh keinginan dari mana, dia merasa gadis yang ditakdirkan untuknya. Dan ketika akhirnya sebagian besar temannya memilih kembali ke kotaraja, dia memilih menetap di Asemjajar sebagai suami dari Menur.

Ki Seblu menghela napas panjang. Tangis bayi itu mengingatkan pada anaknya, Jaka Pamegat, ayah bayi itu. Ada kekhawatiran di hatinya menyadari keadaan kotaraja Mataram sekarang ini berbeda dari jaman Kanjeng Sultan Agung. Jaka Pamegat belum memahami liku-liku kotaraja karena dia belum pernah pergi ke sana sebelumnya. Namun, hatinya sedikit tenteram bahwa anaknya bukan pemuda kemarin sore yang ketakutan melihat wajah angkuh orang-orang kotaraja Mataram. Jaka Pamegat bukanlah pemuda kebanyakan, dia memiliki kemampuan membela diri yang tidak diragukan lagi. Bersama anak Ki Demang Mandala Giri, dia berguru kepada Eyang Ki Ajar Gringsing, yang sekarang hidup sebagai petani bersahaja di padepokan Arga Kamulyan. (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar