CERMIN DI TENGAH BATANG VI


CERMIN DI TENGAH BATANG VI

Oleh Sardono Syarief

6. MENGGALI TALENTA

Pak Gito masih tersenyum. Rupanya beliau merasa geli juga akan nama aslinya yang telah hilang. Sebuah nama bersejarah pemberian kedua orangtuanya yang kini tak pernah terdengar lagi di telinga. Karena hampir semua orang yang mengenalnya pasti akan memanggilnya dengan sebutan Sugito, bukan Hadikiroto atau Dito. Nama Hadikiroto entah hilang ke mana? Pak Gito sendiri tidak tahu rimbanya.

“Emm.........maaf, Pak!”ujarku memecah keheningan.

“Iya?”Pak Gito agak tersentak.

“Kalau kami boleh tahu,”lanjutku. “Tahun berapa dulu Pak Gito masuk Sekolah Dasar?”

“Oh, itu?”Pak Gito mencoba mengingat-ingat. “Kalau tak salah,”katanya lebih lanjut. “Tahun 1963 atau 1964.”

“Di SD mana, Pak?”Gadis ikut menimpali.

“Di SD Negeri Sambong, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang.”

“Dari desa mana saja teman-teman Pak Gito dulu,Pak?”Melati ikut bertanya.

“Dari Desa Kecepak, Desa Pakis Aji, Desa Tegalsari, dan Desa Lawang Aji.”

“Kira-kira siapa saja teman Pak Gito sewaktu SD dulu,Pak?”Teten ikut menimpali.

“Banyak, “jawab Pak Gito. “Antara lain; Ujang Rahadi, Rokhmat, Kardiyan, Durasid, Cahyono,dan Rapali.”

“Untuk berangkat dan pulang sekolah, kendaraan apa yang dulu Pak Gito naiki?”Dhestya turut menyahut.

“Jalan kaki.”

“Lho! Memangnya tak jauh jarak antara rumah dengan sekolah, Pak?”masih tanya Dhestya.

“Tidak. Kurang lebih cuma 2 km.”

“Bagaimana nilai Pak Gito sewaktu di SD dulu, Pak?”sela Ardhana.

“Alhamdulillah. Nilai Pak Gito cukup baik.”

“Apakah dengan nilai yang Pak Gito peroleh tadi,”masih ujar Ardhana. “Menjadikan Pak Gito sebagai Bintang Kelas?”

“Ya, begitulah..........!”jawab Pak Gito seraya menyandarkan punggungnya di kursi.

“Dengan begitu, berarti Pak Gito sangat disayang Guru, bukan?”sahut Bahtiar.

“Disayang sekali tidak. Cuma sedang-sedang saja.”

“Dari sekian guru yang ada di SD,”masih ujar Bahtiar. “Adakah yang sempat berkesan di hati Pak Gito sampai sekarang?”

“Ada,”jawab Bapak yang selalu berpenampilan rapi itu singkat.

“Siapa, Pak?”sela Jaka.

“Pak Domo Rohadi,”jawab Pak Gito. “Beliau seorang Kepala Sekolah yang telah berjasa besar terhadap diri Pak Gito.”

“Berjasa dalam bidang apa, Pak?”tanya Jaka lagi.

“Dalam memberi nama baru Sugito, untuk nama Bapak.”

“Selain Pak Domo Rohadi,”aku menyela. “Siapa lagi Guru yang sempat berkesan di hati Pak Gito?”

“Pak Parhim.”

“Apa kelebihan Pak Parhim di mata Pak Sugito?”masih aku yang bertanya.

“Bagi Pak Gito,”jawab suami Bu Rindiyani tadi dengan sabar. “Pak Parhim merupakan sosok guru yang sangat pandai dalam membawakan cerita di depan kelas,”demikian pengakuan Pak Gito untuk Pak Parhim. “Beliau bisa larut dalam kisah cerita

yang dibawakannya. Penjiwaannya terhadap cerita, sungguh luar biasa! Beliau bisa menangis, bila isi ceritanya sedih. Bisa pula tertawa, bila kisahnya gembira.”

“Dari kelebihan yang dimiliki Pak Parhim tadi,”ucap Bahtiar. “Pernahkah Pak Gito bercita-cita untuk menirunya,Pak?”

“Pernah! Bahkan kecintaan dan kepandaian Pak Parhim terhadap dunia cerita, ingin Pak Gito menirunya sampai sekarang.”

Mendengar pengakuan Pak Sugito tadi, menyebabkan kami mengangguk-angguk, kagum. Demikian pula dengan Bu Nuning. Walau sedari tadi beliau lebih banyak mengambil sikap diam dan menjadi pendengar setia kami, namun Ibu Guru kami yang cantik itu juga merasa kagum terhadap kerendahan hati Pak Sugito. Ternyata Pak Sugito orangnya tak sombong. Walau prestasinya segudang, Pak Gito tetap mengakui kelebihan orang lain. Pak Gito tetap mengakui kelebihan guru masa kecilnya sewaktu menjadi murid di Sekolah Dasar.

Sementara itu, dari ruang dalam terlihat Ibu Rindiyani keluar. Di kedua tangannya membawa sebuah baki isi beberapa gelas teh manis.

“Mari, silakan diminum, Bu! Anak-anak juga!”Pak Gito menyilakan setelah Bu Rindiyani selesai menghidangkan gelas-gelas itu di atas meja.

“Terima kasih, Pak,”sahut kami bersamaan.

“Silakan dicoba kue klepon-nya, Bu, Anak-anak!”Bu Rindiyani turut menyilakan.

“Terima kasih, Bu,”sahut Bu Nuning mewakili kami.

“Maaf, agak terlambat, Bu!”ucap Bu Rindiyani kepada Bu Nuning.

“Ah, tidak mengapa,Bu! Justru kami yang mohon maaf, telah membuat Bu Rindiyani repot,”Bu Nuning berbasa-basi.

“Ah, tidak!”jawab Bu Rindiyani sembari tersenyum. “Kami sama sekali tidak merasa direpotkan, Bu.”

Bu Nuning maupun kami tersenyum.

“Silakan dinikmati, Bu, dan Anak-anak!”sekali lagi Bu Rindiyani menyilakan.

“Terima kasih, Bu! Terima kasih...!”sahut Gadis tak kalah sopan dari Bu Nuning.

Bu Rindiyani tersenyum. Lalu masuk ke ruang tengah untuk menaruh baki.

Kini, seraya menikmati hidangan yang disuguhkan Bu Rindiyani tadi, kami pun melanjutkan wawancara.

“Maaf, Pak Gito!”kataku, Virdha.

“Iya?”dengan senyum khasnya, Pak Gito menyahut.

“Semasa kecil dulu, permainan apa saja yang PakGito sukai, Pak?”

“Oh,banyak sekali!”

“Apa saja di antaranya, Pak?”masih tanyaku ingin tahu.

“Yang masih Pak Gito ingat antara lain; benthik, kasti, petak umpet,ayam-ayaman, kuwukan, kelerengan, gangsingan, bermain layang-layang, mandi-mandian di pintu air, nonton pertunjukan wayang kulit, dan melihat pemutaran film misbar di tengah lapangan.”

“Wah! Tentu mengasyikkan sekali, ya, Pak?”kataku ikut larut pada suasana berbagai macam permainan tersebut.

“Iya. Sungguh mengasyikkan sekali,”ujar Pak Gito sambil tersenyum gembira. Beliau seakan terkenang akan masa kecilnya dulu.

“Lalu, tahun berapa dulu Pak Gito tamat SD,Pak?”potong Jaka.

“Tahun 1969,”jawab Pak Gito singkat.

“Siapa Kepala Sekolah yang menandatangani ijazah Pak Gito?”masih tanya Jaka.

“Pak Basori.”

“Bukan Pak Domo Rohadi, Kepala Sekolah yang dulu mengubah nama Pak Sugito?”aku ikut bertanya.

“Bukan,”sahut Pak Gito. “Saat Pak Gito lulus dari SD Negeri Sambong,”lanjutnya. “Pak Domo Rohadi sudah pindah tugas ke SD lain.”

“Oh,ya, Pak!”Dhestya menyela.

Pak Gito lurus-lurus memandangi Dhestya.

“Begitu tamat SD, ke mana Pak Gito melanjutkan sekolah?”tanya Bahtiar ingin tahu.

“Ke Sekolah Teknik Negeri (STN) 2 Batang.”

“Sekolah apa itu, Pak?”sahut Ardhana.

“Sekolah kejuruan, setingkat dengan SMP sekarang.”

“Lantas, jurusan apa yang Pak Gito pilih?”potong Gadis.

“ Jurusan mesin kapal.”

“Apa alasan Pak Gito mengambil jurusan tersebut, Pak?” aku turut menimpali.

“Karena Pak Gito ingin ahli dan terampil dalam merakit mesin kapal,”jawab Pak Gito. Sambungnya, “Paling tidak, Pak Gito bisa menjadi bengkel dan pandai memperbaiki mesin kapal yang rusak.”

“Apakah banyak teman dari SD Negeri Sambong yang melanjutkan ke STN 2 Batang, Pak?”tanya Teten.

“Tidak,”sahut Pak Gito.”Teman yang meneruskan sekolah cuma 3 anak.”

“Siapa saja mereka itu, Pak?”Dhestya ikut nimbrung.

“Mereka antara lain; Ujang Wahadi, Amir, dan saya sendiri, Sugito,”jawab Pak Gito.

“Kalau Pak Gito meneruskan ke STN 2 Batang,”ujarku. “Apakah Ujang Wahadi dan Amir juga meneruskan ke sekolah yang sama, Pak?”

“Tidak,”Pak Gito menjawab cepat. “Ujang Wahadi meneruskan ke STN 1 Batang. Sedangkan Amir, ke PGAI 4 tahun di Pekalongan.”

“PGAI itu sekolah apa, Pak?”Jaka bertanya ingin tahu.

“Pendidikan Guru Agama Islam,”jawab Pak Gito menjelaskan.

“Oh...!”mulut Jaka membentuk huruf O. “Kalau begitu, berarti Amir ingin jadi guru agama Islam bukan, Pak?”

“Iya, tentunya.”

“Apakah Pak Gito, Ujang, dan Amir merupakan lulusan SD Negeri Sambong yang pertama kali meneruskan ke sekolah lanjutan, Pak?”tanya Bahtiar.

“Tidak juga,”Pak Gito menjawab mantap. “Pada zaman Pak Gito duduk di SD dulu,”lanjutnya. “Tepatnya tahun 1970-an,”sambung Pak Gito lagi. “Anak Dukuh Kebrok, Desa Sambong, Kecamatan Batang yang pertama kali melanjutkan ke sekolah tingkat pertama adalah Rokhmat. Dari Rokhmatlah, Pak Gito bertiga timbul rasa ingin meneruskan sekolah.”

“Kalau begitu, berarti Rokhmatlah yang menjadi cambuk semangat belajar Pak Gito bertiga?”kataku.

“Iya. Karena Rokhmatlah kami bertiga jadi punya minat untuk melanjutkan sekolah.”

“Lalu, selama belajar di STN 2 Batang,”lanjutku. “Mata pelajaran apakah yang paling Pak Gito sukai saat itu?”

“Pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.”

“Apa alasan Pak Gito menyukai kedua pelajaran tersebut?”timpal Melati.

“Pak Gito suka pelajaran Bahasa Indonesia,”jawab Pak Gito. “Karena Pak Gito punya cita-cita ingin pandai dalam mengarang cerita maupun puisi dengan Bahasa Indonesia secara baik lagi benar. Adapun kesukaan Pak Gito terhadap pelajaran Bahasa Inggris, karena Pak Gito ingin pandai berbicara dengan bahasa tersebut secara fasih.”

“Apakah keinginan Pak Gito tadi bisa jadi kenyataan, Pak?”sela Gadis.

“Alhamdulillah, bisa!”

“Misalnya, Pak?”masih tanya Gadis.

“Misalnya,”sahut Pak Gito. “Untuk pelajaran Bahasa Inggris,”kata Pak Gito. “Bapak selalu dapat mengantongi nilai tertinggi dari Pak Mulyono.”

“Siapa Pak Mulyono itu, Pak?”tanya Jaka ingin tahu.

“Guru mata pelajaran Bahasa Inggris di STN 2 Batang.”

“Terus, bagaimana halnya dengan pelajaran Bahasa Indonesia bagi Pak Gito?”masih Jaka yang bertanya.

“Untuk pelajaran Bahasa Indonesia,”ujar Pak Gito. “Bapak paling menonjol dalam bidang mengarang.”

“Apa buktinya, Pak?”aku ikut bertanya.

“Buktinya,”sahut Pak Gito. “Ketika Pak Yanto, guru Bahasa Indonesia di STN 2 Batang menyuruh anak-anak mengarang bebas,”ucapnya. “Hasil karangan Pak Gito yang berjudul Kebunku keluar sebagai karya terbaik di antara karangan teman yang lain.”

“Lantas, apa yang kemudian dirasakan oleh Pak Gito?”

“Pak Gito merasakan, bahwa hal tersebut sangat berkesan di hati Bapak,”sahut Bapak yang berkumis tipis itu dengan wajah ceria. “Hingga akhirnya, bisa menumbuhkan semangat di hati Pak Gito untuk bisa mengarang dan mengarang terus sampai sekarang.”

“Hingga jadilah Pak Gito sebagai pengarang kelas nasional seperti sekarang ini, Pak?”sahutku menambahkan seraya tersenyum kagum.

“Ya, begitulah...!”Pak Gito tersenyum puas.

Kami pun demikian.

0 komentar:

Posting Komentar