KABUT DI ALAS ROBAN (5)

KABUT DI ALAS ROBAN (5)

OLEH: SUGITO HADISASTRO

Sambil meladeni serangan lawannya, pikiran Ki Seblu terus mengembara ke masa lalu, ke masa saat dirinya dan orang-orang terpercaya bahu membahu menjaga martabat dan kejayaan kerajaan Mataram. Kenangan perang besar antara pasukan kerajaan Mataram melawan tentara Kompeni di Batavia seolah mengapung kembali di permukaan benaknya. Kenangan itu pula yang mendorong keinginannya agar anaknya, Jaka Pamegat, dan anak laki-laki Ki Demang Mandala Giri, Bagus Rangga, disuruhnya berguru kepada mantan atasannya, Ki Ajar Gringsing di padepokan Arga Kamulyan, yang oleh penduduk sekitarnya disebut Ki Panjer.

Malam merambat pelan ke puncaknya. Perkelahian antara orang aneh dan Ki Seblu masih berlangsung. Semakin malam bahkan semakin seru. Orang itu benar-benar bernapsu ingin segera mengalahkan lawannya, namun Ki Seblu tidak mudah dikalahkan. Gerakannya gesit dan sulit ditebak lawannya. Tampaknya Ki Seblu tidak sungguh-sungguh berkelahi. Gerakannya hanya menghindar dan menghindar. Sementara orang aneh itu semakin menggila. Cadangan tenaganya cukup mengagumkan. Meskipun gerakan-gerakannya dilambari tenaga yang berlebihan, hingga jurus yang terakhir belum terlihat berkurang tenaganya.

Tanpa diduga orang itu meloncat menjauh dari arena. Berdiri menegak seperti sebuah patung batu yang baru ditegakkan dari tempatnya dipahat. Ki Seblu membiarkan apa kemauan lawannya.

“Ki Sanak, aku benar-benar ingin berkelahi denganmu, tapi rasanya kau sedari tadi hanya menghindar. Kau membuatku terhina Ki Sanak,” orang itu sangat geram. Matanya nyalang memandangi lawannya.

“Terserah apa katamu. Bagaimana aku harus berkelahi dengan orang yang tidak aku kenal, bahkan bertemu pun baru kemarin malam,” jawab Ki Seblu tenang.

“Firasatku mengatakan kau pasti mantan anggota pasukan Mataram yang tangguh, tapi kenapa kau memilih hidup di sini? Bukankah kerajaan memerlukan orang-orang kuat sepertimu?”

“Sudahlah, aku tidak ingin membicarakan hal yang aku tidak tahu. Ini sudah larut malam. Aku harus segera pulang,” jawab Ki Seblu sambil bersiap meninggalkan arena.

“Baiklah, Ki Seblu. Jika suatu hari kau bepergian ke Tanah Pasundan, jangan lupa temui aku, Macan Gunung Papandayan.”

Ki Seblu penasaran dengan gelaran yang mengesankan kejantanan itu. Tubuhnya berbalik hendak melihat sosok orang itu lebih jelas, tapi terlambat. Macan Gunung Papandayan sudah menyeberangi aliran Kali Lojahan. Gerakan kakinya sangat ringan meloncat dan hinggap dari satu batu ke batu lainnya, lalu bayangan tubuhnya ditelan kegelapan malam di seberang sungai. Macan Gunung Papandayan, tentu bukan nama sembarangan. Dia yakin orang itu belum mengeluarkan semua kepandaiannya. Dia hanya memancing kemarahan Ki Seblu. Untunglah dia mampu menjaga keseimbangan emosinya. Jika dia meladeni orang itu, ceritanya akan lain.

Angin malam terasa menggigit tulang. Suara gemericik air Kali Lojahan seperti mengingatkan kejadian besar di hari-hari mendatang. Bayangan mendung sudah menggelayut di langit Mataram. Orang-orang asing di Batavia bertambah kuat dengan senjatanya yang mampu membunuh dari jarak jauh. Dia melihat sendiri bagaimana anggota pasukan Mataram yang gagah berani gugur bergelimpangan bersimbah darah terkena tembakan senjata itu. Bukan itu saja, orang-orang asing berpakaian dan bertopi aneh itu juga membakar lumbung-lumbung beras cadangan makanan pasukan Mataram di Bekasih dan Kerawang. Kenangan itu semakin menggumpal di benaknya. Kenangan itu seolah menyisakan kegetiran yang tak terhapuskan.

Ki Seblu terus berjalan pulang dengan langkah cepat, namun pikirannya melayang-layang. Pertemuannya dengan Macan Gunung Papandayan tadi membersitkan pertanyaan yang tak terjawab. Sebenarnya apa yang menyebabkan orang itu datang ke Alas Roban dan mencoba ilmu kanuragannya? Mungkinkah dia sudah mengetahui jati dirinya dan berusaha mengusik ketenangan hidupnya? Lalu apa untungnya mengganggu ketenangan hidup orang lain? Bukankah dia sendiri tidak pernah mengganggu ketenangan hidup orang kecuali melaksanakan kewajiban seorang prajurit? Tampaknya sejarah hendak mengulang peristiwa yang sama?

Ki Seblu membetulkan ikat kepalanya yang hampir menutup dahi. Di kejauhan terdengar suara lolong anjing. Para peronda memukul kentongan bertalu-talu untuk membangunkan penjaga yang tertidur. Hampir setiap kademangan mempunyai cara tersendiri untuk mengamankan wilayah kademangannya dari gangguan keamanan. Pudarnya pamor Kerajaan Mataram seiring mangkatnya Kanjeng Sultan Agung rupanya membawa dampak buruk bagi keamanan negara. Benih-benih pemberontakan mulai muncul di Brang Wetan dan Brang Kulon, juga di Tanah Sabrang. Menurut berita sayup-sayup yang dibawa para pedagang lintas Tanah Jawa, para pangeran di Brang Wetan seperti Blambangan mulai berani menunjukkan ketidaksetiaan kepada pemerintah pusat di Mataram. Sementara di kotaraja Mataram sendiri, para petinggi sepertinya sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga percikan api pembelotan yang meletik di beberapa wilayah lepas dari pengamatan mereka.

Pada masa pemerintahan Kanjeng Sultan Agung, wilayah kekuasaan kerajaan Mataram mencapai daerah-daerah yang sangat jauh, hampir tidak ada jengkal Tanah Jawa dan pulau-pulau di luarnya yang tidak berada di bawah panji-panji Mataram. Kekuasaan yang terlalu luas dan kesadaran para pangeran muda Mataram yang terlalu sempit inilah yang menyebabkan wilayah-wilayah yang jauh itu satu per satu lepas kendali dan tanpa disadari menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berada di luar struktur kekuasaan kerajaan Mataram. Sementara itu kelezatan gaya hidup di keraton membuat para petinggi dan pangeran terlena pada kewajibannya sebagai pengayom warga negara.

Ki Seblu hanya bisa mengurut dada mengenang semua peristiwa itu yang menyebabkan dirinya keluar dari pasukan pengawal kerajaan di kotaraja dan memilih hidup baru sebagai petani di kawasan Alas Roban yang menyimpan sejuta misteri. Di daerah ini dia akhirnya bertemu dengan isterinya, Menur, anak gadis kepala dukuh Asemjajar, salah satu pedukuhan di kademangan Kadiproyo. Dari Menur itu pula Ki Seblu mendapatkan seorang anak laki-laki tunggal, yang kemudian diberinya nama Jaka Pamegat. ‘Pamegat’ yang berarti ‘berpisah’ dimaksudkan untuk mengenang perpisahannya dengan Mataram, dunia kegaiban yang dicintainya sekaligus disesalinya karena melahirkan terlalu banyak harapan dan penyesalan.

Beberapa orang peronda yang sedang berpatroli di luar desa berpapasan dengan Ki Seblu. Mulanya mereka terkejut melihat ada seseorang melintasi wilayah pedukuhan mereka, namun setelah dekat mereka menarik napas lega. Orang yang berjalan itu tetangga dukuh mereka sendiri.

“Ki Seblu, dari mana malam-malam begini?” tanya seorang dari mereka.

“Dari Kedung Watangan,” jawab Ki Seblu tenang.

Orang-orang yang mendengar sangat terperanjat.

“Kedung Watangan? Bukankah itu daerah angker? Ada keperluan apa Ki Seblu?” tanya seorang lainnya.

“Tidak penting, hanya orang kaya yang kelebihan uang. Dia ingin menukar ladangku dengan emas dan perak. Tentu saja aku tidak mau, dia marah dan menantangku berkelahi,” Ki Seblu terpaksa berbohong.

“Kurang ajar orang itu. Terus Ki Seblu terima tantangannya?” (BERSAMBUNG)

0 komentar:

Posting Komentar