KABUT DI ALAS ROBAN (6)

alas robanKABUT DI ALAS ROBAN (6)

OLEH: SUGITO HADISASTRO


“Tentu saja tidak, aku tidak bisa berkelahi, kutinggal pulang saja.”

Para peronda itu tampak kecewa.

“Terima saja, Ki. Nanti kami bantu.”

Ki Seblu hanya tersenyum mendengar tawaran mereka. Dalam hati dia tertawa, lima atau enam orang peronda itu tidak akan menang melawan Macan Gunung Papandayan.

“Hati-hati Ki Seblu, Ki Demang berpesan agar keamanan kademangan ditingkatkan, gerombolan begal Gunungpring semakin merajalela. Mereka sudah berani merampok penduduk kademangan sebelah.”

Langkah Ki Seblu terhenti.

“Apakah ada korban?” tanya Ki Seblu.

“Tidak, Ki. Ketika mereka sedang beraksi, mendadak ada seorang laki-laki yang datang dan mengusir gerombolan begal itu,” jawab pemimpin kelompok peronda.

Ki Seblu semakin tertarik.

“Ada yang tahu bagaimana ciri penolong itu?”

“Kami tidak melihatnya, Ki. Tapi katanya orang itu mengenakan pakaian seperti pendekar dari Tanah Pasundan.”

Jika benar demikian yang dikatakan para peronda, tidak diragukan lagi itu pasti Macan Gunung Papandayan. Jadi, kemungkinan besar orang itu masih berada di sekitar daerah ini. Apa yang dicarinya dan apa keperluannya menjadi tanda tanya besar di benak Ki Seblu. Sudahlah, waktu pula nanti yang akan menjawabnya.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada para peronda, Ki Seblu meneruskan perjalanan pulang. Di tikungan yang gelap, Ki Seblu berhenti sejenak untuk mengatur pernapasannya, lalu berjalan cepat dengan langkah-langkah panjang. Sebelum kokok ayam jantan terdengar pertama kali, orang tua yang rajin merawat sawah dan ladangnya ini sudah tiba di rumahnya.

Kremo Lampit, tetangganya yang pekerjaannya membuat anyaman tikar dari bulungan, sedang tidur pulas di ambin depan. Kremo Lampit selalu menjaga rumah Ki Seblu apabila si empunya rumah sedang bepergian. Mengetahui Ki Seblu pergi malam tadi, dia langsung berkunjung ke rumah tetangganya itu dan menunggu sampai Ki Seblu pulang, tak tahunya malah ketiduran.

Ki Seblu merasa kasihan untuk membangunkan Kremo, tapi pendengaran orang tua bertubuh kecil ini masih cukup tajam. Mendengar ada bunyi halus derit pintu, dia langsung terjaga. Tangannya meraba kedua matanya dan mengucak-ucaknya sejenak.

“Oh, rupanya Ki Seblu sudah pulang,” katanya.

“Ya, teruskan tidurmu, pagi masih jauh.”

“Terima kasih, Ki. Besuk pagi-pagi aku harus sudah ke ladang memetik nangka,” kata Kremo, lalu bangkit dan dengan sedikit terhuyung berjalan ke rumahnya sendiri, tidak jauh dari rumah tetangganya ini. Ki Seblu menjenguk cucunya dan menantunya sebelum beristirahat di biliknya sendiri, dekat dapur.

Matanya memejam, namun pikirannya bekerja keras. Menggabung-gabungkan kejadian-kejadian aneh yang dialaminya sejak pertemuannya dengan Macan Gunung Papandayan kemarin malam. Jauh di dalam lubuk kenangannya memang ada seorang tokoh Pasundan yang terus dikenangnya, yaitu Ki Caluring. Semasa hidupnya guru silat dari Linggarjati itu pernah membantu Kanjeng Sultan Agung memerangi orang-orang asing yang membangun benteng pertahanan di Jayakarta. Meskipun akhirnya Ki Caluring dan pengikutnya gugur di medan laga, namanya hingga kini tersimpan rapi di hati Ki Seblu.

Menurut cerita para pedagang Campa dan Tionghoa yang melintasi pantai utara Tanah Jawa, Gunung Papandayan berada sangat jauh dari Linggarjati. Lalu, apakah ada hubungan antara Ki Caluring dengan Macan Gunung Papandayan? Ki Seblu tidak tahu pasti. Sedikit demi sedikit kenangan atas Ki Caluring membawanya ke sebuah tempat di sebelah selatan Jayakarta yang bernama Leuwi Ledok. Di sanalah Ki Caluring pernah mengatakan memiliki seorang murid yang masih keponakannya sendiri. Murid itu ditinggalkannya di sana untuk menjaga pesanggrahannya dan lumbung beras yang akan diserahkan kepada pemimpin laskar Mataram, Ki Jaga Bahu. Kabar tentang murid Ki Caluring dan pesanggrahan di Leuwi Ledok itu kemudian hilang tertimbun aliran waktu bersamaan dengan gugurnya Ki Caluring di medan laga.

Ki Seblu baru berhasil melepas lelah ketika ayam jantan berkokok kedua kalinya. Sebentar lagi fajar akan memerah di langit timur. Nyi Seblu sudah terbangun. Seperti biasa dia mempersiapkan keperluan pagi itu dan pergi ke belik di belakang rumahnya. Belik yang terletak di tepian sungai kecil berair jernih itu selalu ramai sepanjang pagi hari. Para wanita dan anak-anak mengikuti ibu mereka bermain air di sana. Para lelaki juga membasuh muka di situ sebelum memulai kerja di sawah dan ladang. Beras, ketela, ubi-ubian dan sayuran yang akan dimasak setiap harinya dibersihkan di belik itu, yang oleh penduduk Asemjajar disebut Sendang Banyu Urip.

***
Menurut hitungannya ini pekan yang kelima Jaka Pamegat berada di kotaraja Mataram. Sebuah kota paling besar dan ramai yang ada di Tanah Jawa, dibangun di atas bekas hutan Mentaok oleh Ki Pemanahan dan anaknya, Panembahan Senopati, kakek Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma. Kediaman sultan dan keluarganya yang dinamakan keraton berupa bangunan kayu jati pilihan, beratapkan sirap kayu dan berhalaman luas. Setiap sudut halaman dibatasi dengan dinding kayu setinggi orang dewasa dan dijaga terus-menerus oleh pasukan bersenjata tombak secara bergantian. Halaman depan dan belakang keraton ditumbuhi berbagai tanaman yang asri. Di hadapan keraton terdapat alun-alun dengan sepasang pohon beringin di tengahnya. Jauh di utara apabila langit tidak berawan, seseorang dapat memandang dengan jelas Gunung Merapi yang sering mengepulkan asap. Sementara jauh di arah selatan, debur ombak Segara Kidul di Parang Teritis seakan membentengi keraton dari serangan musuh.

Para pejabat tinggi pemerintahan dan militer tinggal di seputar keraton. Kediaman mereka rata-rata asri menghadap jalan-jalan besar yang saling terhubung. Di seputar keraton ada pasar tempat para pedagang dan pembeli bertemu. Para pedagang datang dari berbagai wilayah di Brang Kulon dan Brang Wetan, seperti Jayakarta (setelah diduduki VOC beralih nama Batavia), Campa, Arab, Tionghoa, Swarnadwipa, Pasundan, Cirebon, Asem Arang, Surabaya, Tuban, Gresik, Madiun, dan sebagainya. Barang-barang yang diperdagangkan beraneka-ragam, seperti batu mulia, permadani, rempah, kemenyan, kuda, ternak, buah-buahan, senjata, alat-alat pertanian, keperluan rumah tangga, dan sebagainya. Di lingkungan keraton juga sudah dibangun masjid, tempat persembahyangan orang-orang muslim Mataram.

Jaka Pamegat sangat terkesan dengan keramaian kotaraja Mataram. Pedati bermuatan barang dagangan hilir-mudik di jalanan berdebu, sesekali para pangeran muda berkendara kuda menyibak kerumunan orang yang sedang berjual-beli di jalanan di sekitar pasar. Seorang Tionghoa tua dengan rambut dikucir panjang, dengan cerdiknya menawarkan macam-macam obat dan pernik-pernik peralatan rumah tangga. Seorang pedagang Persia sedang menawarkan permadani yang sangat indah kepada beberapa orang pangeran muda. Banyaknya orang luar kota yang berdagang di pasar membawa berkah bagi kedai-kedai dan penginapan. *** (BERSAMBUNG)

0 komentar:

Posting Komentar