KABUT DI ALAS ROBAN (9)

KABUT DI ALAS ROBAN (9)

Oleh: Sugito Hadisastro

“Begitukah perilaku para pangeran muda kotaraja Mataram terhadap wanita?” tanya Jaka Pamegat seperti kepada diri sendiri.

“Tidak selalu begitu, Raden. Masih banyak para pangeran yang berbudi luhur dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Namun, memang ada sebagian bangsawan seperti Raden Pedut yang sering membuat keonaran di kotaraja. Maaf, kenalkan saya Jalak Wareng dari dukuh Watu Glagah, tidak jauh dari kotaraja, masih bertetangga dengan Rara Warasih.”

“Paman Jalak Wareng, sekarang keadaannya sudah aman. Tolong Rara Warasih diantarkan pulang sampai ke rumahnya,” kata Jaka Pamegat, dia sendiri hendak kembali ke kotaraja.

“Sebentar Raden. Bukankah tadi Dadung Arakan berkata akan kembali lagi ke sini? Itu artinya prajurit Katumenggungan Sureng Renggan bersama Dadung Arakan akan mengiringkan Raden Pedut ke sini. Raden akan menerima hukuman dari putera Tumenggung Sureng Rengga itu,” kata Jalak Wareng dingin.

“Baiklah kalau begitu, aku akan menunggu di tempat ini. Aku tidak mempunyai urusan langsung dengan Raden Pedut. Aku hanya menolong seorang wanita yang teraniaya.”

Rara Warasih semakin ketakutan, ada rasa penyesalan di hatinya.

“Maafkan, Raden. Saya tidak bermaksud membawa Raden ke dalam urusan yang sulit dengan Raden Pedut.”

“Tenanglah, kau tidak bersalah. Orang-orang semacam Dadung Arakan harus diberi pelajaran agar tahu cara menghargai orang lain, termasuk wanita.”

Dadung Arakan tidak sekedar menggertak. Tak lama setelah itu terdengar derap kaki-kaki kuda yang dipacu kencang menuju ke tempat Jaka Pamegat berdiri. Dia segera meminta Jalak Wareng membawa pergi Rara Warasih. Sebentar lagi dia akan benar-benar terlibat dalam urusan yang tidak diharapkannya.

Derap kaki-kaki kuda berhenti di hadapan Jaka Pamegat. Rara Warasih dan Jalak Wareng sudah bersembunyi. Suasana hening. Jaka Pamegat menghitung ada lima prajurit di atas kuda masing-masing, salah satunya pastilah Raden Pedut. Seorang pemuda gagah berwajah putih dengan kumis tipis melintang di atas bibirnya yang kemerah-merahan maju mendekati Jaka Pamegat. Matanya tidak setajam Dadung Arakan, namun memancarkan rasa percaya diri yang tegas. Jaka Pamegat membatin, mungkin inilah yang dinamakan Raden Pedut. Seandainya pemuda ini cukup baik budi dan perilakunya pastilah banyak gadis yang bersedia dijadikan isterinya.

“Dadung,” suaranya dingin, penuh keangkuhan.

Dadung Arakan mendekat. Sinar matanya masih menyisakan dendam yang menyala-nyala. Kekalahan tadi merupakan penghinaan terhadap martabat seorang prajurit Sureng Renggan yang tidak akan dimaafkan.

“Kamu bilang dipermalukan orang ini?”

“Benar, Raden. Orang ini sombong sekali. Dia telah mencampuri urusan Raden. Dia pasti belum tahu siapa Raden Pedut,” jawab Dadung Arakan dengan sedikit gemetar.

Raden Pedut memandang Jaka Pamegat dari atas kudanya. Pandangan yang merendahkan seorang pemuda pedesaan. Dalam hati dia berkata, pemuda itu tampaknya bukan orang sombong, tapi kenapa dia mencampuri urusan yang bukan urusannya? Itu artinya dia akan berhadapan dengan Raden Pedut. Semua orang kotaraja Mataram tahu bagaimana tindakan anak Tumenggung Sureng Rengga ini jika kehendaknya diganggu. Hanya Adipati Anom Mataram yang dapat menghentikan keinginan murid kesayangan Ki Ajar Logending ini.

“Dadung, benarkah kamu tidak dapat meringkus anak desa itu?”

Dadung Arakan menganggukkan kepala dalam-dalam.

“Baiklah. Siapa namamu orang desa? Jangan bergembira dulu bisa mengalahkan Dadung Arakan. Aku ingin melihat dengan mata kepalaku bagaimana kamu nanti bisa mengalahkan Nyoman Kendit dan Kraeng Nimba,” desis Raden Pedut tenang. Keduanya adalah prajurit Mataram pengawal ndalem Sureng Renggan. Nyoman Kendit berasal dari Bali dan Kraeng Nimba keturunan Bugis. Seorang prajurit lainnya yang tetap diam di samping Raden Pedut adalah Wasi Lunjar. Dia belum bertindak sebelum mendapatkan perintah dari tuannya. Wasi Lunjar juga orang kepercayaan Raden Pedut karena anak seorang warok kenamaan dari Ponorogo yang mempunyai kepandaian ilmu kanuragan cukup tinggi.

Jaka Pamegat tetap tenang berdiri di tempatnya. Jalak Wareng dan Rara Warasih yang bersembunyi di balik perdu menahan napas. Mereka berdua mengira bahwa kematian pemuda penolongnya itu tinggal menunggu waktu kedua prajurit itu menyerangnya. Dalam hati mereka berdoa agar Jaka Pamegat memperoleh pertolongan dari Tuhan sehingga mampu mengatasi lawan-lawannya.

Nyoman Kendit dan Kraeng Nimba sudah turun dari kuda-kudanya. Nyoman Kendit terkenal dengan tendangan mautnya, sementara Kraeng Nimba pandai memutar leher musuh-musuhnya hingga patah tulang lehernya. Raden Pedut merasa tak tertandingi apabila dikelilingi oleh keempat pengawal kepercayaannya ini. Di kotaraja Mataram para gadis memilih bersimpang jalan jika di kejauhan terlihat ada Raden Pedut dan para pengawalnya. Para orang tua juga khawatir jika anak gadisnya diminta oleh anak Tumenggung Sureng Rengga ini. Orang-orang desa yang bersahaja hanya pasrah saja mengikuti aliran nasib ketika anaknya menjadi korban kebiadaban Raden Pedut.

“He, sebutkan namamu sebelum orang yang melihat mayatmu tahu namamu!” desak Raden Pedut, sorot matanya memancarkan kepongahan.

“Orang memanggilku Jaka Pamegat, asalku dari Kadipaten Watang,” jawab anak Ki Seblu ini tenang, tidak merasa masygul meskipun direndahkan harga dirinya oleh salah seorang bangsawan Mataram.

Nyoman Kendit dan Kraeng Nimba sudah memilin lengan bajunya. Meskipun keduanya bukan orang Jawa, keduanya mengenakan pakaian seragam katumenggungan Mataram. Perkelahian dua lawan satu sebentar lagi akan terjadi. Jaka Pamegat tidak tahu seberapa tinggi ilmu kanuragan kedua calon lawannya itu. Namun, keduanya tentu bukan prajurit kebanyakan. Mereka pasi telah dipilih menjadi prajurit pengawal katumenggungan setelah melewati ujian yang cukup berat. Dan keduanya kini benar-benar ingin melumatkan dirinya.

“Jaka Pamegat, sebenarnya kami malu menghadapi seorang pemuda desa secara bersamaan. Tapi ini perintah Raden Pedut, apa pun akan kami lakukan. Lagi pula, seorang yang mampu mengalahkan Dadung Arakan pastilah orang yang mempunyai kepandaian tinggi,” desis Nyoman Kendit setengah berbisik.

“Benar katamu, Nyoman. Mari kita selesaikan pekerjaan ini secepat mungkin. Tanganku sudah gatal. Dengan berdua pekerjaan kita menjadi lebih ringan, bukan?”

“Ayo cepat ringkus cecunguk itu, tunggu apa lagi!” Teriak Raden Pedut dari kejauhan. Tanpa menunggu perintah yang kedua, Nyoman Kendit dan Kraeng Nimba segera maju secara bersamaan hendak menyerang Jaka Pamegat. Pemuda pesisir utara yang sudah memperhitungkan segala kemungkinan terburuk di perantauan ini pun sudah bersiap menghadapi kedua prajurit Sureng Renggan. Keberadaannya di padepokan Arga Kamulyan bersama Bagus Rangga di bawah asuhan Ki Panjer akan sangat membantunya mengatasi keadaan genting di tempat ini sebentar lagi. Pertarungan yang seru segera dimulai. *** (BERSAMBUNG)

1 komentar:

  1. budies mengatakan...

    hampir semua blog mgmp kok mandeg kecuali blog ini..padahal saya memilih kata kunci mgmp bahasa

Posting Komentar