KABUT DI ALAS ROBAN (8)

KABUT DI ALAS ROBAN (8)

OLEH: SUGITO HADISASTRO

Pemuda itu sangat yakin bahwa kerisnya akan menembus perut orang yang mengganggunya dan dengan sekali tekan ke samping akan terburai isi perutnya. Kematian demikian sangatlah pantas bagi orang kurang ajar yang menghalangi urusan Raden Pedut. Namun, kali ini pengawal Raden Pedut harus mengakui kegagalannya. Jaka Pamegat yang diserang dengan keahlian seorang prajurit Mataram pilih tanding itu hanya menggeser sedikit badannya ke samping, dan tanpa disadari oleh penyerangnya dia sudah menangkap tangan kanannya lalu memilinnya dengan keras.

Pemuda itu meraung seperti seekor kambing yang disembelih dengan parang tumpul. Kiai Brongot, keris andalannya, terlepas dari genggamannya. Lengannya serasa patah, giginya gemeretak menahan amarah yang meluap-luap. Selama menjadi orang kepercayaan Raden Pedut, baru sekali inilah dia dipermalukan oleh seorang asing di wilayah kotaraja Mataram. Apalagi disaksikan oleh Rara Warasih dan penduduk kotaraja. Sakit hatinya berlipat-lipat.

Dadung Arakan, nama kaki tangan Raden Pedut itu, berdiri di tempatnya. Matanya merah menyala terbakar api kemarahan. Kiai Brongot tergeletak di dekat kaki Jaka Pamegat. Harga dirinya sangat terhina. Jika dia menghadap tuannya tanpa Rara Warasih, maka nyawanya taruhannya. Tapi jika dia melawan orang di hadapannya ini, belum tentu dia menang. Sebuah pilihan sulit, namun dia harus mencoba. Raden Pedut mungkin akan mengampuninya kalau dia benar-benar telah berusaha merebut Rara Warasih dari tangan orang ini.

“Jangan sombong anak muda. Sebelum aku lumat tubuhmu di Mataram, sebutkan siapa namamu dan dari mana asalmu?” tantang Dadung Arakan, menyembunyikan rasa takutnya yang mulai menyelimuti hatinya. Bagaimana dia akan melawan orang itu tanpa keris andalannya?

“Namaku tidak penting, tapi jika kau memerlukan, aku tidak keberatan. Namaku Jaka Pamegat, asalku Kadipaten Watang.”

“Bah, orang pesisir, sombong benar kamu. Sekarang berlututlah biar aku mudah memotong lehermu.”

“Cobalah jika mampu,” jawab Jaka Pamegat tenang setenang air telaga. Hanya dengan ketenangan semua persoalan dapat teratasi dengan baik, itulah salah satu pesan ayahnya yang terus diingatnya setiap dia menghadapi masalah.

“Ambillah kerismu,” Jaka Pamegat memungut keris Kiai Brongot dan melemparkannya ke arah Dadung Arakan. Dengan perasaan terhina pengawal Raden Pedut menangkap kerisnya. Keberaniannya muncul kembali, dan dengan didorong oleh amarah yang meluap-luap di dadanya, dia meloncat lagi memburu mangsanya dengan sepenuh tenaga.

Meskipun Jaka Pamegat akhirnya mengetahui seberapa tinggi kepandaian ilmu kanuragan lawannya, dia harus tetap berhati-hati agar dapat mengatasi lawannya dengan tidak menyebabkan kematian. Dia hanya ingin memberikan pelajaran kepada orang itu agar tidak berlaku keji terhadap orang lain yang direndahkan harkatnya.

Serangan Dadung Arakan tetap saja tidak menemui sasaran. Lawannya terlalu pandai menghindar dan anehnya dia tidak melancarkan serangan balasan. Dadung Arakan mulai merasa bahwa orang ini tidak dapat diremehkan. Andaikan mau, dia pasti dengan mudah bisa mengalahkan dirinya dalam beberapa jurus. Jika perkelahian ini diteruskan, pasti sebentar lagi akan disaksikan orang-orang yang kembali dari pasar. Dia akan sangat malu jika kekalahannya disaksikan banyak orang. Dia harus mengeluarkan puncak kepandaiannya yang selalu digunakan jika dia terdesak, dan belum pernah gagal. Dia pun meloncat beberapa langkah ke belakang, mengatur pernapasan, dan melancarkan serangan mautnya yang membahana laksana angin puyuh.

Lagi-lagi pengawal kepercayaan Raden Pedut ini harus menelan kekecewaan, karena lawannya hanya perlu menggeser sedikit badannya untuk lolos dari gempuran mautnya. Tibalah saatnya Jaka Pamegat benar-benar ingin memberikan pelajaran kepada lawannya yang semakin kalap itu. Badannya memutar ke kiri dan begitu tangan Dadung Arakan yang menggenggam keris lewat di sisinya, kepalan tangan kanannya menghantam pelipis kanan Dadung Arakan. Pukulan itu tidak terlalu keras, namun akibatnya luar biasa. Tubuh Dadung Arakan yang gempal terdorong ke samping kiri dan jatuh terjengkang. Kerisnya terlepas lagi bahkan ke arah Rara Warasih dan seseorang yang ikut menyaksikan perkelahian itu sejak tadi.

Dadung Arakan menggeram seperti banteng terluka, hatinya semakin panas terbakar api amarah yang menggelora. Sumpah serapahnya muncrat seperti air mancur yang habis tersumbat.

“Setan alas, kau manusia atau iblis, hah? Belum pernah ada orang yang bisa menahan serangan jurus ‘Cakar Elang’-ku, kecuali iblis pesisir kurang ajar. Sekarang enyahlah atau aku akan mengadukan semua ini kepada Raden Pedut,” teriak Dadung Arakan sambil tertatih-tatih bangkit dan duduk seperti pesakitan.

Orang yang berdiri di dekat Rara Warasih tak kuasa menahan senyum melihat pemandangan yang lucu ini. Bagaimana tidak, Dadung Arakan yang selama ini selalu dielu-elukan oleh sesama prajutit Sureng Renggan karena keberaniannya dan ketinggian ilmu kanuragannya, dan menjadi andalan anak Tumenggung Sureng Rengga yang bernama Raden Pedut itu, ternyata tidak berdaya menghadapi seorang pemuda yang bersahaja ini.

Menghadapi caci maki Dadung Arakan, Jaka Pamegat berujar tenang.

“Tak kusangka orang Mataram pandai mencaci maki.”

Dadung Arakan semakin terbakar amarahnya mendengar sindiran lawannya, teriaknya; “Apa pedulimu, hah? Jangan lari dari persoalan ini, siapa pun yang mencampuri urusan Raden Pedut akan menyesal seumur hidup.” Selesai mengancam lawannya, Dadung Arakan mengambil kerisnya lalu menyarungkannya dan meloncat ke atas kudanya dan memacunya dengan sekencang-kencangnya.

Jaka Pamegat hanya menyaksikan lawannya pergi dengan membawa dendam yang menyala-nyala. Rara Warasih dan orang tadi mendekati Jaka Pamegat. Dengan agak ketakutan gadis malang itu mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih, Raden.”

“Baiklah, sekarang ceritakan apa hubungan kejadian tadi dengan Raden Pedut?” tanya Jaka Pamegat.

Rara Warasih seperti menyimpan rahasia yang tabu diceritakan kepada orang lain. Orang yang berdiri di dekat Rara Warasih ikut membujuk gadis itu agar berterus terang.

“Katakan Rara, anakmas ini tampaknya orang yang baik hati.”

“Saya takut Dadung Arakan semakin kejam kepadaku dan keluargaku, paman Jalak Wareng.”

“Jangan takut, jika kamu benar dan Dadung Arakan salah, aku akan membela kamu dan keluargamu,” kata Jaka Pamegat meyakinkan gadis itu.

Rara Warasih menimbang-nimbang sebentar.

“Raden Pedut menghendaki kakakku, Rara Ambengan, tapi ayahku tidak mengijinkan karena Raden Pedut itu senang mempermainkan wanita. Lalu ayahku menyuruh kakakku pergi ke hutan untuk bersembunyi. Raden Pedut menyuruh Dadung Arakan untuk mengambil kakakku Rara Ambengan. Ketika Dadung Arakan mengetahui kakakku meninggalkan rumah, dia marah sekali dan memukuli ayahku, lalu membawaku sebagai gantinya.” *** (BERSAMBUNG)

0 komentar:

Posting Komentar