CERMIN DI TENGAH BATANG VIII

8. MELAWAN BADAI UJIAN

“Maaf, Pak!”ujar Gadis seraya menggeser letak duduknya.

“Iya?”

“Tahun berapa dulu Pak Gito bisa meneruskan sekolah lagi, Pak?”

Pak Gito menelan ludah pahit.

“Sampai awal tahun 1975, Pak Gito belum bisa masuk sekolah lagi, Nak. Ini berarti tahun ketiga bagi Pak Gito menjadi pengangguran total. Bekerja, tidak. Sekolah pun apalagi?”

“Terus, apa yang diperbuat Pak Gito selanjutnya?”pancing Gadis.

“Demi bisa mewujudkan keinginan untuk bisa bersekolah lagi,”demikian tutur Pak Gito. “Dengan berbekal ijazah STN, Pak Gito mencoba melamar pekerjaan di pabrik textile PT. Primatexo Indonesia.”

“Apakah lamaran Pak Gito bisa diterima?”masih tanya Gadis.

“Setelah melewati masa-masa seleksi yang amat ketat,”jawab Pak Gito. “Setelah melewati penyaringan data dari sekian ratus pelamar,”sambungnya. “Alhamdulillah! Pada tanggal 13 Oktober 1975, dengan Surat Keputusan Direktur PT Primatexo Indonesia, Tamim Basuni, SE, Pak Gito diterima sebagai karyawan baru di PT tersebut. Pak Gito diterima di bagian Weaving Preparations (WP) sebagai Pembantu Operator.”

“Dengan demikian,”kataku. “Karena bisa memperoleh uang sendiri,”sambungku lagi. “Apakah masih ada keinginan bagi Pak Gito untuk bersekolah kembali,Pak?”

“Iya, masih!”sahut Pak Gito mantap. “Lebih-lebih bila melihat banyak anak sedang berangkat atau pulang sekolah. Keinginan Pak Gito untuk kembali ke bangku sekolah, sungguh tak terbendungkan! Namun, ah....!”Pak Gito tidak melanjutkan kalimatnya.

“Namun, kenapa, Pak?”sahut Gadis cepat.

“Ada dua pilihan berat yang berkecamuk di dalam pikiran Pak Gito.”

“Maksud, Pak Gito?”kening Gadis berkerut.

“Pak Gito dihadapkan pada dua pilihan, yaitu antara tetap bekerja dan bersekolah lagi.”

“Kalau memilih bersekolah lagi, apa yang menjadi batu sandungan bagi Pak Gito?”tanyaku ingin tahu.

“Yang menjadi batu sandungan bagi saya,”demikian Pak Gito berujar.”Mampukah saya mengikuti pelajaran, karena sudah tiga tahun berlalu tidak bersekolah? Adakah sekolahan yang mau menerima seorang buruh pabrik seperti saya ini? Andaikan ada, bagaimana cara saya membagi waktu, antara sekolah dan bekerja?”

“Terus kenyataannya bisa ‘kan, Pak?”

Pak Gito mengangguk.

“Bagaimana kisahnya, Pak?”tanyaku ingin tahu lebih jauh.

“Dalam rasa kebingungan itu,”jawab Pak Gito. “Suatu hari saya bertandang ke rumah Ustad Masdar,”lanjutnya. “Di sana ternyata telah banyak teman berkumpul. Mereka sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Namun, saya kaget…..”

“Apa yang Pak Gito kagetkan?”

“Dengan kedatangan Pak Gito di tengah-tengah mereka,”sahut Pak Gito. “Tiba-tiba Benu, adik Rokhmat, meninggalkan pertemuan. Katanya mau berangkat sekolah. Masuknya siang hari.”

“Kenyataan, Benu ke mana, Pak?”potong Melati.

“Oleh jawaban Ustad Masdar,”demikian Pak Gito menjawab.”Benu menjadi murid sekolah Pendidikan Guru Agama Muhammadiyah (PGAM 4 Tahun) di Batang.”

“Lantas?”

“Kembali Pak Gito kaget.”

“Kenapa, Pak?”

“Sejak kapan di Batang ada sekolah PGAM 4 Tahun? Kok Pak Gito tidak pernah tahu?”jawab Pak Gito.

“Lalu, Pak Gito tahu dari siapa?”

“Dari Ustad Masdar juga.”

“Kata Ustad Masdar,”masih kata Bahtiar. “Kapan sekolah tersebut berdiri, Pak?”

“Katanya, sejak tahun pelajaran 1975. Bahkan sejak tahun itu pula, sekolah tersebut sudah mulai menerima siswa baru.”

“Lalu, siswa yang bisa diterima, lulusan dari mana, Pak?”timpal Ardhana.

“Lulusan SD atau MI.”

“Dengan adanya sekolah tersebut, bagi Pak Gito sendiri bagaimana?”masih Tanya Ardhana.

“Ustad Masdar menawari Bapak. Jika Pak Gito mau, akan ditanggung langsung bisa diterima di sekolah tersebut.”

“Bagaimana tanggapan Pak Gito?”

“Pak Gito tidak bisa langsung menjawab seketika itu juga.”

“Mengapa sebabnya, Pak?”sahut Melati.

“Sebab, Pak Gito bingung.”

“Apa yang Pak Gito bingungkan?”aku, Virdha ganti bertanya.

“Yang Pak Gito bingungkan,”jawab Pak Gito. “Pada tahun 1973, Pak Gito telah tamat dari STN 2 Batang,”lanjutnya. “Sekarang, jika Pak Gito masuk ke PGAM 4 Tahun, sekolah setingkat dengan SMP,”lanjut Pak Gito lagi. “Berarti Pak Gito akan kehilangan waktu 6 tahun sia-sia.”

“Maksud, Pak Gito?”masih tanyaku.

“Maksud Bapak,”Pak Gito menyahut. “Jika Pak Gito meneruskan di sekolah ini,”sambungnya. “Sama halnya Pak Gito membuang waktu 3 tahun selama duduk di bangku STN 2 Batang. Ditambah 3 tahun lagi, selama Pak Gito menjadi pengangguran total. Belum, kalau melihat usia teman-teman di PGAM 4 Tahun, rata-rata baru lulus SD atau MI. Apakah mereka tidak 6 tahun lebih muda dari usia Pak Gito? Bisakah Pak Gito bergaul dengan mereka?”

“Terus, langkah apa yang Pak Gito ambil?”Melati bertanya.

“Pak Gito terus diselimuti rasa kebimbangan,”jawab Pak Gito. “Jika kesempatan baik ini tidak Pak Gito ambil,”lanjutnya. “Sampai kapan pun tak akan ada sekolah yang mau menerima Pak Gito. Mengingat usia Pak Gito sudah kelewat tua untuk ukuran murid sekolah lanjutan. Dengan demikian, berarti nasib Pak Gito akan tetap menjadi buruh pabrik selamanya.”

“Terus, Pak?”sahutku.

“Hari-hari berikutnya, Pak Gito makin merasa dituntut untuk menentukan salah satu dari dua pilihan. Yaitu antara tetap bekerja di pabrik, atau mendaftarkan sekolah di PGAM 4 Tahun.”

“Akhirnya, keputusan,mana yang Pak Gito pilih?”potong Melati.

“Pak Gito pilih dua-duanya. Sekolah, juga bekerja.”

“Tahu keadaan seperti itu,”ujar Melati selanjutnya. “Bagaimana tanggapan Kakek dan Nenek Pak Gito?”

“Keduanya menanggapi keputusan Pak Gito dengan senang hati. Mereka setuju, kalau awal tahun 1976 Pak Gito masuk sekolah lagi. Asalkan, Pak Gito pandai mengatur waktu antara sekolah dan bekerja.”

“Bagaimana perasaan Pak Gito pada saat itu?”tanya Bahtiar.

“Perasaan Bapak,”sahut Pak Gito. “Walaupun harus kehilangan waktu 6 tahun. Ditambah harus sanggup berteman dengan anak-anak yang baru saja lulus dari SD atau MI, Pak Gito senang-senang saja.”

“Di sekolah yang baru, adakah anak lain yang seusia Bapak?”aku bertanya.

“Ada!”jawab Pak Gito mantap. “Dia bernama Warnidi. Teman sekampung Bapak yang juga sama-sama karyawan PT. Primatexo Indonesia.”

“Dari siapa Warnidi tahu, kalau di Batang ada sekolah PGAM 4 Tahun, Pak?”

“Dari Pak Gito sendiri. Dia setuju meneruskan ke sekolah tersebut, ketika Pak Gito mengajaknya pada penghujung bulan Januari 1976.”

“Apakah Warnidi juga suka bersekolah di situ, Pak?”

“Suka sekali!”sahut Pak Gito. “Apalagi tanggapan dari Kepala Sekolahnya, Ustad Abdul Karim, sangat baik pada kami berdua.”

“Apa tanggapan Beliau,Pak?”sela Ardhana.

“Beliau pernah berpesan kepada kami, agar kami bisa membagi waktu dengan baik. Maksud Ustad Abdul Karim, agar kami bisa tetap bekerja di pabrik, dan bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan lancar.”

“Selama menuntut ilmu di sekolah ini,”masih Ardhana yang bertanya. “Adakah kesulitan yang Pak Gito hadapi?”

“Ada,”jawab Pak Gito singkat.”Kesulitan yang pertama kali muncul,”sambungnya. “Bila Pak Gito dan Warnidi harus masuk kerja siang dari jam 14.00 – 22.00. Tentu saja kami berdua dengan sangat terpaksa tidak bisa masuk sekolah. Karena sekolah masuk jam 13.00.”

“Lantas, apa kesulitan yang kedua, Pak?”potong Melati.

“Kesulitan yang kedua,”jawab Pak Gito. “Bila kami harus masuk kerja pagi, dari jam 06.00 – 14.00,”sambungnya. “Kami tiba di sekolah terlambat, karena sekolah sudah masuk satu jam sebelumnya.”

“Apa kesulitan ketiganya, pak?”Teten ikut angkat bicara.

“Kesulitan ketiga,”sahut Pak Gito dengan sabar. “Bila kami mendapat giliran kerja masuk malam, dari jam 22.00 – 06.00. Kami tidak sempat tidur, sehingga di sekolah mata mengantuk berat. Akibat itu semua, kami tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik.”

“Keadaan semacam itu, berlangsung sampai berapa lama,Pak?”aku menyela.

“Untuk Warnidi,”kata Pak Gito. “Pada bulan kedua, dia memilih meninggalkan bangku sekolah. Dia tetap meneruskan pekerjaannya di PT. Primatexo Indonesia.”

“Bagaimana halnya dengan Pak Gito sendiri?”Bahtiar ikut menyela.

“Pak Gito mencoba untuk tetap bertahan, bekerja sambil sekolah. Lebih-lebih di situ ada Benu, adik Rokhmat.”

“Maksud Pak Gito?”kening Jaka sedikit berkerut.

“Pak Gito bisa meminjam catatan apa saja dari Benu. Terutama bila Pak Gito harus masuk bekerja di pabrik.”

“Keadaan samacam itu berlangsung sampai berapa lama, Pak?”tanyaku.

“Sampai pertengahan tahun 1976,”ucap Pak Gito.

“Pilihan apa yang akhirnya Pak Gito ambil, tetap sekolah atau bekerja?”masih aku yang bertanya.

“Pak Gito memilih meneruskan sekolah di PGAM 4 Tahun.”

“Setelah bekerja berapa lama, Pak Gito menyatakan keluar dari PT. Primatexo Indonesia, Pak?”Gadis bertanya.

“”Setelah bekerja selama 11 bulan.”

“Mendengar dan tahu Pak Gito keluar dari pabrik textile,”lanjut gadis. “Bagaimana tanggapan Kakek Wa’as terhadap Pak Gito?”

“Sebagai orangtua, kalau Kakek marah, wajar,”jawab Pak Gito. “Sebab pada saat itu,”lanjutnya. “PT.Primatexo Indonesia menjadi primadona bagi pencari kerja. Orang-orang dari berbagai daerah di Jawa Tengah berbondong-bondong mengajukan lamaran untuk bisa bekerja di perusahaan tersebut.

Tetapi sebaliknya, Pak Gito yang telah menjadi karyawan tetap, e......, kok malah keluar? Pantas ‘kan bila Kakek Wa’as marah-marah terhadap Pak Gito?”

Kami semua mengangguk, mengiyakan.

“Terus, bagaimana sikap Kakek Wa’as dalam sehari-hari terhadap Pak Gito?”

“Karena kecewa berat terhadap keputusan yang Pak Gito ambil,”sahut Pak Gito. “Terhadap Pak Gito, Kakek bersikap diam. Beliau tidak mau peduli lagi pada keputusan Pak Gito. Mau Pak Gito sekolah atau putus di tengah jalan, masa bodoh, Beliau!”

“Terus, siapa yang memberi dana sehari-hari untuk sekolah Pak Gito?”aku ingin tahu.

“Nenek Siti Dasti.”

“Apakah Nenek tidak sependapat dengan Kakek, Pak?”selidik Gadis.

“Tidak! Nenek lebih banyak perhatian kepada Pak Gito. Tiap menjelang berangkat sekolah, Pak Gito selalu diberinya uang saku.”

“Murah benar perhatian Nenek Siti Dasti terhadap Pak Gito, ya?”

Pak Gito tersenyum seraya mengangguk, membenarkan.

----------------------------

0 komentar:

Posting Komentar