CERMIN DI TENGAH BATANG IX

9. MULAI MENGUKIR PRESTASI

“Kiranya rintangan apa yang Pak Gito alami selama duduk di bangku PGAM 4 Tahun, Pak?”demikian Teten melanjutkan wawancara.

“Pada awalnya, Pak Gito mengalami kesulitan dalam membagi waktu antara sekolah dan bekerja. Lama kelamaan, tidak.”

“Tidak ada kesulitan bergaul dengan teman-teman 5-6 tahun lebih muda dari usia Pak Gito?”masih tanya Teten.

“Tidak juga,”jawab Pak Gito. “Kesulitan bergaul dengan teman-teman lebih muda 5-6 tahun sebagaimana yang Pak Gito bayangkan, ternyata tidak benar.”

“Ternyata bagaimana, Pak?”kali ini aku ikut menyahut.

“Bergaul dengan mereka ternyata sangat menguntungkan bagi diri Pak Gito.”

“Keuntungan apa yang Pak Gito petik?”

“Di antara kami bisa saling melengkapi kekurangan,”jawab Pak Gito. “Di sekolah yang baru itu, kegelapan dunia persekolahan Pak Gito yang sudah lama tertutup, akhirnya bisa menyala lagi. Pak Gito benar-benar memiliki semangat baru sebagai anak sekolah yang sebenarnya. Pak Gito jadi penuh percaya diri. Ini semua berkat hasil pergaulan Pak Gito dengan mereka yang lebih muda di sekolah.”

“Lantas, kegiatan apa saja yang Pak Gito ikuti selama menjadi murid PGAM 4 Tahun tersebut, Pak?”Melati ingin mengerti.

“Pak Gito bergiat diri dalam organisasi sekolah,”ungkap Pak Gito membagikan pengalaman kepada kami.

“Apa bukti Pak Gito aktif di organisasi sekolah, Pak?”tanya Bahtiar.

“Buktinya,”demikian sahut Pak Gito. “Saat duduk di kelas 3 dulu,”sambungnya. “Pak Gito bersama Nur Suparno, Slamet Dasir, dan Tri Laela (siswa SMEA Negeri Batang), terpilih untuk mengikuti Pelatihan Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IMP) se-Karesidenan Pekalongan di Pekajangan, Pekalongan.”

“Untuk berapa lama pelatihan tersebut berlangsung, Pak?”sela Jaka.

“Satu minggu.”

“Sepulang daari pelatihan,”sahut Ardhana. “Apa yang Pak Gito lakukan di sekolah?”

“Dengan dibantu teman-teman seperti; Mas’udi, Margo Utomo, Achmad Fauzi, dan Nunung Ghoniyah, Pak Gito mendirikan Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PD IPM) Kabupaten Batang.”

“Bagaimana perkembangan IPM yang Pak Gito dirikan tersebut,Pak?”tanya Dhestya.

“IPM Batang maju pesat,”jawab Pak Gito. “Puncaknya,”demikian lanjut Beliau.

“Bersama Mas’udi dan Achmadi dari Kecamatan Tersono,”sambungnya. “ Tahun 1979 Pak Gito ditunjuk untuk mewakili Kabupaten Batang di perhelatan Muktamar IPM di Jakarta.”

“Selain aktif di IPM,”sahutku.”Pak Gito aktif di organisasi mana lagi, Pak?”

“Pak Gito aktif di Gudep Pramuka Batang 55,”ujar Pak Gito. “Bersama Suripto dan M. Sodikin,”tambahnya. “Pak Gito pernah meraih Juara III dalam Lomba Lintas Alam Tingkat Provinsi Jawa Tengah, tahun 1978.”

“Di mana lomba tersebut dilangsungkan, Pak?”

“Di Karanggeneng, Ungaran, Semarang.”

“Maaf, Pak!”potong Gadis.

“Iya?”Pak Gito berpaling ke arah Gadis.

“Saat duduk di bangku STN 2 Batang dulu,”ucap Gadis. “Bapak ‘kan pernah belajar mengarang?”sambung Gadis.

“Benar. Kenapa?”

“Selama duduk di PGAM 4 Tahun,”Gadis menjawab. “Apakah Pak Gito tidak mencobanya lagi?” Pak Gito tersenyum. Wajahnya tetap ceria.

“Dalam suasana persekolahan,”ucap Pak Gito penuh semangat. “Kegiatan karang-mengarang Pak Gito di PGAM 4 Tahun Batang, muncul kembali.”

“Oh, apa iya, Pak?” Pak Gito mengiyakan.

“Walaupun baru sebatas dalam bukku harian,”ungkap Beliau. “Pak Gito rajin mengarang puisi, prosa, dan cerita pendek.Bahkan buku kumpulan puisi karya Pak Gito pun sering berpindah tempat, terutama anak-anak perempuan.”

“Dari sekian puluh puisi yang Pak Gito tulis,”sahutku. “Pernah adakah yang dimuat di media massa, Pak?”

“Pernah!”Jawab Pak Gito. “Dari sekian puisi yang Pak Gito kirimkan ke Mingguan Simponi, Jakarta, salah satunya ada yang dimuat.”

“Apa judul puisi tersebut, Pak?”masih tanyaku ingin tahu.

“Kuncup Tak Jadi.”

“Pertama kali melihat puisi karya sendiri dimuat di koran, bagaimana perasaan Pak Gito?”tanya Melati.

“Perasaan Pak Gito senang bukan main!”

“Mungkin ada alasan lain yang membuat Pak Gito sangat senang?”

“Ada memang!”sahut Pak Gito mantap. “Dengan dimuatnya tulisan Pak Gito di koran,”lanjut Pak Gito. “Berarti Pak Gito merupakan orang Dukuh Kebrok, Desa Sambong, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang yang pertama kali tulisannya terpajang di surat kabar.”

“Wah, wah, wah.....! Memang hebat sekali, Pak Gito ini!”pujiku seraya mengacungkan jempol tangan kanan. Pak Gito tidak menyahut. Beliau tersenyum-senyum saja.

“Dari kepandaian Pak Gito dalam hal mengarang,”ujar Gadis. “Pernahkah Pak Gito mengikuti sayembara mengarang untuk pelajar, Pak?”

“Pernah,”jawab Pak Gito singkat.

“Kapan itu, Pak?”masih tanya Gadis.

“Ketika Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Batang menyelenggarakan sayembara mengarang.”

“Dalam rangka apa itu, Pak?”sela Dhestya.

“Peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 1978.”

“Apa judul karangan Pak Gito saat itu?”potong Teten.

“Karangan yang Pak Gito kirimkan ke Panitia Sayembara Mengarang bagi siswa-siswi tingkat SLTP-SLTA itu berjudul ‘Ibuku’.”

“Bagaimana hasilnya, Pak?”sahutku.

“Alhamdulillah! Karya Pak Gito dinyatakan menang sebagai Juara I (Pertama) tingkat SLTP.”

“Apa hadiah yang Pak Gito terima dari kemenangan itu, Pak?”Bahtiar bertanya dengan cepat.

“Hadiahnya, sepotong kain celana,”sahut Pak Gito. “Hadiah tersebut Pak Gito ambil sendiri di kediaman Bapak Yunan Thoha, di Kawasan Dracik Kampus, Batang.”

“Siapa Bapak Yunan Thoha itu, Pak?”masih tanya Bahtiar.

“Ketua Panitia Sayembara Mengarang.”

“Bagaimana perasaan Pak Gito atas kemenangan tersebut, Pak?”tanyaku, Virdha.

“Perasaan Bapak, sungguh gembira yang tiada tara! Lebih-lebih ini merupakan kemenangan sayembara mengarang yang pertama kali bagi Pak Gito.”

“Wuih, hebat sekali Bapak, ya!”pujiku kagum.

“Ya, biasa-biasa sajalah.....!”sahut Pak Gito datar.

“E.... Maaf, Pak!”sela Bahtiar.

“Iya?”Pak Gito lurus-lurus memandang Bahtiar.

“Kapan kiranya Pak Gito tamat dari PGAM 4 Tahun Batang, Pak?”lanjut anak lelaki yang paling besar di kelompok kami itu.

“Pak Gito tamat dari MTs Muhammadiyah, tanggal 1 Mei 1979.”

“Lho, kok MTs Muhammadiyah, Pak! Bukankah sekolah Pak Gito di PGAM 4 Tahun Batang?”kening Bahtiar berkerut-kerut, tak habis mengerti.

“Sebelum menjawab, Pak Gito tersenyum.

“Benar,”ujar Pak Gito kemudian. ”Menjelang kelulusan tahun 1978,”lanjut Pak Gito.

“Pemerintah mengganti nama PGAM 4 Tahun, menjadi MTs Muhammadiyah.” Sambung Pak Gito,“Dengan demikian, MTs Muhammadiyah tidak mencetak para lulusannya untuk menjadi calon guru agama Islam.”

“Terus, bila mantan siswa PGAM 4 Tahun Batang ingin jadi calon guru, bagaimana caranya, Pak?”potong Ardhana.

“Mereka dianjurkan melanjutkan sekolah lagi di PGA 6 Tahun, masuk di kelas 4.”

“Bagaimana dengan Pak Gito sendiri?”Dhestya menyahut.

“Begitu lulus dari MTs Muhammadiyah,”jawab Pak Gito. “Bapak langsung melanjutkan ke Madrasah Aliyah Muhammadiyah (MAM) Batang.”

“Mengapa Pak Gito tidak melanjutkan ke PGA 6 Tahun?”potong Teten.

“Tidak,”sahut Pak Gito singkat. “Sebab toleransi batas usia Bapak telah terlewati. Usia Pak Gito sudah terlalu tua, sehingga tak ada jaminan bisa diterima di sana.”

“Lantas, tahun berapa Pak Gito masuk ke MAM Batang?”

“Tahun pelajaran 1979/1980.”

“Siapa sajakah teman Pak Gito waktu itu?”

“Yang Pak Gito ingat sampai sekarang antara lain; Slamet Supriyadi, Sutarto, Nunuk
Prasetyoningsih, Achmad Muhyidin, Abdul Qodir, dan Slamet Yusuf.”

“Bagaimana perasaan Pak Gito ketika jadi murid di MAM dulu?”tanya Gadis.

“Sungguh senang sekali. Lebih-lebih Pak Gito punya banyak kesibukan di sekolah tersebut.”

“Kiranya kesibukan apa saja yang Pak Gito tekuni?”

“Kesibukan di bidang ekstra kurikuler dan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah).”

“Apa contohnya, Pak?”kali ini aku, Virdha, yang bertanya.

“Contohnya,”sahut Pak Gito. “Di sela-sela belajar, Bapak menyibukkan diri berjualan majalah Suara Muhammadiyah yang terbit di Yogyakarta.”

“Setiap harikah Pak Gito berjualan majalah tersebut?”

“Tidak. Tiap dua minggu sekali majalah itu terbit.”

“Apa manfaat dari berjualan majalah tersebut, Pak?”

“Banyak sekali!”Pak Gito menjawab. ”Selain honornya bisa untuk menambah uang saku,”sambungnya. “Pak Gito juga bisa turut membaca isinya, untuk memperluas pengetahuan secara gratis.” Lanjut Pak Gito,”Bahkan sekali waktu, Bapak bisa mengirimkan berita OSIS ke majalah tersebut.”

“Sungguh pandai sekali Pak Gito di dalam mengisi waktu-waktu luang, ya?”timpal Melati.

“Ya....., memang harus begitu!”sahut Pak Gito. “Karena sebagai pelajar yang sudah kelewat remaja,”tambahnya. “Pak Gito ‘kan punya banyak kebutuhan?”

“Kebutuhan apa saja, Pak?”

“Kebutuhan peralatan sekolah. Juga kebutuhan beli pakaian.”

“Kecuali jadi loper majalah,”Dhestya menyela. “Adakah pengalaman menarik lain bagi Pak Gito?”

“Ada!”

“Apa misalnya, Pak?”masih tanya Dhestya.

“Menjadi tukang foto keliling ke kampung-kampung.”

“Bisa Pak Gito kisahkan ceritanya, Pak?”pinta Teten.

“Bisa,”jawab Pak Gito. “Ceritanya,”sambung Beliau. “Pak Harto Setyono,BA, sang Guru MAM yang punya Kodak Olympus,”lanjut Pak Gito. “Karena banyak kesibukan sebagai Guru,”sambungnya lagi. “Beliau tak sempat lagi meneruskan pekerjaan sampingannya sebagai tukang foto.”

“Terus, bagaimana, Pak?”tanya Teten lagi.

“Karena alasan itu,”ujar Pak Gito. “Pak Harto menawari Pak Gito supaya mau menjajakan foto keliling dengan Kodak miliknya.”

“Terus, Pak Gito mau?”sela Melati.

“Untuk menambah pengalaman, Pak Gito setuju.”

“Ke mana Pak Gito keliling menjajakan foto?”masih tanya Melati.

“Ke kampung-kampung yang cukup jauh dari kota Batang.”

“Kapan Pak Gito pergi keliling kampung?”

“Tiap Kamis sore. Dengan ditemani Om Amat Taliroso, Pak Gito berangkat dari rumah,”ujar Pak Gito. ”Malam Jumat, kami numpang bermalam di rumah penduduk,”sambungnya. “Jumat pagi, kami pulang menuju kota sambil menjajakan foto.”

“Mengenai hasilnya, bagaimana, Pak?”Bahtiar menyela.

“Alhamdulillah...! Karena langganan Pak Gito cukup banyak,”kata Pak Gito. “Maka, uang yang Pak Gito kantongi pun lumayan banyak. Bisa untuk menambah biaya sekolah.”

“Kalau begitu, untuk biaya sekolah Pak Gito, tidak seberat ketika duduk di PGAM 4 Tahun dulu, bukan?”masih pancing Bahtiar.

“Iya, begitulah...!”Pak Gito menjawab seraya tersenyum.

“Maaf, Pak!”ujar Jaka.

“Iya?”Pak Gito berpaling ke arah Jaka.

“Kiranya kejuaraan apa yang Pak Gito raih selama di MAM Batang, Pak?”

“Kejuaraan Lomba Siswa Teladan Tingkat SLTA.”

“Di mana seleksi Lomba Siswa Teladan itu diadakan, Pak?”

“Di SD Negeri Kertonegaran, sekarang SDN Proyonanggan V.”

“Bagaimana hasil seleksi yang Bapak ikuti?”

“Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Batang, No: - /II.03.25/80, Tgl. 7 Juli 1980, Pak Gito ditetapkan sebagai Juara I Siswa Teladan Tingkat SLTA Kabupaten Batang.”

“Wah! Hebat sekali prestasi yang Pak Gito peroleh, ya?”aku acung jempol untuk Pak Gito.

“Iya! Memang hebat sekali, Pak Gito!”sahut teman-teman setuju.
Mendengar pujian kami, Pak Gito tersenyum-senyum saja seakan mengenang masa lalunya.

“Lantas, tahun berapa Pak Gito lulus dari MAM Batang, Pak?”Gadis bertanya.

“Tahun 1982.”

“Terus, ke mana Pak Gito meneruskan kuliah, Pak?”masih tanya Gadis.

“Pak Gito mencoba ikut tes masuk ke IKIP Negeri Semarang (sekarang UNNES).”

“Apa alasan Pak Gito memilih kuliah di IKIP Negeri Semarang, Pak?”tambah Melati.

“Karena Pak Gito ingin menjadi seorang Guru.”

“Cita-cita yang amat luhur, Pak. Namun, apakah tes Pak Gito lulus, sehingga bisa
diterima di Perguruan Tinggi tersebut, Pak?”

“Alhamdudlillah! Pak Gito lulus dari tes saringan dan diterima di Perguruan Tinggi tersebut.”

“Lalu, jurusan apa yang Pak Gito pilih?”aku ikut bertanya.

“Pak Gito memilih jurusan S1 Bahasa Inggris.”

“Wah, hebat benar Pak Gito!”

“Apanya yang hebat?”

“Bapak suka memilih jurusan yang sulit,”Ardhana menyahut.

“Karena Pak Gito ingin mahir dalam berbahasa Inggris baik lisan maupun tulisan.”

“Terus, bagaimana tanggapan keluarga Pak Gito, begitu tahu Bapak diterima di IKIP
Negeri Semarang?”Bahtiar menambahkan.

“Semua anggota keluarga merasa senang,”jawab Pak Gito. “Mereka mendukung cita-cita Pak Gito,”lanjutnya. “Pak Gito sendiri juga merasa bangga. Sebab dengan diterimanya Pak Gito menjadi mahasiswa di IKIP Negeri Semarang,”katanya. “Berarti Bapak merupakan satu-satunya remaja Dukuh Kebrok, Desa Sambong, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang yang pertama kali melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi.”

“Nah, hebat ‘kan prestasi Pak Gito?”sahutku. “Pak Gito orang yang tegar. Orang yang tak mengenal putus asa dalam menghadapi banyak rintangan. Akhirnya berhasil.”

“Iya, kami semua kagum terhadap pendirian Bapak!”tambah Gadis mewakili teman-teman.
Pak Gito tidak menjawab. Namun di wajahnya terlihat senyum ceria. ***

0 komentar:

Posting Komentar