RUU Bahasa, Apa Kabar?

Berdasarkan wacana yang berkembang, RUU Bahasa seharusnya sudah disahkan menjadi Undang-undang pada tahun 2007 yang lalu. Namun, hingga saat ini tanda-tanda ke arah itu belum tampak. Saya tidak tahu, apakah karena saya yang memang ketinggalan informasi, atau lantaran RUU itu memang dibiarkan mangkrak. Padahal, RUU itu sudah disusun sejak awal 2006. Alotnya pengesahan UU Bahasa memang bisa dipahami. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Kalau orang berbahasa mesti harus diatur segala oleh undang-undang, bisa “mati kutu”. Orang tak bisa lagi mengekspresikan pikiran dan perasaannya sesuai dengan gaya, kebiasaan, dan latar belakang kulturalnya.

Beberapa pasal dalam RUU yang terdiri dari 10 bab dan 22 pasal ini memang bisa ditafsirkan menghambat kreativitas publik dalam berbahasa, lebih-lebih bagi kalangan pers dan dunia usaha yang mendapatkan perhatian khusus dalam RUU ini. Bahkan, seorang pejabat pun bisa “kena batu”-nya. Dalam RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini –konon– disebutkan pula pasal-pasal tentang penggunaan bahasa, termasuk sanksi hukuman penjara dan denda yang akan diterima pihak yang dinilai telah melanggar peraturan dalam berbahasa.

Berikut ini adalah beberapa pasal dalam RUU Bahasa yang dinilai menjadi biang penyebab alotnya pengesahan UU Bahasa.

* Pidato kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri maupun di luar negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. (pasal 9 ayat 2)

* Media massa, baik cetak maupun elektronik wajib menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga film, sinetron, dan produk multimedia dari negara lain harus dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau terjemahan. (pasal 11)

* Merek dagang, iklan, nama perusahaan, nama bangunan/gedung, dan petunjuk penggunaan barang harus menggunakan bahasa Indonesia. (pasal 12)

* Pejabat negara dan pejabat publik diwajibkan mempunyai kemahiran berbahasa Indonesia hingga tingkat tertentu. (pasal 13)

Menyikapi pasal-pasal dalam RUU Bahasa yang demikian krusial, reaksi yang keras justru muncul dari kalangan linguis. Jos Daniel Parera, mantan dosen IKIP Jakarta, misalnya, menilai RUU Bahasa dan Kebahasaan bisa membunuh kreativitas dan inovasi masyarakat dalam bahasa dan berbahasa. Bahasa dan berbahasa adalah fenomena alam. Oleh karena itu, tidak ada seorang manusia pun yang berhak mengatur bahasa dan orang berbahasa. Pakar linguistik yang selalu kritis terhadap keberadaan Pusat Bahasa ini justru mengusulkan agar Pusat Bahasa dibubarkan dan dibentuk satu lembaga bahasa yang bersifat independen.

Sainul Hermawan, pengajar Ilmu Budaya Dasar FKIP UNLAM, Banjarmasin, menilai bahwa UU Bahasa akan senasib dengan UU yang lain, seperti UU Kekerasan dalam Rumah Tangga yang berbenturan dengan kultur keluarga di Indonesia yang malu menceritakan aib dalam keluarga. Atau, juga tak jauh berbeda dengan nasib UU Lalu Lintas dan UU Hak Cipta yang tidak lebih dari sebuah pajangan. Yang bermain adalah tangan-tangan kekuasaan tunggal dan tradisi bungkam serta saling memanfaatkan.

Sementara itu, Ariel Heryanto, menyatakan kalau RUU Bahasa lebih didorong oleh keprihatinan atas jumlah dan cara pemakaian istilah-istilah Inggris secara obral dan serampangan, UU Bahasa agaknya bisa diterima sebagai perwujudan sikap nasionalis. Namun, kalau motifnya sebagai media “pengekangan” terhadap kebebasan seseorang dalam berekspresi, yak, tunggu dulu! Bisa jadi masih banyak pendapat lain yang tidak setuju apabila UU Bahasa disahkan.

Menyikapi berbagai reaksi yang muncul, guru Besar Linguistik Universitas Indonesia, Harimurti Kridalaksana, mengatakan, undang-undang bahasa nantinya hanya mengatur penggunaan bahasa dalam tingkat pemerintahan. Menurutnya, aturan bahasa di masyarakat tak akan berlaku efektif karena masyarakat bisa mengatur sendiri penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Namun, pernyataan ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Mustakim, Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa Depdiknas. Dia mengatakan bahwa nantinya akan ada sanksi bagi penggunaan bahasa asing di tempat umum dan sekolah standar internasional yang menggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar.

Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan seseorang dalam berekspresi. Ekspresi inheren dengan gaya dan kepribadian seseorang yang sangat personal sifatnya. Kalau kebebasan berekspresi yang bersifat personal itu lantas diatur dan dibatasi oleh UU, lantas di mana lagi hakikat manusia sebagai makhluk sosial mesti diposisikan? Bukankah (hampir) setiap ruang dan waktu kita butuh berkomunikasi dengan sesama? Berbahasa pun sangat erat kaitannya dengan kultur dan kebiasaan seseorang. Jangan-jangan, rakyat Indonesia nanti kehilangan sikap ramah dan cenderung menjadi pendiam setelah UU Bahasa disahkan. Daripada terkena sanksi?

Okelah, kalau memang sikap nasionalisme kita akan lebih dipertajam lewat UU Bahasa. Agaknya anak-anak bangsa negeri ini memang perlu diingatkan bahwa sejarah kita telah mencatat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sejak 79 tahun yang silam. Kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa nasional perlu terus dibangkitkan dan dihidupkan dari generasi ke generasi. Meskipun demikian, tidak lantas berarti kita kehilangan kearifan dengan menghalang-halangi seseorang untuk bebas berekspresi dan bertutur sesuai dengan kultur mereka.

UU Bahasa agaknya akan lebih bermakna jika digunakan untuk mengatur hal-hal yang lebih khusus, seperti berbahasa di lingkungan formal, berbahasa di lingkungan elite pejabat, atau di tempat dan ruang tertentu yang bisa melunturkan kecintaan dan kebanggaan seseorang terhadap bahasa Indonesia apabila bertutur dengan bahasa “gado-gado”. Selebihnya, berikan kebebasan kepada siapa pun yang menjadi penghuni negeri ini untuk bertutur sesuai dengan kebiasaan dan kultur mereka masing-masing.

Kalau setiap berbahasa di ruang publik mesti dikontrol, lantas siapakah nanti yang akan menjadi pengawasnya? Kalau memang ada, siapkah mereka bertugas 24 jam non-stop untuk mengontrol dan mengawasi setiap tuturan yang meluncur di ruang publik?

Pengalaman selama rezim Orde Baru berkuasa menunjukkan, justru yang miskin memberikan keteladanan dalam berbahasa di ruang publik adalah para elite pejabat. Mereka yang seharusnya menjadi “patron” teladan bagi rakyat dalam berbahasa justru terkesan seenaknya dalam berbahasa. Ironisnya, hal itu ditiru dengan sikap latah oleh bawahannya sebagai bentuk penghormatan kepada atasan. Sebuah contoh sikap yang masih menggejala di tengah-tengah lingkungan masyarakat paternalistis.

Sebelum disahkan, sebaiknya RUU Bahasa dikaji lebih cermat. Jika perlu, lakukan uji publik dengan melibatkan berbagai komponen bangsa agar kelak UU Bahasa benar-benar menjadi milik bangsa. Nah, bagaimana? ***

0 komentar:

Posting Komentar