Jangan Jadikan UN sebagai Penentu Kelulusan

UNKetika membuka email, saya terkejut. Ada judul yang agak provokatif “Bencana Pendidikan” yang masuk dalam kotak surat maya itu. Ketika saya baca, duh, benar-benar membuat saya shock. Teman yang baik hati itu mengirimkan sebuah berita “buruk” yang dimuat di Jawa Pos. Berita itu mengabarkan tentang kasus 19 SMA yang 100% siswanya tidak lulus UN. Diduga, para siswa mendapat bocoran jawaban yang salah.

Mengapa UN selalu ber-ending tragis? Sudah demikiankah parahkah dunia pendidikan kita sampai-sampai UN yang seharusnya menjadi “benteng moral dan kejujuran” pun hancur akibat nafsu dan hasrat mempertahankan gengsi dan marwah semata? Tidak adakah cara yang santun dan sehat yang bisa mengantarkan anak-anak masa depan negeri ini dalam mewujudkan harapan dan cita-citanya?

Mengambinghitamkan Siswa
Pertanyaan saya itu makin tak bisa terjawab ketika menemukan kenyataan bahwa kecurangan UN itu selama ini bukanlah sekadar isu, melainkan telah menjadi “budaya” hingga akhirnya kecurangan itu sendiri tak terkesan sebagai sebuah “dosa”.

Lihat saja kutipan berita yang dimuat di Jawa Pos berikut ini!
Peristiwa memalukan kembali terjadi di dunia pendidikan. Tahun ini terdapat 19 SMA di Indonesia yang 100 persen siswanya tidak lulus ujian nasional (unas). Diduga, itu disebabkan kunci jawaban palsu yang diedarkan sekolah kepada siswa.

Kasus tersebut terkuak di SMA Negeri 2 Ngawi, yang merupakan sekolah favorit di kota kecil di ujung barat Jawa Timur. Dirjen Dikdasmen Depdiknas, Suyanto, juga alumnus sekolah itu. Kemarin sekolah tersebut mengundang seluruh wali murid kelas tiga. Kepala Dinas Pendidikan Ngawi Abimanyu dan Bupati Ngawi Harsono juga dihadirkan dalam pertemuan sekolah dengan wali murid tersebut.

Dalam pertemuan tertutup itulah, menurut sumber, terkuak bahwa hasil scan lembar jawaban komputer (LJK) unas menunjukkan seluruh siswa kelas tiga SMAN 2 Ngawi (315 anak) dinyatakan tidak lulus. Para wali murid ditenangkan dan dijanjikan ujian nasional ulang pada 8-12 Juni 2009.

Dalam pertemuan itu juga diungkapkan penyebab ketidaklulusan tersebut. Yakni, semua siswa menggunakan bocoran kunci jawaban untuk mengerjakan soal unas. Tentu saja tujuannya mengatrol nilai para siswa dan menjamin kelulusan 100 persen. Ternyata kunci yang beredar itu salah. Dan, hasilnya justru 100 persen siswa tidak lulus.
Para wali murid gempar. Sebab, sebagian siswa SMAN 2 telah diterima di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) favorit melalui jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan). Dengan adanya kasus tersebut, tentunya membatalkan hasil tes PMDK.

………………
Di bagian lain, Koordinator TPI dan Pengawas Unas Tingkat Nasional Haris Supratna membeberkan bahwa kecurangan itu tidak hanya terjadi di SMAN 2 Ngawi, tapi juga di 18 SMA lain yang tersebar di berbagai daerah, yaitu Palembang, Bengkulu, NTB, Gorontalo, Jabar, dan Jatim.

Kecurangan itu terungkap berawal dari ditemukannya pola jawaban yang sama pada lembar jawaban ujian nasional (LJUN) siswa oleh TPI. Kecurigaan itu semakin kuat karena pola jawaban tersebut tidak hanya ditemukan pada satu mata pelajaran, namun juga pelajaran yang lain. ”Kalau di SMAN 2 Ngawi, kami menemukan itu pada semua mata pelajaran. Contohnya, jawaban siswa A semua, sampai soal kesepuluh. Padahal, penyusun naskah soal tidak mungkin menyusun kunci jawaban A semua sampai sepuluh soal,” tuturnya.

TPI melanjutkan penelusuran dengan mencocokkan apakah pola jawaban yang sama itu ditemukan di kelas lain atau tidak. Ternyata, kata Haris, di semua kelas SMAN 2 Ngawi juga menjawab soal dengan pola jawaban sama. ”Jadi, jawaban satu sekolah itu sama. Nggak mungkin rasanya kalau semua itu tidak dilakukan secara sistematis,” ungkapnya.

Dari temuan itu, akhirnya TPI bersama BSNP mencocokkan dengan kunci jawaban asli. Hasilnya, semua jawaban siswa SMAN 2 Ngawi salah. Fenomena serupa terjadi di 18 sekolah yang lain. ”Ada yang jurusan IPA saja, atau IPS saja. Ada juga yang dua-duanya,” terang rektor Unesa (Universitas Negeri Surabaya) itu.

Lantaran merupakan kecurangan, ujian tersebut harus diulang. Pengambilan kebijakan itu merupakan bentuk sanksi yang diberikan kepada sekolah. ”Itu namanya sanksi moral. Sebab, mereka harus mengulang ujian. Kami berharap kasus ini tidak terulang,” ungkapnya.
……………..


Sementara itu, berita pada keesokan harinya, di media yang sama, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ternyata belum mengambil langkah konkret untuk menyikapi kasus ketidaklulusan seratus persen siswa 19 SMA di tanah air dalam ujian nasional (unas). Sejauh ini belum diungkapkan siapa yang paling bertanggung jawab atas beredarnya kunci jawaban palsu penyebab ketidaklulusan itu. Direktur Pembinaan SMA Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdiknas Sungkowo yang membawahkan SMA di Indonesia justru mengaku tidak tahu-menahu kasus itu.

Yang ironis, Sungkowo justru menyalahkan siswa. Menurut dia, pihaknya berkali-kali mengimbau siswa agar tidak memercayai kunci jawaban. Apalagi, kata dia, standar kelulusan unas sejatinya tidak begitu tinggi. Nilai minimal rata-rata unas tahun ini hanya dipatok 5,50. Dengan patokan itu, tingkat ketidaklulusan unas di Indonesia diprediksi sekitar tujuh persen.

Duh, mengapa justru siswa yang dikambinghitamkan? Kalau dilihat ketidaklulusan mencapai 100% siswa, agaknya tak masuk akal kalau bocoran kunci jawaban itu berasal dari kalangan siswa. Prosedur Operasi Standar (POS) UN pun sesungguhnya sangat ketat dalam mengatur pelaksanaan UN, misalnya: (1) peserta UN yang membawa alat komunikasi elektronik, kalkulator, tas, buku, dan catatan dalam bentuk apa pun wajib menititipkan ke pengawas ruang ujian selama ujian berlangsung; (2) peserta UN dilarang keluar ruangan ujian selama ujian berlangsung kecuali atas izin pengawas ruang ujian; (3) peserta UN yang meninggalkan ruangan setelah membaca naskah soal dan tidak kembali lagi sampai tanda selesai dibunyikan, dinyatakan telah selesai menempuh/mengikuti UN pada mata pelajaran yang terkait; (4) selama UN berlangsung, peserta UN dilarang: menanyakan jawaban soal kepada siapa pun, bekerjasama dengan peserta lain, memberi atau menerima bantuan dalam menjawab soal, memperlihatkan pekerjaan sendiri kepada peserta lain atau melihat pekerjaan peserta lain, membawa naskah soal UN dan LJUN keluar dari ruang ujian, dan menggantikan atau digantikan oleh orang lain.

Berdasarkan ketatnya peraturan semacam ini, sesungguhnya tak ada celah bagi siswa untuk berbuat curang. Kalau toh ada, bisa saja akibat proses “pembiaran” yang dengan sengaja dilakukan oleh pihak-pihak terkait (pengawas UN, pengawas independen, atau sekolah penyelenggara), yang bertujuan bukan semata-mata untuk membantu siswa, melainkan ada dugaan terjadinya upaya sistematis untuk mendongkrak jumlah lulusan.

Peristiwa memalukan --dan seharusnya dipahami sebagai aib bagi dunia pendidikan-- semacam ini, semakin membenarkan adagium klasik “serapat-rapatnya orang membungkus kebusukan, lama-lama akan tercium juga”. Kasus ini bisa jadi tak akan terungkap kalau tingkat kelulusan siswa mencapai 100% karena kebetulan kunci jawaban soal yang dibocorkan secara massal itu benar. Citra sekolah yang bersangkutan justru akan terangkat dan yang pasti pejabat sekolah dan birokrasi di atasnya akan disanjung puji sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam mengantarkan siswa-siswinya meraih sukses UN. Namun, agaknya kebenaran tak akan pernah berpihak kepada orang-orang yang berperilaku curang dan tidak jujur.

Labeling dan Pencitraan Membabi Buta
Terlepas bagaimana modus operandinya dan siapa sesungguhnya yang menjadi biang aib dunia pendidikan ini, seharusnya sudah cukup bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi serius terhadap sistem UN. Ketentuan UN sebagai penentu kelulusan, disadari atau tidak, telah membuat banyak pihak (orang tua, sekolah, atau pejabat daerah) kebakaran jenggot. Imbasnya, mereka menempuh berbagai cara untuk meluluskan siswanya. Hal itu diperparah dengan pengumuman peringkat hasil UN oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), mulai tingkat sekolah, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Pemeringkatan semacam ini sesungguhnya tak lebih dari sebuah penerapan teori labeling dan pencitraan membabi buta. Siapa pun mereka, tak mau berada di peringkat terbawah, sehingga perlu menempuh cara-cara licik dan culas sekalipun, demi mempertahankan gengsi, martabat, citra, dan marwah pihak yang bersangkutan. Maka, terjadilah aib itu.

Tentu saja, solusi ujian ulang bagi siswa yang “terbodohi” itu mutlak diperlukan melalui sistem pengawasan ketat yang betul-betul “mengharamkan” kecurangan. Namun, ujian ulang saja tak cukup. Untuk menimbulkan efek jera, siapa pun yang diduga terlibat dalam kasus memalukan ini harus diusut tuntas dan ditindak tegas sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jangan sampai kecurangan demi kecurangan terus terjadi hingga akhirnya berkembang menjadi budaya “biarinisme” yang akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa.

Selama ini juga sudah banyak suara kritis yang menilai bahwa UN sudah tak relevan lagi dengan “roh” Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberikan otonomi penuh kepada sekolah dalam mengelola pendidikan. Kalau toh ada standarisasi pendidikan nasional itu diperlukan, seharusnya tak perlu ada penyeragaman. Dalam konteks demikian, idealnya standar UN bukan sebagai penentu kelulusan, melainkan sebagai alat pemetaan mutu pendidikan, sehingga akan terpotret, sekolah mana saja yang sudah berhasil memenuhi standar nasional dan yang belum.

Namun, suara-suara kritis itu benar-benar telah diperlakukan bagaikan suara “Togog” yang terkebiri dan terabaikan. Yang menggema kemudian adalah suara Mbilung yang terus membujuk agar kecurangan dan tindakan bodoh itu terus berlangsung. Kalau sudah begini, quo vadis dunia pendidikan kita? ***

2 komentar:

  1. admin mengatakan...

    mudah2an duka itu tak berkepanjangan, mbak indah.

  2. Sewa Projector Murah mengatakan...

    Kenapa sih Ujian nasional dijadikan kambing hitam siswa yang tidak lulus itu namanya siswa belum siap ulangan,menurut saya UN sama saja ulangan harian,maka dari itu siswa jangan pengaruh sama bocoran yang ada,maka dari itu kita harus yakin pada diriu kita sendiri

Posting Komentar