Revitalisasi Pendidikan Multikultural

Ketika sekat-sekat primordialisme diangkat orang ke permukaan hingga meruncing menjadi konflik antarsesama secara horizontal, sejatinya kita telah kembali ke budaya masyarakat purba yang menabukan perbedaan. Realitas yang muncul bukanlah “kemauan politik” untuk melihat perbedaan sebagai sebuah kekayaan budaya, melainkan lebih pada upaya untuk membangun sentimen-sentimen etnisitas berbasis chauvinisme dan egoisme sempit. Realitas semacam itu diperparah dengan sikap fanatisme dan taklid membabi buta. Akibatnya, struktur sosial-budaya masyarakat kita yang demikian beragam menjadi sangat rentan terhadap konflik berbau SARA.

peta indSejarah kita telah mencatat banyaknya kasus kekerasan yang dipicu oleh perbedaan. Tak hanya perbedaan yang kasat mata, tetapi juga perbedaan dalam ranah ideologi dan pemikiran. Ibarat kerikil dalam sepatu, mereka yang tidak sepaham dan sependapat dianggap sebagai penghambat yang mesti disingkirkan.

Kalau kita mau jujur, sesungguhnya perbedaan itu mustahil bisa diseragamkan. Secara fisik, setiap orang dilahirkan dalam kondisi yang berbeda. Demikian juga dalam ranah ideologi dan pemikiran. Dengan kekhasan cara pandang dan alur berpikir yang ada dalam dirinya, setiap orang akan tampil secara utuh sesuai dengan kekhasan dirinya. Kalau mereka diseragamkan, yang terjadi kemudian adalah sebuah proses anomali; tidak nyaman dan tidak kondusif dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kita sungguh prihatin menyaksikan meruyaknya kasus kekerasan yang secara beruntun membuat wajah kebhinekaan Indonesia ternodai. Aksi-aksi anarkhi yang berlangsung pada masa-masa menjelang dan pascareformasi, misalnya, sungguh memberikan ilustrasi betapa struktur sosial-budaya masyarakat kita yang beragam gampang sekali terinfeksi virus kekerasan. Tawuran antarkampung, pembakaran tempat-tempat ibadah, unjuk rasa berbau anarkhi, atau aksi-aksi vandalistis lainnya, setidaknya sudah bisa menjadi bukti betapa keberagaman menjadi sesuatu yang mahal di negeri ini. Selalu saja ada upaya penekanan dan pemaksaan kehendak dari pihak-pihak tertentu untuk mengingkari makna keberagaman dan kebhinekaan.

Dalam konteks demikian, sudah saatnya dunia pendidikan kita mengambil peran sebagai institusi yang dengan amat sadar menjadikan pendidikan multikultural sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam dinamika dunia pendidikan. Implementasinya bisa diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran lintasmata pelajaran, sehingga tidak perlu dijadikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Para guru yang berdiri di garda depan dalam proses pembelajaran diharapkan dapat melakukan aksi-aksi inovatif dengan mendesain pola pembelajaran yang menarik dan menyenangkan sehingga secara tidak langsung siswa didik bisa belajar untuk menerima perbedaan sekaligus menjadikannya sebagai kekayaan budaya dalam kehidupan sehari-hari.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang wajib dilaksanakan oleh semua satuan pendidikan di berbagai jenjang pendidikan mulai tahun 2009/2010 –berdasarkan Permendiknas No. 24/2006—perlu dikembangkan dan dijabarkan lebih jauh hingga menyentuh ranah pendidikan multikultural. Guru yang menjadi “aktor” pembelajaran perlu melakukan pemetaan ulang terhadap standar isi kurikulum sehingga bisa diketahui dengan jelas Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) masa saja yang bisa disisipi pesan-pesan pendidikan multikultural. Berdasarkan SK dan KD yang telah terpetakan, guru bisa menambahkan beberapa indikator untuk mengukur tingkat kognitif, psikomotor, dan afeksi siswa didik terhadap nilai-nilai multikultural.

Ibarat sebuah mozaik, Indonesia justru akan kehilangan keindahannya jika elemen-elemen pembangun bangsa ini diseragamkan dalam satu warna. Setiap entitas pembangun bangsa dengan karakternya masing-masing perlu dimaknai sebagai kekayaan budaya yang akan membuat “mozaik Indonesia” menjadi lebih indah dan elegan. Idiom “Bhineka Tunggal Ika” yang sudah lama bergaung di negeri ini perlu digali dan terus dikaji sehingga tak terjebak menjadi motto dan slogan semata. ***

2 komentar:

  1. Muid mengatakan...

    Pada dasarnya perbedaan telah ada pada saat kita terlahir di dunia ini. Malah justru perpedaan itu menjadikan hidup kita indah, nikmat, sekaligus rahmat. "Ikhtilafu ummati rahmatun", begitu Nabi bersabda. Jadi, perbedaan itu biarkan mengalir dan berkembang sesuai dengan kreatifnya masing-masing dengan catatan tidak mengganggu hak orang lain.

  2. admin mengatakan...

    wah, terima kasih banget tambahan infonya, pak muid.

Posting Komentar