MENGEMBALIKAN “ROH” PENDIDIKAN

Oleh: Ch. Susanto
(Guru SMP 2 Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah)

ch.susantoDriyarkara pernah menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah “memanusiakan manusia”. Artinya, lewat pendidikan itu setiap peserta didik digembleng agar dapat menjadi “manusia”. Dan Plato bilang bahwa manusia adalah “binatang yang berakal budi’. Manusia dapat menjadi “manusia” kalau ia mempunyai akal dan mempunyai budi. Filosofi ini berkembang pada abad ke-21 dengan rumusan tentang multi-kecerdasan yang mesti dimiliki oleh seorang manusia, yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Roh utama pendidikan adalah membangun individu yang cerdas, terampil, dan berbudi pekerti luhur.

Namun, yang terjadi sekarang ini adalah penjungkirbalikan arah pendidikan. Sekolah hanya mengejar target nilai Ujian Nasional (UN) sehingga mengesampingkan misi “pemanusiaan manusia” yang menjadi roh pendidikan itu sendiri. Sekolah hanya bertujuan meluluskan siswa sehingga menafikan proses pembelajaran. Dampaknya adalah lahirnya budaya pragmatisme dan serba-instan dalam praktik pendidikan. Karena tujuan akhir adalah tingginya tingkat kelulusan siswa, maka sekolah lebih memilih cara-cara yang pragmatis. “Apa pun caranya, yang penting adalah hasilnya”. Demikianlah motto yang dipegang.

Pada hari-hari menjelang UN, sekolah menjadi sangat sibuk. Berbagai upaya dilakukan agar siswa siap menghadapi UN. Mulai dari memberi jam pelajaran tambahan sampai gemblengan mental-spiritual. Dari sinilah sering muncul titik ironi dalam praktik pembelajaran di kelas. Taruhlah adanya pelajaran tambahan. Kegiatan ini justru sering membebani siswa dengan tugas-tugas yang amat melelahkan, karena hampir 100% kegiatan ini digunakan untuk drill soal saja. Kelas tak lebih dari tempat bimbingan belajar atau kursus tentang kiat-kiat mengerjakan soal. Serba kilat, serba smart. Padahal, pendidikan itu merupakan proses yang membutuhkan waktu. Dan, dalam pandangan Contextual Teaching and Learning (CTL), setiap individu adalah unik. Setiap individu memiliki “bakat” masing-masing dalam belajar.

Belajar juga mensyaratkan adanya pembiasaan dan kesinambungan. Belajar merupakan sebuah rutinitas, yang mestinya dilakukan oleh setiap individu secara teratur. Tidaklah bijaksana apabila belajar dilakukan secara instan. Memaksa siswa kelas IX atau kelas XII untuk menguasai materi dalam waktu yang singkat, sama sekali tidak ada gunanya. Sebab setelah ujian semua materi pembelajaran itu akan hilang begitu saja tanpa bekas
Yang paling menggelikan adalah maraknya pendekatan spiritual dalam menghadapi UN. Doa-doa dipanjatkan agar setiap siswa diberi “jalan yang terang” agar bisa mengerjakan soal UN dengan benar. Bahwa manusia harus beribadah kepada Sang Khalik itu memang sudah layak dan sepantasnya. Tetapi, maraknya kegiatan ibadah hanya pada saat menghadapi UN, justru kontra-produktif dengan hakikat pendidikan agama. Seolah kita baru ingat kepada Tuhan hanya pada saat Ia kita butuhkan saja.

Akhirnya, menjadi PR bagi kita untuk merenungkan sekali lagi tujuan dan hakikat pendidikan. Menjadi tugas bagi kita untuk mengembalikan “roh” pendidikan yang selama ini terabaikan. UN boleh saja diadakan, tetapi bukan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. UN mestinya dilakukan dengan tujuan untuk memetakan mutu pendidikan dan kualitas setiap sekolah. Bahkan bila perlu jangan hanya mata pelajaran tertentu saja yang di-UN-kan, tetapi semua mata pelajaran!

Lalu, kepada siapa kita bisa berharap untuk membenahi semua ini? Yang pertama tentunya kepada guru yang menjadi ujung tombak dalam pendidikan. Namun, selama ini guru hanya menjadi robot yang penurut. Guru adalah prajurit patuh yang siap berperang tetapi tidak tahu untuk apa perang itu! ***

4 komentar:

  1. Muid mengatakan...

    Aduh...!! Memang betul, Pak Santo, roh pendidikan sangat jelas kelihatan terabaikan tatkala UN sebelum dan tengah berlangsung. Seakan-akan target pendidikan adalah lulus UN 100%. Kalau sebuah institusi pendidikan dapat meluluskan siswanya 100%, institusi tersebut dicap masyarakat berhasil, sukses, mumpuni, standar nasional (semoga SMP 2 Sukorejo berhasil dalam verifikasi kemarin), standar internasional, atau apalah sebutan yang muluk-muluk lainnya. Namun demikian kita sekarang tak bisa berkutik manakala UN masih diwajibkan pemerintah pusat, kita pun dipaksa mengalah dengan tulus, tidak bisa protes, kalaupun didengar mungkin sambilalu, sehingga yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki proses pembelajaran, evaluasi berkelanjutan, dan akhirnya hasil yang memuaskan. Langkah ini bisa diterapkan pada kegiatan belajar mengajar secara keseluruhan tidak hanya pada saat UN. Kita juga harus paham bahwa alat ukur secara nasional pada saat ini yang baru bisa dilaksanakan adalah UN dengan segala plus-minusnya. Ke depan UN jangan dijadikan standar lulusan nasional sehingga menghilangkan roh pendidikan sebenarnya, tetapi sebagai pemetaan kualitas pendidikan Indonesia dengan satu catatan tepat prosesnya dan jujur pelaksanaannya.

  2. Ch Susanto mengatakan...

    Trims atas komentarnya, Pak Muid. Verifikasi SSN, ni ye? Hahahahaha. Ini satu lagi! SSN, CSSN, RSBI, atau apa pun namanya, semua itu juga diukur hanya dari nilai UN-nya. Jenis-jenis sekolah itu malah bikin keki lagi. Itu proyek yg serbainstan juga. Sbg guru, saya nggak pernah pusing sekolah mau jadi SSN atau RSBI atau SSK atau S apa lagi. Sbg guru, sy baru senang kalau bisa "mencetak" anak didik menjadi pribadi yg mandiri, berpikir merdeka, bermental juara (meskipun kalau lomba nggak pernah dpt juara), berbudi pekerti, dan tentu saja taqwa.

  3. admin mengatakan...

    hmmm .... alangkah indahnya kalau sesama guru bisa terlibat diskusi secara menarik dalam sebuah blog, hehe ....

  4. Zakir Hubulo mengatakan...

    Memeang betul apa yang anda ungkapkan itu pasti merupakan bagian dari apa yg pernah dilakukan oleh seluruh tenaga pendidik pada saat menghadapi UN.Sehingga pasti ada guyonan yang muncul pada saat UN itu yang jadi PINTAR GURU ATAU SISWA ?.

Posting Komentar