Membangun Mind-Set Guru tentang Dunia Kepenulisan

Oleh: Sawali Tuhusetya

penjurianseminarseminarSelain menggelar Seminar Nasional Penulisan Buku dan Karya Ilmiah pada hari Kamis, 25 Juni 2009 di LPMP Jawa Tengah dengan menampilkan Ahmad Tohari dan Dr. Mulyadi sebagai narasumber, Agupena Jawa Tengah juga menggelar Lomba Penulisan Artikel bagi Guru se-Jawa Tengah dengan tema “Membudayakan Aktivitas Menulis di Kalangan Guru”. Sungguh menggembirakan animo dan semangat rekan-rekan sejawat dalam mengikuti lomba. Tak kurang dari 107 naskah lomba yang siap dikompetisikan. Tentu saja, ini menggembirakan, bukan semata-mata lantaran event ini baru digelar untuk pertama kalinya oleh Agupena Jawa Tengah di tingkat provinsi, melainkan juga karena hadiahnya yang terlalu kecil dan bisa dibilang tak sebanding dengan jerih-payah peserta dalam mempersiapkan naskah lombanya. Ini artinya, rekan-rekan sejawat sejatinya memiliki potensi dan kekuatan besar untuk mengakrabi dunia kepenulisan, tanpa memedulikan imbalan dan insentif yang mesti didapat.

Meski demikian, saya yang kebetulan didaulat menjadi salah satu dari tiga juri lomba, memiliki beberapa catatan menarik tentang naskah lomba yang dikompetisikan itu. Pertama, pengiriman naskah dalam bentuk soft-copy lewat email. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang informasi dan komunikasi, pengiriman naskah via email diharapkan bisa lebih cepat dan praktis, sehingga tak menyulitkan calon peserta dalam mengirimkan naskahnya. Namun, harapan itu ternyata meleset. Banyak naskah yang justru mengalami kerusakan ketika di-print-out, sehingga tak bisa terbaca dengan baik. Panitia juga harus kerja lembur untuk melakukan print-out sekitar 100 lebih naskah yang masuk. Yang lebih repot, format tulisan dan ukuran font jadi tidak memenuhi syarat teknis lomba yang minimal terdiri atas 5 halaman kertas ukuran A4 dengan font Times New Roman 10 pt berjarak 1,5 spasi. Meski demikian, persyaratan teknis ini sudah bisa dikompromikan dengan sesama juri lomba. Untuk masa yang akan datang, akan lebih bagus jika naskah peserta dikirimkan dalam bentuk hard-copy (naskah print-out) beserta file soft-copy-nya dalam CD.

Kedua, banyak naskah yang bagus, tetapi tidak memenuhi syarat lomba. Dari sekian naskah yang masuk, banyak naskah yang dilombakan bukan dalam bentuk artikel, melainkan makalah. Selain itu, juga ada beberapa naskah yang menyimpang dari tema “Membudayakan Menulis di Kalangan Guru”. Atas kesepakatan dewan juri, naskah seperti ini tidak bisa dinilai, meskipun dari sisi substansi isi, bahasa, dan kreativitas tergolong lumayan bagus.

Dalam menilai sebuah naskah, dewan juri menggunakan tiga kriteria penilaian, yakni substansi isi, bahasa, dan kreativitas. Unsur-unsur naskah yang termasuk ke dalam substansi isi, di antaranya kesesuaian antara isi dan tema lomba, orisinalitas karya, atau penggunaan rujukan. Yang termasuk dalam kriteria bahasa, di antaranya ejaan dan tanda baca, diksi (pilihan kata), koherensi antarparagraf dan antarkalimat, dan kaidah-kaidah penulisan yang lain (termasuk penulisan daftar pustaka). Sedangkan, yang termasuk dalam kriteria kreativitas, di antaranya pemikiran-pemikiran inovatif dan kreatif yang bisa memberikan solusi, argumentasi, dan persuasi menarik berkaitan dengan upaya membudayakan aktivitas menulis di kalangan guru. Itulah sebabnya, dewan juri --yang terdiri atas tiga orang: satu orang dari Suara Merdeka dan dua juri dari Agupena-- terlibat perdebatan sengit hingga larut malam untuk menentukan naskah terbaik. Dewan juri telah berusaha untuk bersikap fair, adil, dan se-objektif mungkin, sehingga naskah lomba yang terpilih benar-benar memenuhi kriteria penilaian, baik dari sisi substansi isi, bahasa, maupun kreativitas.

Yang agak disayangkan, dalam soal kreativitas, banyak peserta lomba yang terjebak pada mind-set sertifikasi, angka kredit pengembangan profesi, penelitian tindakan kelas, atau karya tulis ilmiah. Padahal, sesuai dengan tema lomba, naskah lomba diharapkan mampu memberikan terobosan inovatif dan kreatif yang tak hanya mengakrabkan guru pada tulisan untuk mengejar angka kredit pengembangan profesi guru guna memuluskan jenjang karier, melainkan juga menjadikan aktivitas menulis sebagai sebuah “kebutuhan”; sebagai media untuk melakukan “katharsis” dan mendedahkan pemikiran-pemikiran kreatif dan inovatif yang berkaitan dengan dunia kepenulisan.

Pemikiran semacam itu memang tidak salah. Namun, aktivitas menulis bisa jadi belenggu apabila selalu dikaitkan dengan upaya memuluskan jenjang karier dan kenaikan pangkat. Kalau toh ada imbalan berupa angka kredit, sesungguhnya lebih merupakan imbas sampingan yang didapat di balik jerih-payahnya itu. Menulis sejatinya lebih banyak berkaitan dengan aktivitas rohaniah yang tak henti-hentinya melakukan penjelajahan dan transfigurasi total terhadap ranah imajinasi dan intuisi. Ia akan terus berproses sebelum pada akhirnya menemukan muara input dalam bentuk produk kreativitas berupa tulisan. Menulis juga akan membangun mind-set sang penulis untuk membudayakan pola berpikir secara multidimensional, sekaligus menghindari pola beprikir linear. Dengan cara demikian, guru tak lagi terjebak menjadi guru kurikulum yang wilayah kerjanya hanya dibatasi empat dinding ruang kelas, melainkan menjadi guru inspiratif yang akan terus mengilhami siswa didiknya menjadi generasi masa depan yang kreatif, beradab, berbudaya, dan bermartabat.

Meskipun demikian, saya memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada rekan-rekan sejawat yang telah berkenan untuk ikut-serta memeriahkan lomba itu sehingga --paling tidak-- mulai tergugah untuk mengakrabi dunia kepenulisan yang selama ini dinilai belum berlangsung optimal. Nah, salam kreatif! ***

1 komentar:

  1. rahayu pangastuti mengatakan...

    Assalammualaikum Wr. Wb.

Posting Komentar