MENGGUGAT HAKIKAT PENDIDIKAN

Oleh: Ch. Susanto (Guru SMP 2 Sukorejo, Kendal, Jateng)

Ch. susantoSingosari pada pertengahan abad ke-13. Seorang pemuda bersimpuh di depan pintu padepokan Ki Sidik Danusara, sore itu. Dilihat dari wajah letih dan pakaiannya, pemuda itu dari kalangan rakyat jelata yang datang dari tempat yang jauh.

Para cantrik memandang dengan remeh ke arah pemuda. Namun, kebetulan Ki Sidik sedang berada di pendopo, beliau menyuruh si pemuda menghadap. Si pemuda – yang memperkenalkan dirinya dengan nama Nurseta – pun menyatakan keinginannya untuk mereguk ilmu di padepokan. Berguru. Trenyuh oleh keadaan dan tertarik oleh semangat si pemuda, Ki Sidik pun menerimanya sebagai murid. Sejak itulah Nurseta berguru, mulai dari ilmu kadigdayan, agama, sampai susastra. Tujuh tahun kemudian, si pemuda “turun gunung” dengan berbekal aneka ilmu dari Ki Sidik. Ia menjadi pendekar yang tampan, sakti mandraguna, dan getol membasmi kejahatan.

Itulah cuplikan dari cerita silat berjudul Sejengkal Tanah, Sepercik Darah yang terkenal dari Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Cerita itu memang fiktif belaka, namun cuplikan itu menggambarkan dengan jelas tentang apa sebenarnya hakikat “berguru” atau hakikat pendidikan, yakni: mendapatkan ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan dan penghidupan.

Pendidikan, dalam arti yang paling sederhana, adalah kegiatan membekali peserta didik dengan pengetahuan atau keterampilan yang berguna. Sekali lagi, pengetahuan dan keterampilan yang berguna. Namun, dewasa ini hakikat pendidikan telah tereduksi sedemikian rupa, sehingga hanya sekedar mencari selembar kertas yang bernama ijazah. Pendidikan sekarang tidak memberikan ilmu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk menyiasati hidup, tetapi hanya melatih siswa menjadi robot penghafal. Runyamnya, para peserta didik pun seolah tidak memiliki motivasi positif untuk “menimba ilmu”. Mereka hanya memahami bahwa sekolah hanya untuk mendapat ijazah dan mencapai nilai yang tinggi, bukan mencari “senjata” untuk mengarungi kerasnya kehidupan.

Pada zaman Singosari itu, tentunya tidak ada kurikulum apalagi silabus pembelajaran. Setiap padepokan mengembangkan “kurikulum” sendiri, sesuai dengan kebutuhan. Mereka belajar dari alam dan pengalaman. Dewasa ini, pengembangan kurikulum menghabiskan biaya milyaran rupiah, namun tetap belum terasa “gereget”-nya.

Pada zaman Singosari itu, tentunya juga tidak ada rapor apalagi Ujian Nasional (atau istilahnya pada zaman itu mungkin Ujian Kerajaan, he he). Setiap cantrik bisa menguji sendiri ilmu yang didapatnya dengan pengalaman nyata, kerasnya kehidupan, bahkan medan pertempuran. Sementara sekarang, kita ribut mempersoalkan peningkatan mutu pendidikan dengan hasil UN. Padahal, hasil UN bukan satu-satunya tolok ukur untuk menentukan merosot atau meningkatnya mutu pendidikan.

Berhentilah untuk mengukur segala sesuatu dengan angka (kuantitatif). Karena pendidikan bukan sekedar permainan angka. Lihatlah berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Kasus-kasus korupsi, brutalisme suporter sepakbola, penyalahgunaan narkoba, KDRT, sex bebas, prostitusi anak, meningkatnya pengangguran, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan bahwa pendidikan yang kita kembangkan belum mampu menjawab tantangan zaman.


Taruhlah hasil UN sangat memuaskan, 100% siswa lulus UN dengan nilai rata-rata 10, tetapi layar TV masih dihiasi dengan berita-berita negatif di atas. Apakah kita bisa menepuk dada sambil mengatakan bahwa mutu pendidikan kita meningkat? ***

1 komentar:

  1. devie mengatakan...

    setuju pak.
    memang pendidikan saat ini sudah tergeser oleh tangan-tangan kotor yang hanya ingin mendapatkan keuntungan besar. Pendidikan sudah tak layak lagi dan tak dapat menjawab tuntutan zaman. komersialisasi pendidikan yang merjalela menambah daftar panjang masalah pendidikan. kita sebagai generasi penerus bangsa mari sadar diri dan mulai kembali menjalankan pendidikan sebagaimana hakikat pendidikan itu sendiri.

Posting Komentar