Refleksi Pasca-Lomba Cipta Cerpen Siswa SMP se-Jawa Tengah Tahun 2010

Usai sudah perhelatan Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) SMP tingkat Jawa Tengah tahun 2010. Khusus untuk Lomba Cipta Cerpen, tema lomba yang diangkat adalah cerpen bermuatan lokal yang berkisar pada kehidupan bermasyarakat yang mengungkapkan dan mempercakapkan nilai-nilai kehidupan tradisional (muatan lokal), seperti mitologi, legenda, fabel, kepercayaan, serta adat-istiadat daerah/etnik setempat dengan “sentuhan baru” atau teknik penyajian yang khas. Tema ini cukup menarik dan menantang di tengah tantangan budaya global yang dinilai mulai menggerus nilai-nilai kearifan lokal. Melalui tema ini, disadari atau tidak, para peserta berupaya untuk menampilkan “warna-warna lokal” yang khas dan eksotis, sehingga diharapkan bisa memperkaya nilai-nilai budaya nasional yang multikultur dan multietnik. Tema dan subtema, serta ketentuan teknis pun disampaikan dewan juri kepada para peserta dan guru pembimbing pada saat temu teknik yang berlangsung 14 Mei 2010 pukul 20.00 WIB.

Setidaknya, ada dua catatan menarik berkaitan dengan event lomba bergengsi itu. Pertama, dari sisi kuantitas, belum semua kabupaten/kota se-Jawa Tengah mengirimkan wakilnya. Dari 35 kabupaten/kota, baru 28 daerah yang mengirimkan wakilnya. Mungkin benar, jumlah tak memiliki pengaruh signifikans terhadap mutu karya siswa. Namun, dari sisi kekayaan nilai kearifan lokal, makin banyak daerah yang mengirimkan wakilnya, jelas akan makin memperkaya khazanah budaya lokal yang diangkat ke dalam sebuah teks fiksi, sehingga “warna lokal” Jawa Tengah makin kuat dan ekspresif.

Kedua, dari sisi kualitas, masih ada beberapa kelemahan mendasar yang dilakukan oleh sebagian besar peserta, yakni masih kuatnya intervensi guru pembimbing dalam cerpen peserta, hanya sekadar mengalihkan cerita-cerita rakyat bermuatan lokal ke dalam sebuah teks, dan kreativitas peserta yang “liar” dan “mencengangkan” belum sepenuhnya tergarap. Artinya, teks-teks cerpen yang mereka buat kurang ada sentuhan kreativitas dalam penggarapan cerpen yang khas dan kontekstual.

Sebagai event lomba yang berupaya untuk menjaring siswa SMP yang akan mewakili Jawa Tengah ke jenjang nasional, potensi dan talenta peserta jelas menjadi kriteria utama. Sebagus apa pun karya cerpen peserta secara tekstual, belum tentu layak menjadi kandidat juara apabila intervensi guru pembimbing terlalu kuat. Hal itu tampak jelas ketika juri menentukan sub-tema “legenda” pada babak I. Sebagian besar peserta justru menampilkan tema di luar ketentuan dewan juri. Agaknya, mereka sangat terpengaruh oleh desain dan skenario cerita yang sudah dipersiapkan secara matang dari rumah, sehingga mereka tidak leluasa “berimprovisasi” dan mengembangkan imajinasi ke dalam teks cerpen. Walhasil, cerpen-cerpen lomba yang berada di luar subtema, secara substansial sudah dinyatakan gugur, sehingga tidak bisa masuk sebagai 10 cerpen terbaik yang dinominasikan untuk mengikuti lomba babak II.

FLS2NFLS2NFLS2NFLS2N


Suasana ketika event FLS2N berlangsung.

Pada babak II, tiga juri: Pak Sarono (Purworejo), Dimas Jimat Kalimasadha (Kudus), dan Sawali Tuhusetya (Kendal), sepakat untuk menentukan subtema baru, yakni mitologi yang berkaitan dengan kepahlawanan lokal kepada para peserta yang karyanya terpilih sebagai 10 karya terbaik pada babak I. Para peserta diberikan kesempatan untuk menulis cerpen selama 120 menit sesuai subtema yang ditentukan. Meski bukan sebagai salah satu kriteria penilaian, kami sepakat untuk mempertajam unsur penilaian dengan melakukan wawancara kepada para nominator pasca-penilaian teks cerpen. Wawancara ini semata-mata dilakukan untuk menggali tingkat kreativitas dan orisinalitas karya siswa. Kombinasi antara teks cerpen dan wawancara itulah yang kami jadikan sebagai dasar untuk menentukan siapa yang layak mewakili Jawa Tengah ke jenjang nasional. Sayangnya, dewan juri tidak tahu identitas setiap peserta karena hanya mencantumkan nomor peserta ke dalam teks cerpen, sehingga kami tidak tahu peserta dari sekolah dan daerah mana saja yang menjadi Juara I, II, III, harapan I, harapan II, dan harapan III.

Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada di sana-sini, para peserta di bawah gemblengan guru pembimbing masing-masing sudah memberikan karya terbaik untuk mewakili daerahnya. Kiprah mereka layak diapresiasi dan diberikan catatan tersendiri. Soal kalah atau menang bukanlah yang utama, karena memang seperti itulah “hukum” yang berlaku dalam sebuah lomba. Yang penting, bagaimana menjadikan pengalaman berharga dalam event lomba itu untuk memacu diri agar bisa terus berkarya dan berkreavititas. Nah, salam budaya dan salam kreatif! ***

1 komentar:

  1. rojaki mengatakan...

    salam, dunia pendidikan di jawa.

    saya sangat sepakat dengan usulan yang disampaikan sebelumnya bahwa untuk penilaiaan memang harus benar benar transparan jujur dan dapat dipertanggungjawabkan. semisal tadi aspek penilaian apa saja, dan dimasukkan dalam rangking berapa kah seluruh peserta. hal ini akan memberikan nilai positif bagi peserta akan kelemahan atau kelebihan disetiap penyajian atau penuliasan cerpennya yang dilakukan selama kurang lebih 120 menit.

    rozaki, s.pd.
    guru bahasa dan sastra sma negeri 2 sekayu, palembang

Posting Komentar