KABUT DI ALAS ROBAN (2)

KABUT DI ALAS ROBAN (2) 
OLEH: SUGITO HADISASTRO 
       Ki Seblu tidak peduli. Dirinya saat ini sedang tidak membawa harta, kecuali boreh dan bumbung tempat air untuk menantunya. Lagi pula, malam menjelang fajar bukan waktu yang tepat bagi para begal. Mereka biasanya melakukan aksinya pada siang hari, saat orang-orang melakukan kegiatan perniagaan. Orang-orang Tionghoa dari Batavia dan pedagang-pedagang dari Brang Kulon, seperti Kerajaan Pasundan, Kasultanan Cirebon, dan Kadipaten Sebayu biasanya melewati jalur Alas Roban secara berkelompok menuju Kadipaten Asem Arang, Demak Bintoro, Kudus, atau ke Kotaraja Mataram untuk berniaga. Mereka biasanya dalam rombongan besar dengan kawalan para pendekar dari Banten dan Pasundan yang pandai bermain silat. Para begal hanya berani mengganggu kelompok-kelompok kecil dari Kadipaten Wirata, Watang, Kliyangan atau Kademangan Mandala Giri yang sedang bepergian ke Kaliwungu dan Asem Arang atau sebaliknya. Ki Seblu pernah mendengar bahwa para begal itu biasanya lari dan bersembunyi ketika dikejar pasukan pengawal kadipaten Kliyangan dan tentara Mataram yang sedang berpatroli.
       Gunungpring, gugusan gunung bertutup rumpun bambu di sebelah utara aliran Kali Petung yang masuk wilayah Kadipaten Kliyangan, disukai para begal untuk bersembunyi karena lokasinya sulit dijangkau dan cukup strategis untuk mengintai musuh. Pasukan pengejar biasanya kehilangan jejak setelah para begal menyeberang Kali Petung. Pasukan pengawal kadipaten Kliyangan juga belum pernah berhasil menaklukkan kawanan begal itu.
       Ki Seblu mempercepat langkahnya. Meskipun malam gelap tanpa bulan, petani tua itu sangat mengenal wilayah ini. Di pedukuhan-pedukuhan kecil yang dilewati, terdengar kokok ayam jantan bersahutan. Hari menjelang fajar. Bahkan menjelang kota Kliyangan, beberapa perempuan tua membawa hasil buminya untuk dijual di pasar kota itu. Nyala obor yang mereka bawa seperti barisan pawai obor di perayaan malam hari besar di Kotaraja Mataram. Di tanjakan Pancawati, Ki Seblu memperlambat langkahnya. Siapa tahu ada begal yang bertugas malam untuk merampok orang yang lewat. Antara percaya dan tidak, Ki Seblu melihat kelebat seseorang memotong jalan di depannya. Ki Seblu menghentikan langkahnya. Itu bukan lompatan orang kebanyakan. Orang itu pasti tahu ada seseorang yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Untuk sesaat petani tua itu mengatur pernapasannya. Jika orang itu bermaksud jahat, apa boleh buat. Dia tidak punya waktu untuk berpikir jernih. Saat ini yang ada di benaknya hanyalah keinginan untuk pulang secepatnya, mengoleskan boreh di perut menantunya dan meminumkan air untuk mengurangi rasa sakitnya.
       Ki Seblu pura-pura tidak menyadari kehadiran orang itu di belakang punggungnya. Penduduk kampung hanya tahu kalau Ki Seblu seorang petani tua yang rajin. Pagi pergi ke ladang dengan alat pertaniannya, menjelang sore baru pulang. Begitu kegiatan sehari-harinya. Tidak lebih dari itu.
       Orang yang rupanya sengaja menghadang Ki Seblu sudah berdiri di belakangnya dengan gerakan yang sangat ringan. Ki Seblu yakin orang ini bukan anggota kawanan begal yang sering merampas harta pedagang yang lewat.
       Tangan orang itu meraba sesuatu dari saku celananya dan seketika berkelebat dengan sangat cepatnya. Andaikan orang kampung kebanyakan yang tidak mempunyai kemampuan olah kanuragan, saat itu pula lehernya akan terputus dan kepalanya menggelinding di atas tanah. Tapi orang yang ditebas lehernya dengan pedang yang tipis ini Ki Seblu. Benar-benar di luar dugaan. Gerakan pedang penyerang gelap itu tidak menimbulkan getaran udara sedikit pun, sehingga korbannya pasti sudah terluka sebelum menyadari apa yang terjadi.
       Namun orang itu terkejut bukan main. Orang tua yang dikiranya tidak akan mampu menghindar dari tebasan pedangnya itu hanya merundukkan kepalanya sedikit dan pada saat yang sama menyodokkan ujung tongkatnya ke ulu hatinya. Sodokan itu lunak sekali, sehingga tidak membahayakan jiwa penyerangnya. Ki Seblu memang tidak bermaksud mencelakainya kecuali hanya ingin tahu siapa orang itu dan kenapa dia menyerangnya tanpa sebab.
       Mendapatkan serangan yang tak terduga, si penyerang meloncat ke belakang sambil memegangi ulu hatinya yang nyeri. Napasnya tersengal-sengal sehingga gerakannya tidak terkontrol. Benar-benar di luar perhitungannya, orang ini berhasil menghindar dari kebatan pedangnya, pikirnya. Ki Seblu berdiri tegak di tempatnya. Pandangannya tetap mengarah ke depan. Dia mengandalkan ketajaman telinganya untuk mengetahui desir angin di sekitarnya. Si penyerang berusaha berdiri, beruntung ujung tongkat itu hanya menyodok sedikit, andaikan lebih keras lagi menusuk dadanya, mungkin dirinya sudah terkapar saat ini.
       “Siapakah Ki Sanak dan kenapa menyerangku dari belakang?” Tanya Ki Seblu dengan nada rendah. Wajahnya tetap membelakangi penyerangnya.
       “Aku tidak akan menjawab orang yang bertanya dengan membelakangi, tidak punya sopan santun,” jawab si penyerang dengan ketus.
       “Kamu menyerangku dari belakang dan kamu masih bicara tentang sopan santun. Jika kamu keberatan mengatakan siapa dirimu, aku tidak punya urusan denganmu. Sekarang pergilah, jangan mengganggu perjalanan orang lewat,” sergah Ki Seblu agak keras. Langkahnya bersiap untuk berjalan, tiba-tiba orang itu berkata datar.
       “Baiklah, akan kukatakan siapa diriku, tapi bukan sekarang. Sebentar lagi matahari terbit, tidak baik dua orang berkelahi di sini jadi tontonan orang. Datanglah besuk malam ke Kedung Watangan, aku menunggu di sana.” Ki Seblu tidak perlu melihat ke mana si penyerang itu meloncat ke rerimbunan hutan Alas Roban. Dia bergegas melanjutkan perjalanan yang tertunda. Menantunya sedang menunggu boreh dan air dari Nyi Kerti. Istrinya pasti sangat khawatir menunggu kedatangan dirinya.
       Sampai di dukuh Asemjajar hampir pagi. Matahari sebentar lagi akan terbit. Rembang senja mulai membayang di ufuk timur. Para petani di kampungnya sudah mulai berjalan menyusuri jalanan kecil menuju sawah dan ladang. Suara celoteh dan bau tembakau mulai memenuhi angkasa sepanjang jalan yang mereka lalui. Nyala obor di tangan penggembala-penggembala kecil yang duduk di punggung kerbau menerangi jalan setapak menuju tempat penggembalaan di dekat persawahan. Kerbau memang jenis binatang air. Di tempat berair mereka bisa berkubang seharian setelah tenaganya digunakan untuk menarik bajak di sawah berlumpur.
       Ki Seblu memasuki rumah ketika Ken Wulandri sudah mulai tenang. Nyi Seblu segera mengoleskan boreh dan meminumkan air dari Nyi Kerti. Ken Wulandri menuruti apa kata kedua mertuanya. Air dari bumbung diminumnya hingga tuntas. Kedua orang tua itu memandangi menantunya dengan perasaan penuh iba.
       Ken Wulandri mulai kelihatan segar. Wajahnya yang semula mengapas berangsur-angsur tampak memerah. Ki Seblu dan istrinya merasa lega. Rupanya ramuan boreh dan air yang dibuat Nyi Kerti dari aneka dedaunan dan akar tumbuhan mulai bekerja. Dan bertepatan dengan terbitnya Sang Hyang Bagaskara di langit timur, terdengar suara bayi nyaring merobek keheningan pagi. Ki Seblu dan istrinya menahan napas. Hatinya berkecamuk antara bahagia, bingung, dan syukur kepada Tuhan yang telah memberikan kehidupan baru kepada cucunya.

0 komentar:

Posting Komentar