KABUT DI ALAS ROBAN (7)

KABUT DI ALAS ROBAN (7)

OLEH: SUGITO HADISASTRO


Jaka Pamegat duduk di serambi masjid keraton setelah menunaikan sembahyang siang. Beberapa orang terlihat sedang duduk bersama imam masjid yang berpakaian serba putih. Seorang Tionghoa muslim tanpa sepengetahuan pemuda itu sudah duduk di sampingnya. Mulanya Jaka Pamegat terkejut, namun ketika dilihatnya orang itu tersenyum, hatinya merasa lega.

“Aku amati sudah beberapa hari ini kamu hanya duduk di sini, bukankah kamu penduduk luar kotaraja? Oh, ya. Perkenalkan, aku Ma Tien Bien dari Batavia. Kami bersepuluh sudah berada di sini selama dua pekan,” kata orang Tionghoa itu sambil tetap tersenyum.

Jaka Pamegat menyambut tangan orang itu yang terulur kepadanya. “Namaku Jaka Pamegat dari Asemjajar, Kadipaten Watang. Aku sudah berada di sini selama tiga pekan.”

“Tiga pekan? Tentu kamu punya tujuan khusus, bukan?”

“Benar, saya ingin mengabdikan diri sebagai prajurit Mataram.”

“Pasti kamu punya alasan tertentu.”

“Ya, aku merasa bahwa kejayaan Mataram sepeninggal Kanjeng Sultan Agung semakin redup. Banyak wilayah di Brang Wetan dan Brang Kulon melepaskan kesetiaan kepada kerajaan.”

Ma Tien Bien mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Benar katamu. Aku sudah berkelana dari satu kota ke kota lainnya di Tanah Jawa bahkan sampai Madura dan Bali. Aku belum pernah melihat negeri yang demikian indah dan subur seperti Mataram. Berhari dan berbulan aku berjalan untuk menjajakan daganganku, dan di setiap negeri yang kudatangi penduduknya berkata bahwa tanah yang mereka diami adalah wilayah kerajaan Mataram. Kisah tentang kegagahan dan kebijakan Kanjeng Sultan Agung selalu kudengar dari cerita mereka, bahkan ketika kami berada di Tanah Sabrang.”

Jaka Pamegat mendengarkan dengan penuh pesona.

“Pernahkah kamu berkunjung ke kotaraja Mataram sebelumnya?”

“Belum, ini perjalananku yang pertama.”

“Beruntung kamu, bagaimana kamu bisa sampai di kotaraja?” tanya Ma Tien Bien heran.

“Ayahku dulu juga penduduk kotaraja Mataram, dari beliau aku mendapatkan arahan perjalanan ke sini.”

“Tidakkah kamu dirampok atau paling tidak terganggu perjalanannya?”

“Tidak. Aku mengikuti rombongan pedagang dari Brang Kulon hingga Asem Arang, lalu mengikuti rombongan lain dari Tanah Sabrang yang baru saja berlabuh di pelabuhan Asem Arang menuju kotaraja Mataram.”

“Lalu sudahkah kamu diterima sebagai prajurit di kotaraja?”

“Belum. Pemerintah belum merasa perlu menambah jumlah prajurit. Kekuatan prajurit yang sekarang sudah cukup untuk menjaga pertahanan negara.”

“Lalu kapan kamu akan pulang?” tanya Ma Tien Bien.

Jaka Pamegat berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Aku masih menunggu rombongan pedagang dari Tanah Sabrang kembali ke Asem Arang.”

“Oh, begitu. Setelah purnama kami akan kembali ke Batavia lewat Asem Arang, jika kamu mau, kamu boleh ikut.”

“Terima kasih.”

Ma Tien Bien kembali ke pasar, meneruskan usaha dagangnya. Jaka Pamegat mengikutinya, tapi bukan ke pasar. Dia berjalan-jalan di sekitar keraton. Siapa mengira bahwa kotaraja yang sangat sibuk ini dahulunya adalah kawasan hutan yang angker, dibangun oleh Danang Sutawijaya putera angkat Sultan Hadiwijaya dari Pajang, yang setelah menjadi raja Mataram bergelar Panembahan Senopati. Mataram hanya bisa diwujudkan menjadi sebuah kerajaan yang kuat oleh orang-orang yang memiliki keteguhan hati kuat dan ketabahan yang luar biasa. Dan kerajaan ini berhasil mencapai kejayaan di bawah pemerintah yang bijak dan mengayomi warganya. Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma telah memberikan teladan kepada para pangeran sesudahnya.

Dari balik pagar keraton yang dijaga ketat, Jaka Pamegat melihat sepintas para putra-putri keraton yang sedang bermain di halaman keraton yang berpohon rindang. Wajah-wajah mereka yang bersih dan bersinar seolah memancarkan keanggunan bangsawan yang tinggi derajatnya di tengah masyarakat kebanyakan yang bersahaja. Namun, mampukah mereka mengemban amanat warisan kekuasaan kerajaan yang demikian luasnya, yang tidak terbayangkan di mana batas-batasnya? Mampukah mereka menjaga keutuhan pemerintahan negara dan membagikan kebajikan kepada rakyatnya? Mampukah mereka mengangkat derajat rakyat yang hidup di wilayahnya ke tataran yang lebih tinggi? Jaka Pamegat tidak mampu menjawab pertanyaannya sendiri. Bukankah ayahnya sendiri, Ki Seblu, pun merasa tidak mampu menghadapi kenyataan yang mulai tampak di depan matanya?

Di sebuah tikungan jalan yang agak sepi, Jaka Pamegat dikejutkan oleh suara teriakan seorang gadis. Dia mempercepat langkahnya. Betapa terkejutnya ketika dilihatnya seorang pemuda duduk di atas punggung kuda sedang menarik tangan seorang gadis. Gadis itu meronta-ronta ingin melepaskan tangan pemuda itu, namun pegangan pemuda itu sangat kuat sehingga dia tidak berdaya. Ditilik dari pakaiannya pastilah pemuda itu salah seorang dari keluarga bangsawan atau pengawal anggota bangsawan keraton Mataram.

Jaka Pamegat menahan napas sejenak. Sebagai anak dari Ki Seblu yang sejak kecil dididik untuk menghargai sesamanya dan tidak menyakiti wanita, dia tidak dapat membiarkan peristiwa ini terjadi, apa pun alasannya. Dia pun mempercepat langkahnya.

Jaka Pamegat tiba tepat ketika pemuda yang berkuda itu sedang menghunus kerisnya. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya, namun tampaknya dia hendak membunuh si gadis atau hanya menakut-nakutinya. Lalu siapakah gadis yang sedang diseretnya itu?

“Sungguh tidak adil seorang lelaki berkuda menyeret seorang wanita tidak berdaya,” sindir Jaka Pamegat dari belakang pemuda itu.

Pemuda itu terkejut, namun kemudian dapat menguasai dirinya.

“Siapa kau? Apa pedulimu ikut campur urusanku? Belum kenal aku, ya?”

“Siapa pun kau, perbuatanmu sangat tidak baik. Menyeret seorang gadis dari punggung kuda benar-benar sangat keji.” Jaka Pamegat menjawab dengan tenang.

“Kurang ajar. Kau sudah mencampuri urusan Raden Pedut, kau akan menyesal nanti. Pergi sekarang atau keris ini akan merobek perutmu?”

“Aku akan tetap di sini sampai kau lepaskan gadis itu,” jawab Jaka Pamegat tanpa perasaan takut sedikit pun.

Mendengar tantangan Jaka Pamegat, bukan main gusar pengawal Raden Pedut itu.

“Jangan lari, rasakan tajamnya keris Kiai Brongot, kamu akan pulang nama anak muda.”

Dilepasnya tangan gadis itu dan dengan tangkas dia meloncat dari kudanya. Begitu kakinya menyentuh tanah, kaki kanannya menjejak keras dan ujung kerisnya menyambar dada Jaka Pamegat. Gadis yang tadi diseretnya menjerit ketakutan dan berlari ke tepian jalan. Jeritannya didengar seseorang yang baru pulang berbelanja di pasar kotaraja. Orang itu mendekat ke tempat asal suara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Demi dilihatnya dua orang sedang berkelahi, dia menarik tangan si gadis untuk menjauh dari arena perkelahian. *** (BERSAMBUNG)

0 komentar:

Posting Komentar