CERMIN DI TENGAH BATANG X

10. DEMI KULIAH, AKU MENGARANG

“Maaf, Pak!”ujar Dhestya. Pak Gito menoleh ke arah anak yang berhidung sedikit mancung dan bermata sipit itu lurus-lurus.

“Ada apa, Nak?”

“Kiranya, di mana letak IKIP Negeri Semrang berada, Pak?”tanya Dhestya.

“Komplek IKIP Negeri Semarang terletak di Jalan Kelud Raya, Petampon, Kecamatan Semarang Selatan, Semarang,”jawab Pak Gito panjang. “Namun sekarang,”lanjut Pak Gito. “Kampusnya terletak di Desa Sekaran, Kecamatan Gunung Pati, Semarang. Namanya bukan IKIP lagi, melainkan UNNES (Universitas Negeri Semarang).”

“Dalam masa-masa kulih,”kataku, Virdha. “Apakah Pak Gito menempuh pulang-pergi Batang-Semarang, Pak?”

“Oh, tidak!”Pak Gito tersenyum. “Pak Gito indekost di Semarang,”sambungnya.

“Tepatnya, tahun pertama, Pak Gito indekost di rumah Pak Sugeng, di Jalan Tumpang I, Semarang Selatan.”

“Adakah teman lain yang berasal dari Batang, Pak?”masih aku lagi yang bertanya.

“Ada!”sahut Pak Gito mantap. “Mereka antara lain; Hadi Purnomo, Daryoto, Taufik, Riyanto, dan Slamet Rozikin. Di samping itu, ada pula beberapa teman dari Klaten, Purwodadi, Pati, Pekalongan, dan kota-kota lain.”

“Kiranya, pengalaman apa yang Pak Gito peroleh pada hari-hari pertama masuk kuliah, Pak?”kali ini Bahtiar yang bertanya.

“Banyak!”sahut Pak Gito.“Di antaranya yang tak terlupakan sampai sekarang, adalah....”
“Apa, Pak?”sahut Bahtiar tak sabar.

“Rasa bingung Pak Gito yang begitu dalam.”

“Apa yang Pak Gito bingungkan?”tanya Melati tak paham.

“Yang Pak Gito bingungkan,”ujarnya. “Dari 23 mahasiswa kelas A Bahasa Inggris S1,”lanjutnya. “Ternyata ada 7 mahasiswa berasal dari penjaringan Program Penelusuran Bakat dan Minat, atau Seleksi Penerimaan Mahasiswa Prestasi (SPMP),”Pak Gito diam sesaat. Kemudian katanya,”Pak Gito tahu persis, bahwa kemampuan berbahasa Inggris mereka rata-rata sangat bagus. Kecuali 1 orang saja yang pas-pasan. Itu pun berasal dari Madrasah Aliyah Muhammadiyah swasta.”

“Siapakah orang itu, Pak?”tanya Teten ingin segera tahu.

“Orang itu adalah........ Pak Gito sendiri!”

“Pak Gito, Pak?”kening Teten berkerut, akibat kaget. Pak Gito mengangguk.

“Sejauh mana kemampuan berbahasa Inggris Bapak saat itu?”rasa penasaran Teten makin menjadi.

“Jangankan mampu berbahasa Inggris dengan baik! Kursus atau les prifat saja pun Pak Gito tidak pernah kenal sama sekali.”

“Lalu, Pak?” timpal Gadis.

“Pak Gito sempat gelagapan saat dihadapkan pada situasi pembelajaran Bahasa Inggris yang sesungguhnya.”

“Mengapa sebabnya, Pak?’masih tanya Gadis.

“Sebab banyak istilah yang Pak Gito tak mengerti artinya.”

“Mengapa Bapak mesti memilih jurusan tersebut, Pak?”Jaka bertanya.

“Pak Gito memilih jurusan tersebut bukan karena pandai,”jawab Pak Gito. “Melainkan hanya karena suka saja.”

“Apa yang menjadikan Pak Gito suka pada pilihan tersebut?”tanya Jaka lagi.

“Sejak pertama mengenal pelajaran Bahasa Inggris di STN 2 Batang dulu,”ujar Pak Gito. “Bapak sudah menyimpan keinginan untuk belajar bahasa itu dengan baik.”

“Bagaimana cara Pak Gito mengatasi kesulitan dalam mempelajari bahasa tersebut?”Dhestya ikut bertanya.

“Pak Gito banyak membaca buku Bahasa Inggris. Di samping itu, Bapak sering belajar kepada rekan-rekan sekelas.”

“Karena mengalami kesulitan,”sahutku. “Pernahkah Pak Gito punya keinginan untuk berpindah ke program pendidikan yang lain?”

“Pernah,”ujar Pak Gito. “Untuk menghindari kesulitan lebih jauh,”lanjutnya. “Pak Gito pernah punya angan-angan untuk pindah ke program Pendidikan Bahasa Inggris Diploma II.”

“Rencana pindah, jadi tidak, Pak?”sela Bahtiar.

“Tidak!”

“Mengapa tidak jadi, Pak?”Melati ikut menyahut.

“Karena setelah Pak Gito bicarakan kepada Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Drs. Warsono, MA,”sahut Pak Gito.

“Beliau menyarankan agar Pak Gito jangan terlalu tergesa-gesa pindah program.”

“Terus, bagaimana sikap Pak Gito?”

“Pak Gito menurut saran Pak Warsono. Bapak tetap meneruskan kuliah seperti semula.”

“Lalu, kesulitan apa lagi yang Pak Gito hadapi selama di bangku kuliah, Pak?”Teten menambah jumlah pertanyaan.

“Kesulitan tentang uang perkuliahan dan biaya makan sehari-hari di Semarang.”

“Maksud Pak Gito?”desak Teten ingin tahu lebih jauh.

“Maksud Bapak,”demikian Pak Gito berujar. “Sebagai mahasiswa yang cuma berbekal tekad dan kemauan keras,”sambung Pak Gito. “Pak Gito sering mengalami kesulitan keuangan.”

“Terus,Pak?”

“Untuk bisa mengatasi semua itu,”ucap Pak Gito. “Tentunya Bapak harus bisa berlatih hidup hemat. Hidup sederhana. Namun demikian, Bapak sering mengalami kehabisan uang sebelum orangtua kirim.”

“Lantas, untuk bisa mengatasinya, langkah apa yang Pak Gito ambil?”tanyaku.

“Suatu hari Pak Gito mengadu kepada Bapak Drs.Warsono, MA. Atas pengaduan itu, Beliau menyarankan agar Pak Gito mau bersabar. Beliau akan mengusulkan kepada Pemerintah, supaya Pak Gito mendapatkan beasiswa Supersemar.”

“Bagaimana hasil usaha Pak Warsono, Pak?”Ardhana bertanya.

“Alhamdulillah! Mulai tahun akademik 1983/1984 beasiswa Supersemar bagi PakGito keluar sebesar Rp 25.000,00 per bulan.”

“Untuk berapa bulan lamanya, Pak?”

“Untuk 6 semester atau 36 bulan ke depan.”

“Dengan diterimanya beasiswa Rp 25.000,00 tiap bulan itu,”kata Jaka. “Apakah sudah bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari Pak Gito di Semarang, Pak?”

“Ya, sudah cukup,”jawab Pak Gito. “Namun untuk bisa memiliki uang cadangan, ya, belum.”

“Terus, apa yang bisa Pak Gito tempuh?”

“Pak Gito mencoba mencari dana cadangan dari mengarang artikel, cerpen, puisi, dan cerita anak untuk media massa.”

“Bagaimana hasil dari kesibukan yang Pak Gito tempuh kali itu, Pak?”Melati ingin mengerti.

“Hasilnya cukup memuaskan,”sahut Pak Gito sembari tersenyum.

“Maksud Pak Gito?”masih tanya Melati.

“Cerita Pendek karya Pak Gito yang berjudul Meteor, muncul di Suara Karya Minggu, Jakarta tahun 1984. Begitu pula artikel Pak Gito tentang Tradisi Kliwonan di Batang, dimuat pada harian Suara Merdeka, Semarang.”

“Terus,Pak?”tanya Melati ikut penasaran.

“Cerpen-cerpen Pak Gito lainnya sering dimuat oleh Suara Karya Minggu Jakarta, Suara Merdeka Minggu Semarang, dan Wawasan Minggu Semarang.”

“Lantas?”potongku.

“Selama empat setengah tahun kuliah di Semarang,”sahut Pak Gito. “Bapak sering jadi pemenang dalam lomba mengarang tingkat institut.”

“Misalnya, Pak?”tanyaku.

“Misalnya,”ucap Pak Gito.

“Tahun 1982, Pak Gito meraih Juara I Lomba Mengarang Internfakultas.
Tahun 1983, Juara II Lomba Mengarang Antarfakultas.
Tahun 1984, Juara II Lomba Mengarang Antarfakultas.
Tahun 1984, Juara II Lomba Mengarang Tingkat Kota Semarang, yang diselenggarakan oleh Ta’mir Masjid Baiturrahman, Semarang.”

“Maaf, Pak!”sela Ardhana.

“Iya?”

“Dari sederet keberhasilan Pak Gito dalam dunia mengarang tadi,”ujar Ardhana.

“Adakah perhatian dari sesama teman mahasiswa di kampus IKIP Negeri Semarang, Pak?”

“Oh, ya, ada!”sahut Pak Gito mantap. “Dari keberhasilan tulisan Pak Gito dalam menembus media massa Jakarta dan Semarang,”demikian Pak Gito bicara.
“Ditambah seringkali Pak Gito jadi juara dalam lomba mengarang tingkat institute,”lanjutnya. “Maka, sempat membuat Pak Gito dikenal oleh para mahasiswa lainnya. Bahkan oleh Sulistyo, Ketua Senat Mahasiswa Fakulatas Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Negeri Semarang Pak Gito diajak untuk masuk ke dalam kegiatan Organisasi Formal Kampus.”

“Siapa Sulistyo tadi, Pak?”tanya Bahtiar.

“Dia mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, satu tahun di atas Pak Gito. Sekarang Beliau dikenal sebagai Drs. Sulistyo,Phd, Rektor IKIP PGRI Semarang, bahkan belum lama ini Beliau terpilih menjadi Pengurus Besar PGRI Pusat.”

“Terus, apa yang dilakukan oleh Sulistyo terhadap Bapak?”masih tanya Bahtiar.

“Sulityo memberikan kepercayaan kepada Pak Gito untuk mengelola majalah internal Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra yang berlabel ‘Diorama’.”

“Lalu, Pak?”Bahtiar makin ingin tahu.

“Sayang. Karena dana yang tak cukup,”ujar Pak Gito. “Majalah yang semula direncanakan untuk bisa terbit tiap 3 bulan sekali itu, hanya bisa sekali terbit.”

“Wah! Amat sayang sekali ya, Pak?”seru Melati. Pak Gito mengangguk, mengiyakan.

“Tapi, Pak Gito masih tetap terus mengarang untuk majalah-majalah dan surat kabar yang lain,’kan?”

“Iya. Semua itu Pak Gito lakukan demi bisa mendapatkan uang tambahan untuk penopang kuliah.”

“Hebat, Pak!”seru Gadis. “Dengan berbekal kepandaian yang dimiliki Pak Gito dalam bidang mengarang, kuliah pun tak bermasalah. Kami salut, Pak!”
Pak Gito mengangguk-angguk seraya tersenyum ceria. ***

2 komentar:

  1. lailly mengatakan...

    huhuuhuhuhuhuh nice ceritanya... cerita yang lain lagi, kak.... ditunggu ya..

    permisi juga kak.. izin berbagi info..


    Urgently Required
    Easy Speak, A fast-growing National English Language Consultant, is hunting for
    English Tutors
    Qualifications:
    1) Competent, Experienced, or Fresh Graduates
    2) Proficient in English both spoken & written
    3) Friendly, Communicative, & Creative
    4) Available for being placed in one of the following cities:
    a. Batam 0778-460785
    b. Pekanbaru 0761-7641321
    c. Balikpapan 0542-737537
    d. Palembang 0711-350788
    e. Samarinda 0541-273163
    f. Denpasar 0361-422335
    g. Makassar 0411-451510
    h. Semarang 024-3562949
    i. Bandung 022-76660044
    j. Banjarmasin 0511-7069699

    If you meet the qualifications above, please send your resume to: easyspeak.recruiting@gmail.com.
    Or contact our branch offices mentioned above to confirm prior to sending your resume.
    Deadline: July 30, 2011.
    Visit http://www.easyspeak.co.id for further information.
    Make sure that you won’t miss this golden opportunity as the day after tomorrow might be too late for you to compete for this position

  2. akhmad mengatakan...

    terima kasih atas informasinya,,

Posting Komentar