Refleksi Hardiknas 2009

hardiknasSeabad sudah bangsa kita melalui sebuah fase historis berjargon kebangkitan nasional. Dinamika bangsa pun mengalami pasang-surut. Dunia pendidikan yang notabene menjadi basis pencerahan peradaban bangsa pun telah mengalami fase-fase bersejarah dan telah banyak menghasilkan out-put yang turut mewarnai dinamika perjalanan hidup bangsa dari generasi ke generasi. Kita tidak bisa mengingkari sebuah kenyataan bahwa pendidikan menjadi sebuah entitas yang akan sangat menentukan nasib masa depan bangsa. Namun, secara jujur harus diakui, dunia pendidikan kita masih carut-marut. Persoalannya makin rumit dan kompleks, baik yang berkaitan dengan masalah suprastruktur maupun infrastrukturnya.


Sementara itu, di tingkat praksis, banyak kalangan menilai, dunia pendidikan kita belum juga bergeser dari persoalan klasik. Pergantian kurikulum, anggaran pendidikan, profesionalisme guru, atau ujian nasional merupakan beberapa contoh persoalan klasik yang terus mengundang perdebatan dari tahun ke tahun.


Pergantian kurikulum, misalnya, setidaknya negeri kita sudah mengalami tujuh kali perubahan (1962, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK, dan KTSP). Celakanya, pergantian kurikulum semacam itu konon bukan berbasiskan semangat visioner untuk membuat bangsa ini cerdas, melainkan lebih dipengaruhi oleh sentimentalisme politis sang menteri yang ingin ”unjuk upeti” kepada sang penguasa untuk menunjukkan bahwa sang menteri layak mengemban tugasnya di bidang pendidikan melalui gebrakan pergantian kurikulum.


Namun, apakah pergantian kurikulum semacam itu sudah mampu memberikan imbas positif terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial? Jawaban terhadap rentetan pertanyaan semacam itu selalu saja membuat kita mesti prihatin dan mengelus dada.


Berdasarkan laporan UNESCO (2007), mislanya, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Education Development Index (EDI) Indonesia hanya 0.935 yang berada di bawah negeri jiran kita Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Bisa jadi, kualitas pendidikan kita yang masih jauh dari harapan itulah yang gampang memicu sentimen negeri jiran kita untuk gampang menyepelekan dan melecehkan kita. Kita seperti bangsa ”tempe” yang loyo, tak berdaya, dan hanya bisa mengernyitkan jidat ketika muncul klaim bangsa lain terhadap hasil budaya dan kreativitas bangsa akibat rendahnya posisi tawar kita di mata percaturan global.



Anggaran pendidikan pun lebih sering menjadi ajang komoditas dan tawar-menawar politik ketimbang memikirkan substansinya. Jelas-jelas dalam undang-undang dinyatakan secara eksplisit bahwa anggaran pendidikan harus 20% dari total anggaran belanja negara. Namun, klausul-klausulnya sengaja dibuat kabur sehingga mengundang penafsiran mulur-mungkret. Yang tak habis pikir, ketika pemerintah bermaksud merealisasikan anggaran pendidikan 20% itu, ternyata gaji guru masuk di dalamnya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana dengan nasib sekolah-sekolah pinggiran yang miskin donatur kalau anggaran 20% itu sebagian besar habis dipakai untuk menggaji guru? Apalagi, jika BHP (Badan Hukum Pendidikan) nanti benar-benar diberlakukan. Saya membayangkan, sekolah-sekolah yang selama ini bernaung di bawah yayasan ”Senin-Kemis” dengan modal pas-pasan akan gulung tikar lantaran kesulitan mencari subsidi. Imbasnya, jelas akan memberikan peluang kepada kaum kapitalis untuk melebarkan sayapnya dan menjadikan dunia pendidikan sebagai wilayah imperium untuk melebarkan sayap bisnisnya. Apalagi, pemerintah demikian bersahabat dengan para pemodal asing melalui Peraturan Presiden Nomor 77/2007 yang mengizinkan masuknya modal asing di dunia pendidikan dengan batasan kepemilikan saham hingga 49%.


Lantas, bagaimana dengan pemberdayaan profesionalisme guru? Yang ini lebih celaka lagi. Isu mutakhir, para guru mesti memiliki sertifikat pendidik sebagai bukti dan legalitas guru profesional. Untuk itu, guru mesti mengikuti uji sertifikasi. Celakanya, uji sertifikasi itu dilakukan melalui pengumpulan dokumen portofolio sebanyak 850 poin yang dianggap sebagai bukti sahih bahwa guru yang bersangkutan benar-benar profesional. Bagaimana bisa digunakan untuk mengukur tingkat profesionalitas guru melalui bukti fisik semacam itu kalau kenyataannya telah ditemukan banyak dokumen fiktif? Kalau memang memiliki ”kemauan politik” untuk meningkatkan kesejahteraan sebagai starting point dalam meningkatkan kinerja guru, mengapa mesti melalui cara-cara yang kurang populer semacam itu? Naikkan saja gaji guru berdasarkan prestasi dan masa kerja. Lalu, berdayakan komunitas dan organisasi profesi guru sebagai wadah untuk berbagi dan bersilaturahmi. Selain itu, penyediaan anggaran untuk mengagendakan program re-edukasi bagi guru yang dinilai belum memenuhi standar kualifikasi, agaknya lebih masuk akal ketimbang dihambur-hamburkan sekadar untuk mengurusi dokumen-dokumen ”fiktif” semacam itu.


Ujian nasional pun layak dijadikan sebagai isu hangat dalam dinamika dunia pendidikan kita. Sudah terlalu banyak masukan dan kritik dari para pengamat dan pemerhati dunia pendidikan bahwa ujian nasional yang selama ini dilaksanakan sudah jauh menyimpang dari hakikat ujian itu sendiri. Kalau memang mau konsisten dan taat asas terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), idealnya ujian nasional itu sudah lama dikubur. Yang tahu persis kompetensi siswa didik adalah guru. Namun, lantaran dalam Undang-Undang Sisdiknas dan Standar Nasional Pendidikan, yang berhak memberikan penilaian terhadap peserta didik juga termasuk pemerintah, bolehlah ujian nasional (UN) dikendalikan dari pusat. Meski demikian, UN mestinya bukan sebagai penentu kelulusan, melainkan sebatas sebagai media pemetaan mutu pendidikan, sehingga bisa terlihat potret institusi pendidikan yang bermutu dan yang belum. Yang sudah bermutu terus dimotivasi, yang dinilai belum bermutu, terus diperhatikan, jika perlu dipermudah dalam mengakses anggaran peningkatan mutu.


Agaknya pemerintah memiliki agenda tersendiri di balik UN itu. UN hendak dijadikan sebagai "martir" pencitraan publik di mata dunia bahwa pemerintah benar-benar serius dalam menangani masalah pendidikan. Kriteria kelulusan pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, agaknya ada yang dilupakan bahwa model UN semacam itu hanya akan makin memperparah penyakit ”pemujaan” bangsa ini terhadap angka-angka. Ujian yang seharusnya mampu memotret kompetensi siswa didik secara menyeluruh telah direkayasa sebatas pencapaian angka-angka semu. Siswa didik dinilai cerdas jika mampu meraih nilai UN tinggi. Akibatnya, hasil lebih diutamakan ketimbang proses. Menghalalkan segala cara pun akhirnya dianggap hal yang wajar terjadi.


Sepintas mereka memang tampak pintar, tetapi tanpa disadari, pola ujian semacam itu telah memiliki andil nyata dalam ”menjerumuskan” masa depan anak-anak bangsa ini ke dalam sebuah liang pembantaian potensi anak. Mereka hanya dijadikan sebagai penghafal kelas wahid dengan setumpuk teori. Namun, pemahaman dan pendalaman mereka terhadap dunia keilmuan menjadi sangat naif dan dangkal. Meminjam istilah Paulo Freire (1970), praktik pendidikan hanya dipahami sebatas sarana pewarisan ilmu dan bukannya transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang lebih menekankan pada proses pendewasaan pemikiran dan mengartikan belajar sebagai proses memaknai dan mengkritisi atas peristiwa-peristiwa kehidupan nyata yang kerap terjadi di lingkungan sekitar kita. Bukan hanya mencari ijazah dengan nilai yang tinggi maupun sebagai sarana meningkatkan status sosial.


Melihat banyaknya praktik anomali dan penyimpangan terhadap hakikat pendidikan itu sendiri, agaknya tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa dunia pendidikan kita saat ini benar-benar dalam keadaan "sakit". Negeri ini membutuhkan "shock therapy" yang mampu memberikan perubahan paradigma agar dunia pendidikan kita benar-benar mampu menjadi "kawah candradimuka" peradaban, di mana jutaan generasi masa depan negeri ini mampu belajar secara baik dan mampu mengenal jatidirinya secara utuh.



ki hajarKita kembali diingatkan petuah Ki Hajar Dewantara bahwa hakikat pendidikan adalah sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dari sini tampak jelas bahwa kehadiran seorang anak dalam kancah dunia pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konteksnya sebagai bagian dari alam dan kehidupan masyarakat. Namun, akibat pemahaman yang keliru terhadap hakikat pendidikan, potensi anak-anak justru dikerangkeng dan dipenjara, serta dijauhkan mereka dari konteks kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya.

Kalau kita merunut sejarah gerakan kebangsaan pada permulaan abad XX, dunia pendidikan memiliki titik singgung dengan perkembangan dan dinamika spirit kebangsaan sebagai kerangka kerja sosial pembebasan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan. Namun, disadari atau tidak, praktik pendidikan kita selama ini justru makin menjauhkan siswa didik dari spirit kebangsaan itu. Siswa didik terus dicekoki bejibun teori model hafalan dan dijauhkan dari persoalan-persoalan kebangsaan secara riil. Pendidikan yang sejatinya berfungsi sebagai kerangka kerja sosial pembebasan manusia demi meraih martabat dalam kehidupan telah tereduksi sebagai sistem sosial yang menanggalkan misi profetik penguatan kesadaran kebangsaan itu. Nah, bagaimana? ***


Keterangan: Gambar diambil dari sini.

0 komentar:

Posting Komentar